BOGOR, Indonesia (27 Januari, 2012)_Menindaklanjuti moratorium pemberian ijin pembukaan hutan tahun lalu, Indonesia mengalokasikan paling tidak 45 persen lahan di Kalimantan sebagai wilayah konservasi dan hutan lindung serta berfungsi sebagai “paru-paru dunia.”
Langkah ini merupakan bagian dari Peraturan Presiden no. 3/2012 tentang rencana tata ruang Kalimantan, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di awal Januari dan diumumkan minggu lalu. Kalkulasi penulis menunjukkan bahwa regulasi tersebut mungkin akan melindungi 24,6 juta hektar lahan di Kalimanan, tujuh bulan setelah pemerintah mengumumkan moratorium konsesi baru selama dua tahun di seluruh Indonesia. Kajian Center for International Forestry Research (CIFOR) menyebutkan bahwa moratorium tersebut memproteksi 16,1 juta hektar hutan dan lahan gambut di Kalimantan. Dengan demikian, tampaknya peraturan presiden tersebut dapat menambahkan 8,5 juta hektar kawasan lindung di Kalimantan, namun diperlukan penelusuran lebih jauh untuk memastikan hal ini.
“Kita perlu melihat peta dan lebih baik memahami apa arti peraturan ini dalam praktik nyata,” kata Louis Verchot, peneliti utama CIFOR. “Jika tidak ada perlindungan tambahan akan lahan gambut, peraturan ini tidak akan banyak membantu Indonesia memenuhi target pengurangan emisi. Dari sudut pandang lingkungan hidup dan pembangunan lestari, sangat penting bahwa daerah hulu sistem sungai-sungai besar di Kawasan Jantung Kalimantan dilindungi.”
Peran lahan gambut sangat penting dalam upaya memperlambat pemanasan global karena kepadatan karbonnya bisa 5-10 kali lebih tinggi daripada hutan di tanah biasa. Peraturan baru tersebut menyebutkan bahwa pemerintah akan “mempertahankan luasan dan melestarikan kawasan bergambut untuk menjaga sistem tata air alami dan ekosistem kawasan” di Kalimantan, yang memiliki sekitar 5,7 juta hektar lahan gambut, termasuk 2,3 juta hektar dengan kedalaman lebih dari 2 meter.
“Melindungi lahan gambut dapat dilakukan ketika ijin penggunaan di daerah tersebut belum diserahkan” untuk keperluan pertanian, pertambangan atau ijin pengalihan lahan lainnya, kata Daniel Murdiyarso, peniliti senior CIFOR dan penulis utama studi moratorium. Salah satu upaya menghindari konversi lahan adalah dengan mengijinkan perusahan merestorasi lahan gambut yang rusak serta menukar lahan gambut di daerah konsesi mereka dengan hutan yang rusak di lahan mineral, tambahnya.
Selain pelestarian lahan yang kaya dengan spesies endemik, koridor ekosistem antar wilayah konservasi di Kalimantan akan dikembangkan, kawasan lindung diperkuat dan kawasan lindung yang terdegradasi direhabilitasi, menurut peraturan baru tersebut. Pemerintah juga akan mengendalikan “kegiatan budi daya yang berpotensi mengganggu kawasan berfungsi lindung.”
Luas Kalimantan mencapai lebih dari tiga perempat Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia. Borneo terkenal sebagai tempat yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah orangutan (Pongo pgymaeus), yang merupakan salah satu ikon konservasi, serta 15,000 spesies tanaman berbunga (MacKinnon et al., 1996).
Moratorium konsesi hutan Indonesia adalah bagian dari upaya mencapai komitmen pengurangan emisi sebesar 26% dari tingkat business-as usual pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan pihak luar.
Dalam analisa moratoriumnya, CIFOR merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia menggunakan masa dua tahun tersebut untuk “mempercepat perencanaan tata guna hutan dan bentang alam dengan menggunakan alat-alat terbaru, kapasitas yang meningkat dan peraturan yang mengikat, dengan ditunjang dengan pengaturan institusi yang lebih kuat.”
Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan peta indikatif, yang diperbaharui setiap enam bulan sesuai dengan hasil inspeksi di lapangan, untuk memperlihatkan daerah-daerah yang tercakup dalam moratorium tersebut. Revisi peta pertama yang terbit bulan Desember tahun lalu mengurangi cakupan wilayah moratorium sebesar 3,6 juta hektar. Pengurangan ini termasuk dikeluarkannya 4,8 juta hektar lahan gambut dan dimasukkannya sekitar 1,2 juta hektar hutan primer.
Indonesia saat ini tengah mengembangkan kebijaksanaan dan regulasi pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), yaitu skema iklim yang memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang yang mempertahankan hutan mereka. Propinsi Kalimantan Tengah telah terpilih sebagai daerah utama untuk uji coba REDD+.
Menurut situs pemerintah propinsi, luas Kalimantan Barat mencapai 14,7 juta hektar, Kalimanta n Tengah 15,4 juta hektar, Kalimantan Selatan 3,7 juta hektar dan Kalimantan Timur 20,9 juta hektar. Pemerintah akan mengembangkan atau menyesuaikan rencana tata ruang mereka untuk melaksanakan keputusan presiden ini.
Diterjemahkan dan diedit oleh Budhy Kristanty dan Leony Aurora.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Indonesia’s forest moratorium: A stepping stone to better forest governance?
Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics
Life after logging: Reconciling wildlife conservation and production forestry in Indonesian Borneo
The global political economy of REDD+: Engaging social dimensions in the emerging green economy