Berita

Minyak Sawit Bebas-Deforestasi Tidak Otomatis Menguntungkan Semua Pihak

Regulasi baru minyak sawit akan berdampak pada petani
Bagikan
0
Perkebunan kelapa sawit di Desa Muara Kaman Ilir, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Foto oleh Ricky Martin/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia. Sifat multi guna dan dapat dikonsumsi membuatnya bisa didapati pada adonan pizza hingga mi instan dan roti. Disukai karena relatif menguntungkan, berbiaya rendah dan keragaman pemanfaatan, khususnya bagi produsen makanan, minyak sawit terkandung dalam separuh dari seluruh produk yang dijual di toko serba ada di seluruh dunia.

Dalam dua dekade terakhir, minyak sawit menjadi bagian penting ekonomi Indonesia. Saat ini diproduksi lebih dari 30 juta ton per tahun, dengan lebih dari 3 juta pekerja. Namun produksi minyak sawit memicu sorotan global terkait dengan kehilangan hutan tropis.

Dalam rangka mengatasi tantangan ini pada Desember 2022, salah satu blok perdagangan utama, Uni Eropa menyepakati regulasi baru dan diterapkan pada 2023 melarang perdagangan produk yang tidak bebas deforestasi. Implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) bisa berkontribusi menurunkan deforestasi dan emisi dari konsumsi di UE.

Meskipun begitu, para pakar pada Dialog Kebijakan Tingkat Tinggi Simpul Perdagangan GCRF 2023 di Indonesia menyuarakan kekhawatiran bahwa regulasi seperti itu akan berdampak pada petani dan negara produsen.

Ancaman iklim dan keanekaragaman hayati

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), dunia sudah kehilangan 178 juta hektare hutan sejak 1990, sebanding dengan luas Libya. Sekitar separuh dari total 23 persen emisi gas rumah kaca antropogenik dari pertanian dan kehutanan bersumber dari kehutanan dan perubahan penggunaan lahan, terutama deforestasi.

EUDR memengaruhi tujuh komoditas: kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, kopi dan karet – serta produk turunannya seperti kulit, cokelat atau furnitur. Regulasi ini bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi serta memerangi perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, mencegah perusahan dari memperdagangkan komoditas terkait deforestasi.

Mengingat Uni Eropa menjadi destinasi ekspor keempat terbesar Indonesia untuk minyak sawit, dengan 11% dari total pasar ekspor minyak sawitnya, Indonesia dituntut menunjukkan bahwa komoditas ini tidak diproduksi pada lahan terdeforestasi atau pada degradasi hutan pasca 31 Desember 2020, agar sejalan dengan EUDR.

Sinkronisasi kebijakan

Para pakar yang berbicara pada acara tersebut menekankan bahwa kebijakan di Indonesia yang selaras dalam mengurangi dampak terhadap bentang alam berisiko tinggi dan masyarakat desa sudah ada. Kebijakan yang ada seperti strategi nasional mitigasi perubahan iklim, Serapan Bersih Karbon dari Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lain (FOLU) 2030.

Direktur Asia CIFOR-ICRAF, Sonya Dewi menyatakan, “Ambisi Indonesia untuk mencapai Serapan Bersih FOLU 2030 mendapat sanjungan global. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat aktif mensosialisasikan komitmen ini dengan para pemangku kepentingan daerah dalam rangka melaksanakan implementasi.”

“Menghindari dan mengendalikan deforestasi menjadi satu dari sejumlah strategi terpenting untuk mencapai target Serapan Bersih FOLU, dan oleh karena itu terdapat sinergi kuat antara Deklarasi Bebas Deforestasi UE dan Serapan Bersih FOLU, yang diluncurkan Pemerintah Indonesia.”

Musdhalifah Machmud, Wakil Menteri Bidang Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Perekonomian Indonesia, sepakat bahwa regulasi ini menjadi sangat penting dalam keberlanjutan jangka panjang sektor minyak sawit.

“Kita semua di sini memiliki visi, semangat dan kemauan yang sama. Kita ingin seluruh sumber daya dikelola dengan cara yang berkelanjutan.” Ia mencatat bahwa keseimbangan perlu dijaga dalam mencipta manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari minyak sawit.

Fokus konsumen

Memahami permintaan negara konsumen untuk kebijakan minyak sawit berkelanjutan seperti EUDR, dan dampaknya pada produsen kecil, menjadi salah satu bagian kunci dialog dalam konsultasi di Indonesia. Rizal Affandi Lukman, Sekretaris Jenderal Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menyatakan, karena minyak sawit merupakan komoditas dikendalikan pasar, baik konsumen maupun produsen perlu dipertimbangkan dalam perdagangannya.

