BOGOR, Indonesia (17 September 2012)_…”Beli tanahmu, mereka tidak akan membuatnya lagi!” Sindiran Mark Twain ini saat terjadinya akuisisi tanah besar-besaran di Amerika Utara pada akhir abad ke-19 yang terasa masih terjadi di situasi saat ini. Lebih dari 100 tahun kemudian, skala laju kontemporer pembelian lahan global beserta apropriasinya dari stakeholder lokal belum pernah terjadi sebelumnya sejak akuisisi tanah kolonial di akhir abad 19 dan awal abad 20.
Dirangsang oleh lonjakan harga pangan global menjelang akhir dekade pertama tahun 2000, sejumlah negara maju yang bergantung pada pangan impor menyatakan mulai membeli lahan produksi pertanian luas di negara berkembang guna mencapai ketahanan pangannya. Ditambahkan dengan munculnya pasar biofuel, perkebunan berbasis kehutanan dan meluasnya ekspansi bahan pangan seperti minyak sawit, banyak lahan di lahan swasta kehutanan global telah dipindahtangankan dari kontrol negara menjadi kepemilikan swasta, yang terkadang dalam prosesnya mengambil dari sumber daya hutan yang berharga, terutama kayu.
Pengerak perekonomian dari konversi lahan telah terdokumentasi baik. Pemerintahan negara kaya lahan berpihak kepada manfaat dari ekpansi produksi pertanian, selain keuntungan cepat terhadap populasi pedesaan mereka sendiri, yang seringkali tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi, dan menyaksikan penjarahan tanah adat mereka.
Sementara fenomena yang dikenal dengan “land grabbing” (perebutan lahan) kian dikenal, dan terus berlanjut, meningkatnya suatu aksi yang halus, dan dapat dikatakan lebih etis telah mengumpulkan momentum. Sebagian besar lahan di sekeliling dunia sedang diperebutkan dan disesuaikan dengan agenda lingkungan, suatu proses yang telah ditemukan cukup berperngaruh traksi oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat internasional. Jurnalis dari Guardian, John Vidal mendeskripsikan pendekatan baru dalam usaha konservasi alam ini sebagai “green grabbing” (perebutan hijau).
Perebutan lahan yang didasari rasa peduli lingkungan tersebut bukanlah konsep baru. Pada akhir tahun 1980an, pada saat peresmian taman nasional Korup di Kamerun, yayasan Earthlife Foundation menawarkan peluang bagi swasta untuk membeli satu hektar lahan di kawasan tersebut guna mempertahankan kelestarian [hutan] dalam jangka panjang. Meski skema ini gagal karena beberapa alasan, tetapi meskipun karena keterbatasan awal komodifikasi alam, inisiatif tersebut telah meluas dan meningkat menjadi suatu pendekatan konservasi
Sebagai saksi, contohnya, pertumbuhan portal Ecosystem Marketplace, antara lain, menganjurkan agar pasar-pasar jasa ekosistem yang disediakan oleh alam dapat sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem ekonomi kita saat ini. Dan seperti yang dilaporkan oleh John Vidal, pembelian lahan untuk konservasi telah menjadi kewenangan orang-orang kaya, mencari suatu investasi eksklusif dan tampaknya etis.
Dalam suatu ringkasan makalah di edisi khusus Journal of Peasant Studies, James Fairhead dan beberapa koleganya membuat katalog peningkatan prevelansi dari “perebutan hijau” serta melihat bagaimana sektor lingkungan mempengaruhi alam baik itu dipahami dan dikelola. Mereka memberikan suatu analisa mendalam sejauh mana sektor lingkungan telah merangkul pasar ekonomi, baik itu jasa karbon, keanekaragaman hayati atau jasa ekosistem
Fairhead dan koleganya berargumentasi bahwa komodifikasi alam mencerminkan suatu tren menuju neoliberalisme global di mana pasar akan menentukan dan dapat dikatakan mendikte mana yang harus kita nilai dan mana yang tidak. Untuk itu, pembayaran untuk jasa lingkungan hidup (PES), pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta inisiatif lain yang didorong [skema] keuangan telah menjadi diarusutamakan ke dalam agenda konservasi.
Dalam perkembangannya, alam sendiri telah menjadi salah satu sumber profit, menyatukan korporasi-korporasi kebersamaan yang tak lazim dari pemerintahan kaya lahan, industri perbankan, lembaga-lembaga swadaya konservasi internasional dan komunitas donor. Mengingat hilangnya kepercayaan baru-baru ini akibat resesi industri keuangan global serta resesi global, hal tersebut mungkin mengejutkan bahwa kita berbagi keprihatinan dengan lingkungan telah dipengaruhi oleh adanya kebutuhan untuk mengabungkan pasar-pasar dengan karbon serta komoditi sumber alam lainnya ke dalam arus utama perekonomian kita. Hal ini seperti pembicaraan tentang uang. Apakah benar demikian?
Sayangnya, segala pendekatan berbasis keuangan, tak peduli seberapa baik niatnya, cenderung tidak berpihak dengan kepentingan masyarakat lokal. Peruntukan lahan tanpa mengiraukan kesadaran penuh kepemilikan lahan adat dari masyarakat pedesaan,yang telah dinikmati berabad-abad tak diragukan sudah mengakibatkan implikasi-implikasi mata pencaharian negatif. Meski pendekatan berbasis hak-hak untuk “ memberikan sedikit kerugian” diarahkan pada penghormatan [hak] masyarakat lokal, kenyataan di lapangan seringkali berbeda dengan kemajuan konsep. Oleh karena itu, dokumentasi rapi tentang perlawanan terhadap inisiatif PES/REDD oleh masyarakat adat yang melihat hak-hak tanahnya dilanggar dan mata pencaharian mereka terganggu.
Hasil utama dari konferensi Rio+20, di mana “ekonomi hijau” di anggap sebagai agenda pusat pembangunan lestari, telah menimbulkan anggapan bahwa solusi berbasis pasar adalah obat mujarab yang tepat untuk menyembuhkan masalah lingkungan dunia. Akibatnya, beberapa pihak berargumen bahwa nilai instrinsik alam serta penghormatan terhadap mata pencaharian lokal serta sistim-sistem pengetahuan telah hilang karena meningkatnya pengaruh pendekatan-pendekatan berbasis pasar.
Sistem pasar global yang befokus global telah dikatakan bertanggung jawab dalam mengawasi transformasi dari hampir setiap ekosistem dan bioma di bumi. Untuk beralih ke sumber yang sama guna penyediaan solusi-solusi lestari dan adil bagi masalah-masalah lingkungan hidup tampaknya dipertanyakan. Jutaan masyarakat yang akan kehilangan lahannya dalam waktu dekat pasti akan setuju.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org