“Cantik bukan?” seringai Age Kridalaksana, seorang ekologis muda Indonesia di sebuah pos penelitian di perbukitan berhutan lebat di Taman Nasional Gunung Salak, sebuah kawasan pegunungan hutan hujan tropis di Jawa, pulau utama di Indonesia.
Dia memperhatikan komputernya dengan seksama.
Foto-fotonya memang bagus, warnanya tajam; kulit yang bertotol dan mata keperakan langsung dapat dikenali milik mamalia paling dicari di kawasan tersebut, macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), yang belum lama ini ditambahkan ke dalam International Union for the Conservation of Nature ‘Red List’ dari spesies-spesies paling langka di dunia.
Kucing besar itu biasanya sangat pemalu dan misterius, namun jantan muda yang tertangkap kamera dalam jarak hanya dua km dari pos penelitian di Cikaniki di sisi timur taman nasional, sepertinya sedang menikmati ketenaran barunya.
Dia meregangkan badannya, menunjukkan taringnya yang tajam dengan seringai lebar, kemudian melingkarkan badannya pelan-pelan.
Inilah gambar yang membuat Age tertarik.
“Kelihatannya dia sedang berpose dan sepertinya menyadari kalau kami sedang mengamatinya,” ujarnya sambil menunjukkan gambar-gambar lain.
Dikenal dengan sebutan ‘gunung berkabut’ bagi penduduk lokal Jawa, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memiliki luas 113,000 hektar dan termasuk salah satu dengan keanekaragaman hayati terkaya di Indonesia.
Namun yang mengejutkan, terlepas dari kedatangan para peneliti dari seluruh dunia, hanya sebagian kecil dari 61 spesies mamalia, 750 tumbuhan dan 250 jenis burung yang ada telah tercatat dengan baik.
Jumlah macan tutul Jawa yang tersisa dan berada di alam liar masih belum diketahui, dengan prakiraan sekitar 250 hingga 700 ekor.
Inilah yang membuat Age dan rekan-rekannya dari CIFOR dan Institut Pertanian Bogor (IPB) berada di sini. Dengan bantuan dari staf taman nasional, mereka telah memantau ukuran dan jangkauan populasi macan tutul dan mangsanya.
Hal ini penting, kata Age, selain untuk membantu mengidentifikasi potensi ancaman yang ada, semisal pemburu atau perambah hutan yang sedang berada di sekitarnya, dan jika kucing besar ini mendekati kawasan yang kerap dilalui manusia.
“Kita harus memahami bagaimana keberadaan manusia mempengaruhi persebaran macan tutul dan spesies-spesies lain di kawasan ini,” tambahnya.
Keberadaan predator besar ini juga menjadi sebuah indikator tentang kondisi hutan; sebuah tanda bahwa ekosistemnya seimbang.
Namun di Jawa, hutan tengah mengalami perubahan.
Hutan di Jawa sedang terancam
Rumah bagi separuh penduduk Indonesia dan pusat bagi ledakan ekonomi negara saat ini, Jawa kehilangan lebih dari 2,000 hektar hutan hujan dalam setahunnya. Besarnya pembukaan hutan untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, pertanian skala kecil dan perkebunan teh semakin menghabiskan sisanya yang hanya sedikit itu.
Kondisi ini termasuk juga di kawasan lindung. Menurut laporan dari IPB, antara tahun 1989 dan 2004, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak kehilangan 25% hutannya akibat pembalakan liar dan aktivitas pembukaan hutan.
“Jika kehilangan habitat, maka kita akan kehilangan predator utama yang akan berakibat buruk pada ekosistem yang tersisa,” lanjut Age.
“Memantau populasi macan tutul saat ini akan membantu taman nasional untuk mengelola tempat ini beserta habitatnya dengan lebih efektif di masa depan.”
