DOHA, Qatar (30 November, 2012)_Meskipun tutupan hutan terdegradasi meningkat di banyak wilayah, kesulitan dan menentukan area lahan ini dan mengukur stok karbonnya secara akurat mengakibatkan degradasi dikesampingkan dalam debat global mengenai Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD+), ungkap sebuah penelitian baru-baru ini.
Temuan tersebut muncul dalam konferensi PBB mengenai perubahan iklim pada bulan Desember di mana para negosiator dari 194 negara bertemu untuk mendiskusikan bagaimana melindungi hutan dunia dengan skema REDD+.
Disebut “lahan tidur” di beberapa negara dan “tanah buangan” di negara lain (ada lebih dari 50 definisi di luar sana), lahan terdegradasi sering kali adalah lanskap pertanian dinamis, yang terdiri atas pepohonan dan semak dalam berbagai tahap pertumbuhan ulang.
Bahwa kita memiliki kemampuan teknis untuk mengukur stok karbon di beberapa jenis lanskap, tetapi tidak pada jenis lainnya memiliki implikasi langsung terhadap jenis pengelolaan hutan yang dapat dicakup dalam REDD+.
Adalah penting, ujar Ole Mertz, dari University of Copenhagen dan penulis utama makalah tersebut, bahwa lahan tersebut diakui dalam skema REDD+ sebagai terdegradasi, dengan memperhatikan bahwa daerah-daerah ini bertambah ukuran dan jumlahnya di banyak daerah..
Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim PBB, atau UNFCCC, setuju tentang hal tersebut, catatnya. Tetapi beberapa organisasi lainnya, bahkan tanpa badan global, masih harus memasukkan deforestasi sementara yang diikuti dengan pertumbuhan kembali di berbagai wilayah yang ditentukan sebagai “terdegradasi”.
“Definisi UNFCCC lebih mengakomodasi daripada definisi yang diusulkan oleh berbagai organisasi lainnya.”
Sebagai bagian dari usaha untuk memperlambat perubahan iklim, pemerintah, organisasi swasta dan para ilmuwan sedang berusaha mencari cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradadi hutan, pelanggar tersebesar secara global sesudah industri dan pembakaran bahan bakar fosil untuk mendapat energi.
Gagasan dasarnya di balik skema yang didukung oleh PBB, Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD+) adalah untuk memberi imbalan kepada bangsa-bangsa karena mereka tidak menebang pepohonannya.
Mendefinisikan “degradasi” ternyata jauh lebih sukar dari yang dibayangkan oleh banyak orang, sebagiannya karena hal tersebut bergantung kepada sudut pandang. Satu orang mungkin akan meninjau level stok karbon, orang lain meninjau keanekaragaman hayati atau bahkan hilangnya produk-produk berbasis hutan, ujar Mertz.
Tetapi suatu masalah yang jauh lebih mendasar dalam penelitian lahan terdegradasi ialah ketidakmampuan untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi (MRV) stok karbon, yang berada pada berbagai tahapan pergeseran pembudidayaan.
Langkah berikutnya adalah mencari cara untuk memperbaiki pemantauan stok karbon pada lanskap tersebut, ujar Mertz, yang memerlukan pengembangan dari lebih banyak persamaan alometri untuk pertumbuhan kembali (lahan) bera dan penilaian yang lebih besar dari stok karbon hutan yang terdegradasi.
“Pengetahuan yang lebih banyak mengenai stok karbon di hutan-hutan dengan berbagai derajat degradasi merupakan hal penting, ujarnya.
“Bahwa kita memiliki kemampuan teknis untuk mengukur stok karbon di beberapa jenis lanskap, tetapi tidak pada jenis lainnya memiliki implikasi langsung terhadap jenis pengelolaan hutan yang dapat dicakup dalam REDD+.,” ujarnya.
Seorang pemegang konsesi besar yang menghentikan deforestasi akan memenuhi syarat untuk dicakup dalam memerangi deforestasi, misalnya, tetapi pembudidaya perorangan yang mengubah praktik-praktiknya untuk meningkatkan stok karbon tidak akan termasuk di dalamnya.
Pendekatan-pendekatan yang baru-barui ini dikembangkan yang memadukan data lapangan dengan data hasil pencitraan jarak jauh (misalnya, citra satelit) harus diuji untuk memantau stok karbon yang berhubungan dengan berbagai tata guna lahan berbeda dan berbagai kategori degradasi lahan, ujar Louis Verchot, ilmuwan yang bekerja dengan Center For International Forestry Research (CIFOR).
Pendekatan yang memasukkan biomasa akar akan menghasilkan pendugaan stok karbon yang lebih sempurna.
Namun, ada beberapa kekhawatiran bahwa tantangan-tantangan yang terus berlangsung dalam pengukuran perubahan besar dalam stok karbon mungkin akan membuat REDD+ terbuka terhadap pemalsuan dan kontroversi.
Menurut Mertz, satu solusinya ialah mungkin dengan memberi imbalan kepada mereka yang tetap berpegang pada pengelolaan tata guna lahan berkelanjutan yang mencegah degradasi lebih jauh, dan bukannya menawarkan imbalan berbasis performa yang terkait dengan pengukuran karbon atau kompensasi untuk biaya kehilangan kesempatan.
“Hutan terdegradasi mengalami degradasi karena dipergunakan secara aktif,” ujarnya, “dan cara yang paling efektif untuk memberi kompensasi kepada para penggunanya mungkin dengan memberi imbalan kepada mereka yang mempraktikkan pengelolaan hutan yang baik.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org