Bagikan
0

Sepanjang tahun 2022, Kabar Hutan telah menerbitkan 103 artikel yang mencakup berbagai kegiatan riset CIFOR-ICRAF di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Riset yang dilakukan mencakup berbagai topik meliputi di antaranya pengelolaan hutan lestari, penerapan agroforestri, perumusan kebijakan tata guna lahan, upaya perlindungan lahan gambut dan mangrove, bioenergi, restorasi lahan terdegradasi, pengembangan model bisnis dan mata pencaharian masyarakat, hingga topik pangan dan gizi masyarakat.

Di bawah ini kami merangkum 10 artikel yang paling menarik perhatian pembaca Kabar Hutan di tahun 2022.

1. Di Indonesia, Pongamia yang Kaya Minyak Menarik Perhatian karena Mudah Tumbuh

Pohon pongamia berkanopi lebar menghasilkan biji kaya minyak yang sekarang digunakan untuk biofuel dan sumber daya lainnya. Foto oleh: Lauren Guttierez

Kita mengetahui betapa sulitnya untuk menumbuhkan tanaman di lahan terdegradasi. Dipangkas dari tutupan hutan aslinya, dikeringkan dan sering terkontaminasi, diasamkan dan/atau terganggu oleh salinifikasi, lahan terdegradasi sering tetap kosong selama beberapa dekade, sehingga melepaskan karbon dioksida tingkat tinggi ke atmosfer untuk sementara.

Hal ini membuat Ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), Himlal Baral dan rekan-rekannya sangat senang ketika melihat spesies pohon asli Pongamia pinnata dapat tumbuh subur hanya dalam waktu 1,5 tahun setelah ditanam di petak percobaan di lahan gambut terdegradasi di Kalimantan Tengah, Indonesia. Mereka juga mengamati bahwa jenis pohon asli ini juga tumbuh dengan baik di lahan bekas pertambangan di sana dan di daerah terdegradasi di Jawa Tengah. “Ini adalah daerah berbatu dengan kondisi tanah yang sangat buruk – hampir tidak ada lapisan tanah atas – namun pongamia dapat tumbuh di mana-mana,” ujarnya.

2. Kehutanan 4.0: Inovasi Teknologi pada Sektor Kehutanan

Potret udara Dusun Sekatetang, Desa Ribangkadeng, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto oleh: Nanang Sujana/CIFOR-ICRAF

Teknologi digital telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, termasuk sektor kehutanan. Jika sebelumnya sektor kehutanan sering dianggap sebagai bidang yang minim inovasi, teknologi telah membantu membawa perubahan, memungkinkan tata kelola hutan menjadi lebih efisien dan efektif.

Robert Nasi, Direktur Pelaksana Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) mengatakan pada Seminar Nasional “Transformasi Digital Mendukung Inovasi Kehutanan 4.0 untuk Ekonomi Hijau dan Penyelamatan Bumi” bahwa inovasi telah tiba di sektor kehutanan dan digitalisasi merupakan game changer terpenting dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

3. Koalisi Ilmiah Menawarkan Masukan untuk Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca 2020

Pusat Pelatihan Gajah di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Sumatra Selatan. Foto oleh: Rifky/CIFOR-ICRAF

Sebuah kelompok yang beranggotakan 50 ilmuwan, sebagai bagian dari bioDISCOVERY, jaringan penelitian global Future Earth dan Group on Earth Observations Biodiversity Observation Network (GEO BON) mempublikasikan rekomendasi mereka dalam jurnal One Earth pada Juni 2022.

Dalam jurnal tersebut, mereka menulis tentang dampak aktivitas manusia pada biosfer Bumi yang mendorong krisis keanekaragaman hayati global. Tiga-perempat ekosistem terestrial telah berubah secara signifikan, seperempat spesies tumbuhan dan hewan terancam punah, dan keragaman genetik menurun pada spesies liar dan jinak.

