hide menu   
FORESTS NEWS
 
Liputan Khusus   /   24 Juni 2024

Menjelajahi Hutan Hujan Terluas di Dunia

Scroll

Pulau Kalimantan di Indonesia menyimpan harta karun alam yang tiada duanya: hutan tertua di dunia berusia 130 juta tahun. Hutan ini bagaikan raksasa hijau yang menjulang tinggi, dengan pepohonan yang menyaingi ketinggian gedung 26 lantai. Di bawah kanopi yang lebat, terhampar kehidupan penuh keragaman satwa seperti kera, serangga, dan burung.

Hutan hujan Kalimantan, layaknya hutan hujan lainnya, berperan penting dalam menjaga siklus air global. Hutan ini menjadi sumber utama “sungai terbang”, yaitu aliran uap air yang bergerak di atmosfer dan membawa air hujan ke berbagai wilayah di Bumi. Uap air ini kemudian turun sebagai hujan di daerah-daerah yang jauh dari hutan hujan, seperti di pulau-pulau kecil dan daerah kering. Hutan ini juga memiliki lahan gambut, yaitu jenis lahan basah yang mampu menyimpan karbon dua kali lebih banyak daripada seluruh vegetasi di Bumi.

Di seluruh dunia, hutan bertindak sebagai pelindung keanekaragaman hayati Bumi. Hutan melindungi sumber daya tanah dan air, menstabilkan iklim global, dan menopang kehidupan 1,6 miliar orang, termasuk 70 juta penduduk asli.

Para pemimpin dunia dari 145 negara telah berkomitmen untuk menghentikan dan memulihkan kerusakan hutan pada tahun 2030. Namun, sayangnya planet kita masih terus kehilangan hutan dengan kecepatan yang mengkhawatirkan yaitu hampir 10 kali luas lapangan sepak bola lenyap setiap menitnya.

Menjelang Kongres Dunia IUFRO ke-26 yang akan diselenggarakan di Stockholm, Swedia, pada 23 sampai 29 Juni mendatang, kami ingin mengajak Anda mengikuti perjalanan melintasi tiga hutan hujan terbesar di dunia. Dalam perjalanan ini, kita akan mengeksplorasi arti penting hutan hujan bagi manusia dan Bumi, kondisinya saat ini, serta bagaimana hutan hujan dapat dikelola secara berkelanjutan untuk saat ini dan generasi mendatang.

 

Amazon, Sang Perkasa

Lebih dari 40 persen hutan hujan yang tersisa di planet ini berada di Amazon, yang juga merupakan habitat bagi setidaknya 10 persen dari semua spesies yang diketahui dan rumah bagi 385 kelompok masyarakat adat.

 

Pada tahun 2023, deforestasi di hutan Amazon di Brasil turun 50 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, angka tersebut masih hampir dua kali lipat dari level tahun 2012, ketika mencapai rekor terendah.

 

Peningkatan produksi komoditas ekspor seperti kedelai, kelapa sawit, daging sapi, kulit, kokain, dan emas menjadi pendorong utama hilangnya hutan di wilayah tersebut. Data dari Global Forest Watch mengungkapkan keprihatinan besar akibat hubungan timbal balik antara deforestasi, kekeringan, dan kenaikan suhu udara. Kondisi ini pada akhirnya bisa mengubah sebagian hutan hujan Amazon menjadi sabana.

 

Sekitar sepertiga dari hutan Amazon kini dapat diakses melalui jalur darat atau sungai, mempermudah masuknya manusia dan menyebabkan fragmentasi habitat. Tepi-tepi hutan yang terbuka ini berpotensi terhadap penyebaran kebakaran dan mengganggu koridor migrasi yang dibutuhkan spesies untuk bertahan hidup dan berkembang biak.

 
 

Meningkatkan tata kelola sumber daya alam, memperkuat penegakan hukum, dan melibatkan sektor swasta dalam perbaikan praktik pertanian adalah beberapa cara untuk mengubah lintasan saat ini.

 

Prioritas lainnya adalah memerangi kemiskinan, memanfaatkan mekanisme pembayaran berbasis kinerja, dan membuka bioekonomi tahunan senilai USD 8 miliar pada 2050 dengan menempatkan hasil hutan Amazon yang diproduksi secara berkelanjutan seperti buah açaí dan kacang Brasil di pasar global.

 
Aerial view of the Amazon rainforest, near Manaus, the capital of the Brazilian state of Amazonas. Brazil. Photo by Neil Palmer/CIAT
Parrot in the Amazon, Brazil. Photo by Neil Palmer/CIAT
An aerial shows the contrast between forest and agricultural landscapes near Rio Branco, Acre, Brazil. Photo by Kate Evans/CIFOR
Jean de Souza shows the fruits of his labour. Photo by Kate Evans/CIFOR
Measuring peat degradation. Photo by Kristell Hergoualc’h/CIFOR-ICRAF
 

Kongo, Si Murni

Lembah Sungai Kongo merupakan rumah bagi hutan hujan tropis terbesar kedua di dunia yang masih alami sekaligus yang paling sedikit dieksplorasi. Para ilmuwan dikejutkan oleh temuan terbaru tentang besarnya daya serap karbon Lembang Kongo. Wilayah ini juga mempunyai lahan gambut tropis terluas di dunia.