Sebagai contoh, staf taman nasional bisa meningkatkan upaya untuk melindungi lokasi yang diidentifikasi sebagai areal perkembangbiakan dan perburuan mangsa yang penting. Patroli untuk mencegah perburuan liar dan perambahan dapat ditargetkan dengan lebih baik untuk areal di mana satwa dan manusia kerap bersinggungan.
Namun sejauh ini, tanda-tanda di sekitar pos penelitian Cikaniki cukup menggembirakan.
30 kamera yang terpasang untuk memantau kondisi taman nasional telah menangkap lebih dari ribuan gambar kijang (Muntiacus muntjak), musang palem (Paradoxurus hermaphroditus), tupai (Callosciurus notatus), dan tikus kayu malaysia (Rattus tiomanicus) – mangsa yang berlimpah untuk macan tutul yang kelaparan.
Menambah suka cita para peneliti tersebut, dua ekor macan tutul – yang sebangsa dengan Macan tutul Jawa dengan kulit berwarna hitam karena mutasi gen yang resesif – juga ikut terekam dalam film.
“Ini sangat menarik, mengingat ini terjadi di tempat yang hanya beberapa jam jauhnya dari kota besar seperti Jakarta dengan 20 juta orang penduduknya,” tambah Ken Sugimura, seorang peneliti asal Jepang yang memimpin proyek CIFOR ini.
Namun, meski populasi macan tutul terlihat sehat, lanjutnya, taman nasional masih harus tetap waspada.
“Sarang macan tutul bisa berpindah sangat jauh, meski biasanya dalam rentang 10 km persegi. Jika habitat mereka semakin menyempit, persaingan untuk mendapatkan makanan dan sarang akan meningkat.”
“Ini berisiko mereka dapat tersesat di permukiman penduduk di dalam dan sekitar taman nasional kemudian memangsa ternak dan anjing kecil.”
Kawan atau lawan? Populasi macan tutul dan permukiman sekitar
Meski kemunculan macan tutul dan kasus konflik dengan 300 penduduk di dalam kawasan taman nasional jarang terjadi, para penduduk masih saja khawatir.
“Kami khawatir macan tutul mungkin tidak hanya menyerang ternak,” terang Pak Adwa, yang tinggal di Sentral, sebuah desa dekat pos penelitian. “Jika lapar, mungkin saja mereka akan menyerang manusia.”
Meski rekaman foto-foto memperlihatkan bahwa macan tutul juga melewati jalan setapak yang digunakan penduduk untuk mengumpulkan kayu bakar, bambu, dan sumber daya hutan lain, Sugimura menyatakan bahwa ancaman konflik masih tetap rendah.
Terjadi persinggungan habitat, lanjutnya, namun sejauh ini sangat jarang terjadi kontak.
Namun kondisi ini bisa jadi berubah, jika macan tutul dan manusia terpaksa terlibat kontak yang lebih dekat.
“Deforestasi dan perambahan hutan adalah ancaman paling utama yang dihadapi,” terang Iwan Ridwan, seorang teknisi kehutanan di taman nasional.
Selain meningkatkan patroli serta menegakkan peraturan dan hukum antiperburuan liar, para petugas taman nasional juga bekerja sama dengan penduduk setempat untuk membatasi dampak aktivitas di sekitar taman nasional.
“Kami terus-menerus mendorong mereka (penduduk) untuk mengelola lahan secara lestari, terutama di kawasan yang boleh mereka manfaatkan,” jelas Iwan. “Kami juga mencoba meningkatkan kondisi perekonomian mereka agar memiliki alternatif penghidupan lain, mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam di dalam taman nasional.”
“Selama habitat macan tutul masih terjaga, saya rasa konflik antara binatang buas dan penduduk sekitar tidak akan terjadi.”
Makalah mengenai proyek ini akan segera tersedia.
Proyek ini dipimpin oleh Dones Rinaldi dari Institut Pertanian Bogor dan Ken Sugimura dari CIFOR dengan dukungan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Proyek ini didanai oleh Kementerian Luar Negeri Jepang dan Forestry and Forest Products Research Institute (FFPR).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org