4. Tenggelam, Bergeser, atau Bertumbuh? Memulihkan Mangrove di Kawasan Permukiman Pesisir yang Rentan

Timbulsloko

Potret udara sebagian Desa Timbulsloko yang tergenang air laut. Foto oleh: CIFOR-ICRAF

Desa Timbulsloko seperti akan tenggelam. Saat air pasang, air laut memasuki rumah warga, merendam lantai dan perabotan rumah. Ketika gelombang badai dan hujan lebat datang, banjir makin parah, rumah-rumah dan jalan pun terendam. Jalanan aspal desa kini sudah tidak bisa dilewati karena terendam air.

Tim peneliti multidisiplin dari Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), Universitas Diponegoro dan Yayasan Hutan Biru berharap dapat membantu Demak mengatasi krisis ini melalui proyek Restoring Coastal Landscape for Adaptation Integrated Mitigation (ReCLAIM) yang berfokus pada restorasi mangrove berbasis bukti (evidence-based) untuk meningkatkan mata pencaharian, ketahanan pangan dan manfaat gizi bagi penduduk di area pesisir. ReCLAIM merupakan proyek kolaboratif antara CIFOR-ICRAF dan beberapa mitra dari Indonesia yang mewakili universitas, lembaga pemerintah dan masyarakat sipil dengan dukungan dari Yayasan David dan Lucile Packard.

5. Para Peneliti Mengisi Kesenjangan Pengetahuan tentang Menumbuhkan Biomassa untuk Energi

Uji coba tanaman bioenergi di Kalimantan Tengah. Foto oleh: Mokhamad Edliadi/CIFOR-ICRAF

Untuk mengantisipasi kelangkaan energi yang telah diproyeksikan karena pengurangan sumber energi berbasis fosil, Pemerintah Indonesia bergerak cepat untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi produksi biomassa untuk energi.

Setelah penyusunan Rencana Umum Energi Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan Kebijakan Energi Nasional, yang bertujuan agar energi terbarukan memenuhi setidaknya 23 persen dari bauran energi nasional pada tahun 2025, dan setidaknya 31 persen pada tahun 2050.

Selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan keputusan untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan dengan melakukan co-firing pembangkit listrik tenaga batu bara dengan biomassa; perusahaan listrik negara, PLN, mengamanatkan penyediaan bahan baku biomassa; dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan kategori yang disebut sebagai “Hutan Energi” dan program perkebunan energi rotasi pendek untuk sejumlah spesies pohon, termasuk Calliandra calothyrsus (Meissn.).

6. Tak Terpisahkan: Hutan, Keuangan, dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Dedi Aprianto, mengumpulkan getah pohon damar di Desa Pahmungan, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, Indonesia. Foto oleh: Ulet Ifansasti/CIFOR-ICRAF

Dalam pernyataannya pada Dialog Iklim COP 26 di Glasgow, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berkomitmen bahwa pada 2030 sektor hutan dan pemanfaatan lahan (FOLU) negara akan menjadi penyerap karbon, menyerap karbon lebih banyak daripada yang dikeluarkan.

Dalam konteks pernyataan Presiden, Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) – berdasarkan Studi Komparatif Global Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (GCS-REDD+) menggelar dialog sains dan kebijakan, yang menyoroti prioritas dan strategi nasional, termasuk pembaharuan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia.

7. Potensi Besar Karet Alam untuk Keberlanjutan 

Tumpang sari pohon karet dengan tanaman pangan musiman. Foto oleh: Julius Atia/CIFOR-ICRAF

Karet alam merupakan satu dari empat komoditas utama dunia yang dihasilkan dari pohon. Sebagian besar karet alam dipanen oleh petani kecil, dan industri ini diperkirakan menopang sekitar 40 juta jiwa, menghasilkan lebih dari 300 miliar dolar pertahun.

Para ahli mengatakan dengan mengadopsi praktik dan standar yang berkelanjutan disepanjang rantai pasok, petani kecil dapat lebih kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dari iklim dan pasar, mereka juga dapat berkontribusi ke mitigasi krisis iklim dan meningkatkan kesejahteraan hidup.

“Karet merupakan simbol dari ekonomi hijau dan praktik berkelanjutan karena memiliki potensi untuk mengganti bahan sintentis dan bahan bakar fosil, dan juga berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim,” jelas Vincent Gitz, Direktur Program dan Platform sekaligus Direktur CIFOR-ICRAF untuk wilayah Amerika Latin. “Jadi, penting bagi kita untuk meningkatkan visibilitas dan potensi karet agar kita dapat menerapkan mekanisme lingkungan berkelanjutan.”

