Berita

Tak Terbeli dengan Uang: Saat Penghasilan Naik, Kualitas Diet Penduduk Desa Malah Turun

Peningkatan penghasilan tidak lantas selaras dengan perbaikan nutrisi
Bagikan
0
Masyarakat memanen padi di Desa Dintor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Foto oleh: Aulia Erlangga/CIFOR

Bacaan terkait

Tampaknya logis saat orang mendapatkan penghasilan lebih, hidupnya jadi “lebih baik”. Mungkin benar, pembangunan ekonomi sering berkorelasi dengan peningkatan, antara lain kesehatan dan pendidikan.

Akan tetapi uang tidak bisa membeli semua hal. Dalam soal kesehatan pangan, bukti yang ada dari seluruh dunia tidak semua sama. Kita tahu, orang membelanjakan uangnya untuk makanan berlemak, minuman bergula dan makanan ringan tinggi sodium. Uang banyak tidak selalu berarti memilih makanan yang lebih sehat.

Sebuah penelitian terbaru dari para peneliti Universitas Goettingen  dan Pusat penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang mengeksaminasi relasi antara kualitas diet, keragaman produksi pertanian dan penghasilan rumah tangga desa di Indonesia dalam periode 2000-2015, menyajikan perspektif segar.

“Ada argumen, ketika ekonomi negara bertumbuh, kualitas diet penduduknya otomatis meningkat. Akan tetapi apa yang ada tidak selurus seperti yang kita pikirkan,” kata ketua peneliti, Nadjia Mehraban, yang tengah menyelesaikan penelitian doktoral di Universitas Goettingen.

Dalam dua dekade terakhir, ekonomi Indonesia bertumbuh pesat dan kemiskinan menurun signifikan, antara lain karena transisi pertanian tradisional, budi daya dan teknik multi-tanaman menuju pertanian intensif, tanaman tunggal dan komersialisasi – dengan fokus pada tanaman bernilai tinggi seperti kelapa sawit.

Meluasnya mosaik desa di Indonesia yang berubah menjadi tanaman-tunggal, makin sedikit keluarga dan masyarakat yang membudidayakan dan/atau memetik keragaman alam, yang seringkali memasok pangan padat nutrisi yang penting dalam diet mereka sebelumnya. Argumen ekonomi konvensional menyatakan, dengan pendapatan uang lebih besar dari pertanian, akses pasar akan meningkat, dan penduduk desa akan mulai membeli pangan yang beragam dan bergizi, daripada menanam atau berburu sendiri.

Ternyata rumus ini tidak berlaku. Tentu saja, pertumbuhan ekonomi di Indonesia memberi beberapa dampak positif pada diet: kurang gizi, misalnya, menurun secara signifikan, dari 17 persen populasi pada 1999, menjadi 8,3 persen pada 2017. Namun, malnutrisi tetap menjadi masalah besar, dan tetap bercokolnya tingginya angka kekerdilan (36 persen dari populasi), beriring dengan masalah pertumbuhan lain, serta kegemukan dan obesitas.

Jadi apa yang terjadi? Menggunakan panel data dari Survey Keluarga Indonesia dan data sampel 2.785 keluarga desa, para peneliti melangkah lebih jauh. Sebagai proksi kualitas diet, para peneliti menganalisa dua elemen: keragaman diet dan konsumsi grup pangan kaya-nutrisi.

Peneliti menemukan, sejalan dengan penurunan keragaman produksi – rumah tangga beralih pada pertanian spesifik –kualitas diet juga cenderung turut menurun.

“Apa yang membuat penelitian ini spesial, kami bisa mendapatkan data rumah tangga yang sama dalam rangkaian waktu,” kata ilmuwan senior CIFOR, Amy Ickowitz, salah seorang penulis laporan.

“Kami mengamati mereka pada tiga titik antara 2000 dan 2015, hingga mampu melihat perubahan budi daya serta apa yang mereka konsumsi,” katanya. “Petani membudidayakan lebih sedikit jenis pangan dalam rentang tahun dan keragaman pangan yang mereka konsumsi juga menurun. Agak mengejutkan pada beberapa kelompok pangan – ketika orang kurang menanam buah, sayur, dan legum, mereka juga kurang mengonsumsi pangan bernutrisi bahkan ketika penghasilan meningkat.”

Konsumi beberapa kelompok pangan padat-nutrisi – misalnya produk hewan seperti susu, telur dan daging – memang meningkat sejalan dengan peningkatan penghasilan, meski tidak berbanding lurus dengan kualitas diet. Konsumsi berlebihan jenis pangan ini bisa mengarah pada masalah obesitas, jantung dan darah tinggi.

Beberapa faktor berperan, antara lain ketersediaan dan biaya variasi pangan, akses informasi nutrisi dan nilai kultural yang terdapat pada beragam opsi. Kelemahan manusia yang tidak selalu membuat keputusan yang baik – terutama soal makanan – mungkin juga relevan dalam hal ini.

“Pilihan makanan kita tidak selalu rasional, jadi mungkin urgensi sistem pangan, dan apa yang tersedia juga berperan,” kata Mehraban. “Seringkali kita perlu sentuhan dari luar untuk memilih hal yang benar.

Pada titik inilah pengambil kebijakan dan masyarakat sipil bisa berperan lebih aktif. “Penelitian ini menyarankan, saat kita ingin meningkatkan diet – yang merupakan tujuan sangat penting karena malnutrisi berbiaya sangat tinggi bagi kesehatan manusia – kita perlu mengambil aksi terarah dalam menangani hal ini,” kata Mehraban. “Karena tidak lantas berbanding lurus dengan pembangunan ekonomi.”

Negara berkembang bisa bekerja untuk menghindari penyakit terkait diet yang prevalen di banyak tempat maju secara ekonomi. “[Diet barat] bisa menjadi arahan salah untuk diikuti,” kata Mehraban. “Saya pikir agar tren mengarah pada arah yang tepat, kita perlu juga menargetkan (peningkatan) nutrisi.”

Ickowitz menyatakan, para ilmuwan tidak mencoba berargumen bahwa  peningkatan penghasilan atau akses pasar adalah hal yang buruk.

“Secara sederhana, kami memandang hasil penelitian ini menunjukkan kita tidak bisa hanya berasumsi bahwa peningkatan penghasilan akan menyelesaikan seluruh tantangan diet,” katanya.

“Tampaknya ketika para petani menanam lebih sedikit buah dan sayuran, konsumsi terhadap pangan sehat berkurang, jadi perlu desain kebijakan untuk mendorong agar pertanian spesifik dikawal dengan kebijakan yang mendorong sumber alternatif pangan sehat dan menorong perilaku makan yang sehat.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Amy Ickowitz di a.ickowitz@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org