“Pemerintah Indonesia dan Malaysia melakukan upaya besar dalam mempromosikan minyak sawit berkelanjutan. Kami telah memiliki skema sertifikasi nasional, oleh karena itu saya pikir UE juga perlu mendengar dan melihat upaya yang telah dilakukan dalam memenuhi standar keberlanjutan ini,” katanya. Ia menambahkan, petani kecil seharusnya tidak dibebani biaya memenuhi standar kepatuhan.

Poin ini digemakan oleh Abetnego Tarigan, Wakil Kepala Kantor Staf Presiden bidang Pengembangan SDM Indonesia, yang menekankan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan lagi laju deforestasi yang telah berkurang.

Memastikan produksi minyak sawit berkelanjutan, tanpa kebijakan yang membebani menjadi penting bagi sejumlah negara. Ia menekankan bahwa tiap negara memiliki prioritas tersendiri. Misalnya, di Indonesia, penurunan kemiskinan dan pembangunan menjadi isu penting dalam kebijakan, sementara mungkin tidak di Eropa.

Fitri Nurfatriani, Koordinator Lingkungan, Kehutanan, dan Konservasi Sumber Daya Air, pada Wakil Pengembangan Kebijakan BRIN menyatakan, Pemerintah Indonesia telah menyempurnakan sistem sertifikasi dan mendeklarasikan rencana aksi nasional minyak sawit berkelanjutan untuk mengakselerasi keberlanjutan, akses pasar dan resolusi konflik, bekerja sama dengan petani untuk mengurangi ekspansi pertanian ke area hutan sembari meningkatkan produktivitas dan memenuhi target reduksi emisi FOLU.

Robert Nasi, Pelaksana Direktur Utama ICRAF-CIFOR menyatakan, “Ada sejarah panjang pertanian dan deforestasi. Kita cenderung melupakan bahwa Eropa telah terdeforestasi akibat pertanian. Adakah gandum atau kentang produksi Eropa atau AS yang berasal dari lahan yang sebelumnya bukan hutan?

“Kini 80% deforestasi di hutan tropis terkait dengan pertanian.” Namun menggantikan minyak sawit dengan tanaman lain, tambahnya memerlukan 10 kali lipat area lahan, dan mendorong keanekaragaman hayati menjadi sangat penting dalam keberlanjutan jangka panjang.

Jalan tengah

Menemukan jalan tengah dalam mengatasi kompleksitas disuarakan. Jika ekspor ke Eropa menurun, pembeli besar lain seperti India, China dan Pakistan akan makin penting. Sementara mendorong minyak sawit bebas deforestasi dapat membantu Indonesia mencapai target emisi dan mengurangi deforestasi, langkah ini tidak lantas memberi hasil menang-menang jika petani tidak mendapat manfaat.

Mansuetus Darto, dari Sekretariat Jenderal Persatuan Petani Sawit menyatakan bahwa regulasi ini bisa berdampak positif bagi petani jika eksportir memberikan pelatihan dan bantuan investasi untuk petani. Sebagian dampak regulasi baru, lanjutnya, baru akan dirasakan lima tahun ke depan, sehingga pemantauan dampak akan menjadi tahapan berjalan dari proses uji kelayakan yang diikuti oleh masyarakat adat.

Namun, petani kelapa sawit generasi kedua dan perwakilan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Maria Goldameir Mektania menyatakan bahwa menggeser perdagangan dari Eropa ke China bisa menjadi strategi jangka panjang yang lebih baik. “Sepertinya kita didikte oleh EUDR. Jika tidak mematuhi tuntutan, mereka tidak akan membeli komoditas kita. Padalah petani Indonesia telah mulai menerapkan praktik berkelanjutan,” katanya. “Regulasi hanya akan dipinggirkan ke satu sudut.”

Agus Purnomo, Penasihat Senior Keberlanjutan, Agribisnis dan Pangan Sinar Mas menyatakan, “Dapatkah Indonesia memasok minyak sawit bebas deforestasi dan berkelanjutan? Jawabannya bisa. Kita bisa melakukannya sekarang, kita bisa melakukannya tahun depan, besok… Kita tidak sedang berdebat apakah kita bisa berproduksi tetapi soal perbedaan prioritas antara Indonesia dan Eropa… Mari selesaikan itu. Tidak seorang pun mau menghancurkan hutan. Kami punya perhitungan, kami mematuhi regulasi internasional,” tegasnya.


Dialog ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) dan Simpul Perdagangan, Pembangunan dan Lingkungan Hidup (TRADE Hub) yang terjalin di Brazil, Afrika Bagian Tengah (Kamerun, Gabon, Demokratik Republik Kongo, dan Republik Kongo), Tanzania, Cina, dan Indonesia dalam rangka memberi pencerahan terkait dampak negatif perdagangan. Konsorsium riset global dipimpin oleh Pusat Pemantauan Konservasi Dunia – Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP WCMC) dan didukung oleh Dana Riset Tantangan Global – Badan Riset dan Inovasi Inggris (UKRI GCRF).


Untuk informasi lebih mengenai topik ini, hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cifor-icraf.org

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org