BOGOR, Indonesia (15 Agustus, 2012)_Usaha-usaha untuk melarang secara total kegiatan pertanian tradisional yang tidak intensif dalam sebuah taman nasional di Indonesia yang merupakan benteng untuk spesies kakaktua Maluku yang terancam punah dapat memberi dampak negatif kepada spesies yang semestinya dilindungi oleh taman tersebut, demikian indikasi dari sebuah penelitian CIFOR yang sedang berlangsung.
“Sampai tingkat tertentu, tampaknya burung kakaktua Maluku bergantung pada hutan yang telah dimodifikasi manusia seperti hutan kebun campuran dan hutan damar yang terdapat di dalam Taman Nasional Manusela. Bila larangan penuh terhadap praktik-praktik pertanian tradisional diberlakukan, larangan ini sebenarnya dapat merugikan populasi burung kakaktua tersebut,” kata Masatoshi Sasaoka, seorang peneliti pasca-doktoral CIFOR yang telah melakukan penelitian lapangan di sebuah komunitas dataran tinggi di Seram tengah di dekat taman tersebut sejak tahun 2003.
Kakaktua berjambul salem (Cacatua moluccensis) ini endemik di kepulauan Maluku tengah di bagian timur Indonesia. Populasi liar berjumlah 60.000 ekor burung masih dapat ditemukan di Pulau Seram. Burung kakaktua berjambul mengembang ini, yang gambarnya muncul di logo Taman Manusela, menarik perhatian pengamat burung dari seluruh dunia.
“Sebagaimana dapat kita lihat– burung kakaktua ini dilahirkan sebagai suatu spesies yang memiliki nilai konservasi tinggi yang menarik perhatian banyak orang,” kata Sasaoka ketika menghadiri Kongres ke-13 International Society of Ethnobiology di Montpellier, Perancis, pada bulan Mei lalu.
Meskipun berbagai kegiatan pertanian yang berlangsung dalam taman nasional tersebut selama ini dianggap sebagai ancaman potensial terhadap keanekaragaman hayati dan telah dilarang oleh otoritas pengelola taman nasional Indonesia, sekitar 1.500 penduduk desa yang tinggal di daerah pegunungan di sekeliling taman nasional telah lama merawat kebun hutan, yang kaya dengan pohon buah-buahan seperti durian, nangka dan jambu air, dan hutan damar (Agathis damara), yang digunakan untuk produksi resin yang berkelanjutan untuk bahan bakar.
Kebun-kebun hutan ini tersebar sebagian besar di hutan sekunder tua (hutan yang telah tumbuh kembali setelah melewati gangguan besar seperti pertanian) dan dikelola cukup ekstensif oleh penduduk desa. Hutan damar tersebar sebagai gugusan di hutan sekunder dan hutan primer yang sudah tua.
Burung kakaktua Maluku – terdaftar dalam kategori hewan yang paling terancam punah di dunia oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) – tampaknya sering menggunakan gugus-gugus hutan yang dimodifikasi oleh manusia ini, ujar Masatoshi Sasaoka, yang telah memusatkan penelitiannya pada hubungan antar manusia dan kakaktua yang terbentuk melalui arborikultur penduduk asli di Seram tengah sejak 2010 dengan rekan peneliti Yves Laumonier dan Ken Sugimura.
Meskipun penelitiannya masih menunggu perbandingan antara jumlah relatif burung kakaktua di setiap jenis hutan, dari 78 lokasi burung kakaktua yang diidentifikasi penduduk setempat (lokasi yang disebut penduduk desa sebagai tempat di mana burung kakaktua Maluku sering dan biasa terlihat atau terdengar), 67 lokasi terletak di kebun hutan yang dimodifikasi manusia. Lebih dari seperempatnya terletak dalam taman nasional.
“Bila hutan-hutan yang dimodifikasi manusia merupakan habitat penting bagi burung kakaktua Maluku, ada kemungkinan bahwa langkah pengelola taman nasional yang sekarang untuk melarang secara ketat campur tangan manusia melalui pertanian di dalam taman tidak tepat untuk mendorong konservasi tanpa mengganggu penghidupan penduduk setempat yang hidup di wilayah hutan yang terpencil,” ujar Sasaoka sebelum World Conservation Congress yang akan diselenggarakan bulan depan di Korea Selatan, di mana para pejabat teras lingkungan dan pembangunan akan mendiskusikan berbagai cara untuk melindungi, mengelola dan menata alam, termasuk ditetapkannya daerah-daerah yang dilindungi.
“Mungkin diperlukan kajian untuk melihat apakah tepat untuk menerapkan ‘model konservasi berbasis zona’ konvensional yang secara ketat memisahkan wilayah sumber daya yang digunakan manusia dan habitat hewan liar dengan dasar data kuantitatif yang lebih objektif,” tambahnya.
Belum jelas sampai tingkat apa burung-burung kakaktua ini bergantung pada hutan-hutan yang dimodifikasi manusia yang terbentuk melalui praktik-praktik arborikultur oleh penduduk asli.
“Kami melakukan survei transect burung kakaktua bersama penduduk setempat selama musim durian dan nangka. Kami merencanakan untuk melakukan survei serupa selama musim tidak berbuah untuk menghindari bias musim. Dengan dasar data yang dikumpulkan survei tersebut, kami ingin membandingkan jumlah relatif burung kakaktua antara hutan yang dimodifikasi manusia dan hutan alam.”
Sasaoka dan rekan-rekannya berencana untuk mempublikasikan temuan lengkapnya pada tahun 2013.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org