Berita

Kawasan HPH: Baik untuk orang utan dan konservasi hutan, menurut studi

Hampir sepertiga orangutan yang tersisa di alam dapat ditemukan di wilayah konsesi HPH di Indonesia. Bagaimana menyelamatkan mereka?
Bagikan
0
Hampir sepertiga populasi orangutan yang tersisa di alam dapat ditemukan di wilayah konsesi HPH. Roger Day

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (22 Januari, 2013)_Hampir sepertiga dari populasi orangutan yang tersisa di alam dapat ditemukan di wilayah konsesi HPH di Indonesia, menurut sebuah studi baru dari Center for International Forest Research, yang mengatakan bahwa peruntukan daerah-daerah ini untuk konservasi dapat membantu menyelamatkan kera yang terancam kepunahan ini – bersamaan dengan perlindungan hutan.

“Dalam kegiatan konservasi, banyak pihak yang hanya tertarik pada daerah yang dilindungi, dan seringkali mengabaikan potensi langsung dari konsesi HPH,” ujar David Gaveau, peneliti CIFOR dan salah satu penulis studi yang memetakan distribusi populasi orang utan di Indonesia.

Kurang lebih 50.000 sampai 60.000 orang utan yang tersisa dapat ditemukan di taman-taman nasional. Tetapi lebih banyak lagi yang hidup di gugus-gugus hutan yang tersebar akibat dari pembangunan.

Namun, jumlah terbesar, hampir sepertiganya, dapat ditemukan di wilayah konsesi-konsesi, di mana pemanenan pohon selektif untuk balok kayu diizinkan.

“Kita perlu mempertimbangkan daerah penebangan kayu berkelanjutan sebagai satu cara melindungi hutan,” ujar Gaveau.

 

“Orang memerlukan kayu, dan bila Anda dapat memproduksinya dan pada saat bersamaan melindungi satwa liar, jadi kita sebenarnya dapat mencapai pembangunan berkelanjutan.”

Sejumlah faktor ancaman bagi masa depan jangka panjang orang utan, yang sekarang hanya dijumpai di pulau Kalimantan dan Sumatra: ancaman terbesar yaitu deforestasi untuk (perkebunan) kelapa sawit (Indonesia adalah produsen tertinggi, menyumbang 44 persen dari semua penjualan global), kayu, perkebunan pulp dan kertas. Pada waktu yang sama, peningkatkan kontak dengan manusia di daerah-daerah pertanian dan daerah yang berkembang sering kali mengakibatkan satwa tersebut menjadi buruan.

Lima tahun silam, Indonesia berjanji menstabilkan semua populasi orang utan liar pada tahun 2017.

Agar hal tersebut terjadi, para pembuat kebijakan perlu mengetahui jenis-jenis tata guna lahan apa saja, seperti hutan lindung atau daerah pertanian, yang didiami oleh orang utan.

Gaveau dan para rekan penulis dari studi Memahami Dampak Kebijakan Tata guna Lahan terhadap Spesies terancam punah: Adakah Masa Depan untuk Orang-utan Kalomantan?, dipublikasikan bulan ini dalam jurnalPLoS One, memetakan distribusi orang utan di Kalimantan dengan menggunakan set data yang dikumpulkan dengan menggunakan GPS.

Orang memerlukan kayu, dan bila Anda dapat memproduksinya dan pada saat bersamaan melindungi satwa liar, jadi kita sebenarnya dapat mencapai pembangunan berkelanjutan.

Yang mengejutkan, mereka menemukan bahwa sementara 22 persen dari distribusi kera tersebut ditemukan di daerah yang dilindungi, 29 persen, hampir sepertiga dari semua habitat orang utan-ditemukan di daerah produksi kayu.

Terlebih lagi, seperempat dari habitat orang utan tersebut dijumpai di daerah-daerah yang masih berhutan tetapi yang sudah terdaftar untuk pembangunan: 19 persen di daerah yang belum dibangun yang telah direncanakan untuk perkebunan kelapa sawit, dan 6 persen di perkebunan pohon yang belum dikembangkan.

“Wilayah HPH juga dapat berperan baik seperti daerah yang dilindungi untuk mengkonservasi satwa liar, dengan syarat daerah tersebut tetap sebagai konsesi kayu, dan tidak diubah menjadi zona untuk pertanian.”

Pada waktu bersamaan, Gaveau berkata, “Wilayah konsesi kayu sebenarnya merupakan pilihan yang layak untuk melindungi hutan.”

Hal ini penting, ujarnya, karena pemerintah di Indonesia dan negara-negara tropis lain cenderung mengklasifikasi ulang daerah penebangan kayu untuk penggunaan dalam pertanian atau perkebunan kelapa sawit.

“Pemerintah cenderung menyamakan “ditebang” dengan “degradasi,” tetapi sebagaimana penelitian kami menunjukkan, daerah-daerah ini masih dapat sangat bernilai sebagai habitat untuk orang utan.”

“Kebijakan yang sekarang memungkinkan hutan yang ditebang untuk dikelola untuk rehabilitasi dan restorasi ekosistem, dan juga diubah menjadi perkebunan. Jadi mendorong rehabilitasi dan restorasi, dan menghalangi konversi hutan tebang menjadi perkebunan, dapat memainkan peran besar dalam melindungi orang utan,” ujar Gaveau.

Tetapi bila pemerintah berlanjut dengan keadaan status quo, tambahnya, masa depan orang utan tampak suram. Di  bawah skenario bisnis-seperti-biasa, yang akan menyaksikan daerah tebangan diubah menjadi perkebunan dan pertanian, 49 persen dari distribusi orang utan yang sekarang akan hilang.

Publikasi baru ini merupakan bagian dari Program penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri dan didukung oleh ARCUS Foundation.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org