Berita

Lahan Gambut Dapatkan Fokus Iklim yang Lebih Besar di Program Bantuan Pembangunan Korea Selatan

Baru-baru ini, pertemuan internasional yang diikuti peneliti, diplomat, dan praktisi pembangunan membahas pemfokusan Korea Selatan pada bantuan pembangunan ‘hijau’, dengan contoh-contoh dari Indonesia
Bagikan
0
Simposium Internasional ke-2 tentang Restorasi Lahan Gambut Berbasis Masyarakat untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Sasaran Mata Pencaharian, diselenggarakan pada 22 Juni 2023 di Seoul. Foto oleh NIFoS

Bacaan terkait

Mitigasi perubahan iklim merupakan target utama Korea Selatan dalam proyek bantuan pembangunan di luar negeri yang bertujuan membantu mencapai netralitas karbon dan menerapkan Kesepakatan Baru Hijau (Green New Deal) di sektor tersebut, menurut peserta simposium restorasi lahan gambut yang diadakan baru-baru ini di Seoul.

Tahun ini, Korea Selatan -atau secara resmi bernama Republik Korea- menerbitkan Comprehensive Action Plan for International Development Cooperation atau Rencana Aksi Komprehensif untuk Kerja Sama Pembangunan Internasional dengan fokus khusus pada pengendalian perubahan iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah Korea Selatan bertujuan membantu mencapai Green New Deal Official Development Assistance (Green ODA) yang strategis untuk memperkuat aksi iklim dan mempromosikan ekonomi rendah karbon.

Action Plan ini dengan jelas menyatakan bahwa proyek kerja sama di negara berkembang harus secara aktif mendukung mitigasi perubahan iklim, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai netralitas karbon, melalui pertukaran pengetahuan, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas,” kata Eunho Choi, Ilmuwan di National Institute of Forest Science (NIFoS), pada Simposium Internasional ke-2 tentang Restorasi Lahan Gambut Berbasis Masyarakat untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Sasaran Mata Pencaharian, diselenggarakan pada 22 Juni 2023 di Seoul.

Choi juga memimpin proyek bantuan pembangunan di lahan gambut di Provinsi Sumatra Selatan Indonesia yang dilaksanakan bersama dengan Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF).

Sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk merestorasi 14 juta hektare lahan terdegradasi, termasuk 2 juta hektare lahan gambut – Pemerintah Korea Selatan dan Indonesia telah menjalin kerja sama dalam restorasi lahan gambut yang berfokus pada ‘3R’: rewetting atau pembasahan ulang (infrastruktur), revegetasi (dengan pohon penanaman), dan revitalisasi (lahan sekitar desa).

NIFoS dan CIFOR-ICRAF sedang mengembangkan model yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan peningkatan mata pencaharian masyarakat lokal untuk merestorasi lahan gambut dan lahan terdegradasi lainnya di Indonesia.

“Pekerjaan ini sangat penting,” kata Himlal Baral, Ilmuwan Senior Restorasi Hutan dan Bentang Alam dari Tim Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon CIFOR-ICRAF. “Indonesia merupakan rumah untuk sekitar 47% dari seluruh lahan gambut di Bumi — hampir 150,00 km2 — yang menyerap 60 gigaton karbon dioksida. Namun, penebangan dan pembakaran untuk membuka lahan, serta pengeringan air gambut untuk pertanian dan perkebunan tanaman non-rawa gambut menyebabkan hampir setengah dari lahan gambut Indonesia terdegradasi.”

Menurut Park Chongho, Direktur Eksekutif Asian Forest Cooperation Organization (AFoCO), badan antar pemerintah yang berbasis di Seoul, selama satu dekade terakhir, institusi-institusi Korea Selatan telah secara aktif berupaya memulihkan lahan gambut Indonesia.

Sejak 2019, dinas kehutanan Korea Forest Service telah menjalankan proyek restorasi yang menargetkan 200 hektare lahan gambut — setara dengan luas sekitar 280 lapangan sepak bola — di Provinsi Jambi.

Sementara itu, sejak 2016, AFoCO telah bekerja sama dengan komunitas lokal untuk merestorasi lahan gambut di Kalimantan Tengah. AFoCO juga telah mengembangkan Rencana Aksi Iklim 10 tahun (10-year Climate Action Plan) dengan tiga program strategis untuk restorasi hutan – termasuk lahan gambut – melalui solusi masyarakat dan inovasi digital, menurut Chongho.

“Hari ini, kami meminta dukungan dan perhatian berkelanjutan di sektor hutan dan lahan gambut dari semua perwakilan organisasi dan peserta yang hadir di sini,” kata Park. “Kami berharap paparan penelitian bersama ini dapat menjadi model restorasi lahan gambut untuk merespon perubahan iklim.”

Eunho dan Baral menjadikan Green ODA sebagai contoh dalam presentasi mereka tentang proyek yang didanai NIFoS di Provinsi Sumatra Selatan.

Proyek Reboisasi dan Usaha Berbasis Masyarakat Berkelanjutan (Sustainable Community-based Reforestation and Enterprises, SCORE) bertujuan untuk memungkinkan mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan gambut secara jangka panjang melalui penerapan pendekatan agroforestri cerdas iklim. Upaya ini meningkatkan penyerap karbon, keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem, serta meningkatkan mata pencaharian lokal dengan mengembangkan pasar untuk produk agri-pangan (termasuk ikan),  essential oil dan biomassa yang berkelanjutan.

Saat ini sedang dilakukan pendekatan agro-silvo-perikanan untuk pemugaran plot percontohan seluas 10 hektar yang melibatkan 11 petani. Proyek ini menghilangkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan menggunakan varietas beras yang disesuaikan dengan hasil yang lebih besar, pohon penghasil minyak dan buah-buahan, tanaman musiman dan tambak ikan dengan spesies asli yang disesuaikan dengan pH tinggi dari gambut yang dibasahi kembali. Hasilnya sangat memuaskan, sehingga sudah ada rencana untuk memperluas model ini ke lebih banyak petani dan lahan lainnya.

   NIFoS dan CIFOR-ICRAF tengah mengembangkan model untuk merestorasi lahan gambut dan lahan terdegradasi lainnya di Indonesia dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan mata pencaharian lokal. Foto oleh NIFoS

“Menyadari prioritas Pemerintah Indonesia untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektare lahan gambut terdegradasi pada 2030 di bawah kontribusi yang ditentukan secara nasional untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, tim peneliti ingin membuat model yang berkelanjutan, memberikan manfaat bagi planet, bangsa dan komunitas lokal,” kata Baral. “Kami menemukan bahwa masyarakat yang tinggal di lahan gambut merupakan aspek terpenting dari restorasi lahan gambut.”

Eunho sependapat, ia menambahkan bahwa temuan tim yang menunjukkan bahwa “pemulihan hijau yang saling menguntungkan” merupakan hal yang mungkin terjadi untuk mengatasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, juga berkontribusi pada Green ODA.

“Ketika kita terlibat dalam kerja sama pembangunan internasional yang mempertimbangkan kesejahteraan bersama, maka sektor kehutanan bisa menjadi solusi yang baik,” ujarnya.


Proyek SCORE bertujuan untuk mengidentifikasi, dan meningkatkan, model restorasi yang sesuai dengan kondisi lokal berdasarkan berbagai jenis lahan terdegradasi di Indonesia.


Untuk informasi lebih lanjut: Himlal Baral (h.baral@cifor-icraf.org) atau Eunho Choi (ehchoi710@korea.kr)

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Perubahan Iklim Lahan Gambut

Lebih lanjut Perubahan Iklim or Lahan Gambut

Lihat semua