 

Sebagian besar hutan Lembah Sungai Kongo terdapat di Republik Demokratik Kongo (RDK), negara dengan salah satu pertumbuhan penduduk tercepat di dunia, tingkat kemiskinan yang meluas, dan merupakan sumber konsumsi daging liar terbesar di wilayah tersebut, yaitu sekitar 5 juta ton daging satwa liar per tahun.

 

Sektor informal menjadi pendorong utama hilangnya hutan di Republik Demokratik Kongo. Aktivitas tebang-dan-bakar untuk pertanian, produksi arang dan kayu bakar, penebangan liar, dan bahkan pertambangan skala kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, tetapi juga untuk mendanai kelompok bersenjata di perbatasan timur negara tersebut, menjadi penyebab utama menyusutnya tutupan hutan.

 

Namun di Kamerun, tantangannya berbeda. Perkebunan karet dan kelapa sawit bermunculan, menggusur hutan alam. Selain itu, penebangan liar yang minim pengawasan juga memperparah kerusakan hutan. Situasi ini memunculkan tantangan ganda dalam konservasi dan pengelolaan hutan Afrika secara berkelanjutan.

 

Prioritas untuk melindungi Lembah Sungai Kongo mencakup beberapa hal penting di antaranya memasukkan nilai-nilai ekosistem dalam proses pengambilan keputusan, menyediakan alternatif bagi jutaan orang yang terlibat dalam sektor informal, dan meningkatkan tata kelola, perencanaan tata guna lahan, serta keamanan tenurial, terutama bagi masyarakat adat.

 
Fa traditional chief and president of the Timber Association focused on wood works. Yaoundé – Cameroon. Photo by Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF
A child carries firewood while we were on the way from Kisangani to the village of Masako. Democratic Republic of Congo. Photo by Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF
Carpenter chainsawing a felled tree in a forest near the Ovangoul village. Center Region, Cameroon. Photo by Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF
Aereal view of the Congoflux tower. Photo by Fiston Wasanga/CIFOR-ICRAF
Woman seating on sacs of charcoal near Yaselia, Tshopo Province – DRC. Photo by Axel Fassio/CIFOR-ICRAF
A view of the Regreening Africa app. Photo: Regreening Africa/KANDS Collective
 

Asia Tenggara, Sang Leluhur

Asia Tenggara memiliki kekayaan alam berharga berupa hutan hujan tertua di Bumi. Hutan-hutan ini menjadi satu-satunya habitat di dunia di mana kita bisa menemukan gajah, harimau, badak, dan orangutan hidup berdampingan di bawah kanopi yang sama. Hutan di wilayah ini merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Sebagian besar wilayah hutan ini berada di Indonesia, dengan area yang masih tersambung terutama terdapat di pulau Papua dan Kalimantan.

 

Selama beberapa dekade terakhir, hutan di Indonesia mengalami tekanan besar akibat permintaan global akan minyak kelapa sawit dan pulp—bahan baku untuk produk pakaian dan kertas—penebangan liar, pembangunan bendungan, dan pertambangan menyebabkan hilangnya sebagian besar wilayah hutan.

 

Namun, kabar gembiranya adalah Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam memerangi deforestasi. Dalam beberapa tahun terakhir, laju deforestasi telah menunjukkan tren penurunan. Indonesia juga telah berinvestasi dalam proses ketertelusuran komoditas pertanian dan aktif dalam upaya mengatasi kabut asap lintas batas. 

 

Di Asia Tenggara dan di seluruh dunia, berbagai upaya tengah dilakukan untuk memperbaiki kebijakan dan perencanaan tata guna lahan yang sejalan dengan hak asasi manusia dan ilmu pengetahuan terkini. Upaya ini bertujuan dalam meningkatkan transparansi rantai pasok komoditas pertanian dan menciptakan insentif keuangan yang menjamin kesejahteraan masyarakat serta masa depan hutan.

 
Local people of Gede Pangrango, Dadin, a 45 year old man, fishing in the lake using a traditional net. Photo by Ricky Martin/CIFOR-ICRAF
Katingan river and peatland forest in Parupuk village, Katingan. Central Kalimantan. Photo by Nanang Sujana/CIFOR-ICRAF
Activities of Palm Oil Workers at the palm oil plantation cooperative of Muara Kaman Ulu Bina Tani Cooperative, Muara Kaman District, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan. Photo by Ricky Martin/CIFOR-ICRAF
Ibu Rosalina Impung, Kalimantan, Indonesia. Photo by Icaro Cooke Vieira/CIFOR-ICRAF
Segama River seen from the view point platform at the Borneo Rainforest Lodge area. Photo by Greg Girard/CIFOR-ICRAF

Pengembangan cerita: Gloria Pallares | Produksi video: Aris Sanjaya | Desain web: Gusdiyanto | Koordinasi publikasi: Monica Evans

Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.