8. Mangrove di Delta Mekong: Peluang Tumbuh atau Tenggelam?

Potret nelayan di Sungai Mekong, Vietnam. Foto oleh: Thomas G/Pixabay

Delta Mekong adalah rumah bagi hamparan mangrove terbesar di Vietnam, namun area ini juga sangat rentan terhadap efek dari krisis iklim dan pembangunan di kawasan pesisir, mengingat kedekatannya dengan Kota Ho Chi Minh.

Sebagian besar wilayah Delta Mekong menghadapi risiko tinggi terendam akibat kenaikan permukaan air laut. Jika ketinggiannya naik 100 cm, hampir 40% delta akan terendam, dengan sekitar 10% dari populasinya terkena dampak hilangnya lahan, intrusi air asin, kekeringan, penurunan substansial dalam area yang tersedia untuk menanam padi, berkurangnya keanekaragaman hayati dan hutan dengan perubahan ekosistem dataran rendah di dalam dan di sepanjang sungai, dan berkurangnya pasokan air tawar dan kualitas air, yang menyebabkan penurunan PDB sebesar 10%.

Untuk mengatasi tantangan ini, tim peneliti telah menggunakan berbagai pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi potensial untuk merestorasi mangrove; kebijakan dan perencanaan yang diperiksa; mempertimbangkan kemungkinan untuk regenerasi alami; menyusun persepsi pemangku kepentingan; dan mencatat peluang dan tantangan yang dihadapi mangrove di Delta Mekong

9. Perangkat dan Pengetahuan Baru untuk Pemantauan Lahan Gambut di Peru

Kunjungan lapang selama pelatihan perhitungan emisi lahan gambut di Peru. Foto oleh: Junior Raborg/CIFOR-ICRAF

Lahan gambut Peru memainkan peran besar sebagai cadangan karbon yang amat besar. Oleh karena itu, aksi konservasi, pengelolaan berkelanjutan, dan restorasi dipandang sebagai hal penting disamping solusi berbasis alam untuk mengatasi perubahan iklim.

Di Iquitos, ibu kota daerah Loreto, di mana riset tentang penyimpanan karbon dan emisi di lahan gambut di daerah Amazon Peru dilakukan. Dalam pelatihan yang diadakan oleh tim perubahan iklim CIFOR-ICRAF, the Peruvian Amazon research Institute (IIAP), the US Forest Service, the University of St. Andrews Inggrisdan Silva Carbon berupaya meningkatkan kapasitas mereka dalam menghitung cadangan karbon dan aliran gas rumah kaca pada lahan gambut.

10. Air Hijau dan Sungai yang Melayang

Mata Air Umbulan di Pasuruan, Jawa Timur, merupakan sumber mata air penting untuk pertanian dan kebutuhan rumah tangga di DAS Rejoso. Foto oleh: Aunul Fauzi

Pemberitaan mengenai air muncul hampir setiap hari. Saat ini, banyak sungai-sungai di Bumi yang mulai mengering dan kita juga mulai terbiasa melihat foto-foto perubahan lanskap akibat kebakaran hutan yang disebabkan kekeringan atau banjir besar yang terjadi sekali dalam satu abad.

Sementara itu, jumlah populasi Bumi yang mengalami kelaparan dan menderita malnutrisi terus bertambah menjadi 828 juta jiwa – naik 150 juta jiwa sejak pandemi COVID-19. Banyak orang yang mengalami kesulitan untuk memberi makan keluarga mereka dari tanah yang sudah mengering dan terkuras atau terendam akibat hujan lebat atau pasang air laut.

“Saat ini, sebagian besar negara di sub-Sahara Afrika hanya menggunakan 5 persen dari potensi air hujan mereka,” kata Maimbo Malesu yang mengepalai Unit Pengelolaan Air di CIFOR-ICRAF (Center for International Forestry Research dan World Agroforestry) dan kantor Zambia. “Mengikutsertakan air hijau dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesehatan ekosistem.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Pertanian ramah hutan

Lebih lanjut Pertanian ramah hutan

Lihat semua