By Fidelis E. Satriastanti
Untuk urusan perubahan iklim, Indonesia berada di garis depan dengan komitmen penurunan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020. Tetapi, untuk urusan korupsi, negara ini pun masih jauh dari pemerintahan yang bersih dan terbuka.
Reputasi buruk tersebut membuat dunia luar mempertanyakan dengan sangat keras kredibilitas Indonesia saat dipercaya menangani dana besar hasil dari mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).
Hal ini pula yang sangat dirasakan oleh Kuntoro Mangkusubroto, kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan) yang juga sekaligus sebagai ketua Satuan Tugas (Satgas) REDD Plus yang baru saja dibentuk.
“Banyak keraguan saat Norway dan Indonesia sepakat menandatangani perjanjian untuk REDD Plus, apalagi reputasi negara ini di bidang korupsi cukup ‘dikenal’,” kata Kuntoro dalam salah satu sub plenary mengenai illegal logging, korupsi, dan perubahan iklim dalam Forest Day, Minggu (4/12), di Cancun Center, Cancun, Meksiko.
Tetapi, Kuntoro menyatakan keoptimisannya bahwa sektor kehutanan di Indonesia akan menjadi lebih ‘sehat’ di masa depan.
“Kami sedang dalam proses membenahi pengelolaan hutan kami. Selama 30 tahun lebih kami berada pada fase di mana hutan hanya dianggap sebagai kayu yang bisa ditebang kapan saja. Selama 30 tahun itu, kami terjebak dalam pengelolaan hutan yang eksploitatif,” jawab Kuntoro. “Tetapi, melalui persiapan-persiapan untuk strategi nasional REDD Plus ini, kami mulai membenahi struktur pemerintahan kami. Ini bukan hal yang mudah dan akan banyak tekanan, terutama dari kalangan industri.”
Bagi Kuntoro, persoalan yang paling pelik adalah membenahi izin-izin pengelolaan hutan yang ada.
Saat Indonesia dan Norway menandatangani ‘Letter of Intent’ (LoI) untuk REDD Plus, salah satu klausul mensyaratkan adanya moratorium hutan selama dua tahun untuk perizinan pembukaan lahan di hutan alam dan lahan gambut.
“Hal yang sedang kami lakukan pertama kali adalah inventarisasi (areal hutan), daerah mana saja yang ternyata berada di daerah hutan alam dan yang tidak. Ada ratusan izin yang teridentifikasi berada di kawasan tersebut,” sambungnya. “Kami akan melihat bagaimana proses izin didapatkan juga akan melihat kemungkinan memindahkan aktifitas dari areal tersebut.”
Sementara, Ajit Joy, UN Office untuk Obat-obatan dan Kejahatan, mengatakan bahwa REDD merupakan kesempatan yang unik untuk bisa membenahi korupsi dan ilegal logging di sektor kehutanan.
“Anda harus menyadari fakta bahwa negara-negara yang ditargetkan untuk REDD mempunyai reputasi buruk untuk soal korupsi. Indonesia saja masih berada di tingkat 100 teratas, jadi, pengalaman ini mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Ajit.
Selanjutnya, dia menegaskan bahwa solusi untuk REDD bisa bekerja dengan baik adalah dengan memasukkan isu HAM, gender perspektif, dan masyarakat adat.
Dalam sub plenari tersebut, Ajit juga menegaskan bahwa persoalan ilegal logging tidak bisa dianggap enteng.
“Ini (ilegal logging) merupakan masalah yang kompleks. Ada berbagai macam bentuk modus operandi, mulai dari anak-anak muda hingga perusahaan besar, dari alat biasa ke alat yang sudah canggih,” katanya.
Menurutnya, pemberantasan ilegal logging ataupun korupsi tidak bisa lepas dari peran utama para petugas di lapangan.
“Untuk REDD saja, kita bisa lihat indikasi untuk korupsi sudah ‘mengintai’ dan sangat mungkin terjadi,” katanya.
Sudah ada ratusan ‘koboi karbon’ (carbon cowboy), dia menambahkan, mengaku sebagai NGO, mendatangi para kepala daerah dan menjanjikan datangan uang dari REDD.
“Tiba-tiba sudah ada REDD pilot project, entah bagaimana prosesnya. Ini sedang terjadi dan akan terus meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama yang kuat dengan para penegak hukum demi mencegah kebocoran-kebocoran ini,” katanya. “Sayangnya, saya belum melihat adanya klausul atau rencana dalam strategi nasional REDD untuk Filipina dan Indonesia.”
Merespons soal ini, Kuntoro mengatakan bahwa mereka sudah menjalin kerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
“Kami sangat tahu mengenai ancaman korupsi, tetapi, jangan dilihat dari segi kami saja,” kata Kuntoro. “Kami juga mendesak untuk negara-negara pembeli kayu kami untuk berhenti menyuap militer atau petugas kami di sini. Jika anda terus-terusan berpraktek seperti itu, kemampuan kami juga ada batasnya dan bisa saja tidak terbendung lagi.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org