Kerugian akibat deforestasi dan degradasi sangat besar. Hal tersebut dinyatakan Robert Nasi, Direktur Jendral CIFOR dan Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF, saat berbicara pada Global Forest Summit.
Setiap tahun, deforestasi atau aktivitas degradasi lahan terkait pertanian melepas sekitar seperempat emisi total gas rumah kaca (GRK). Besarnya kapasitas hutan dalam menyimpan karbon, juga berarti bahwa melindungi dan merestorasi hutan menjadi salah satu kuncil solusi berbasis alam untuk melawan pemanasan global – dan juga berpotensi memberi keuntungan substansial.
Di bawah Tantangan Bonn, berbagai negara secara sukarela berkomitmen untuk merestorasi 350 juta hektare pada 2030, dan untuk itu diperlukan investasi yang besar. Robert berpendapat, sebuah model bisnis perlu disusun dalam mencapai target restorasi.
Ia berbicara dengan Kabar Hutan seusai acara.
T: Seberapa besar kerugian bagi masyarakat akibat degradasi hutan?
J: Estimasi kasar nilai kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan dan hutan sekitar 6,3 triliun dolar AS per tahun.
Meski hanya estimasi kasar, jumlah ini sangat mengganggu pikiran, dan untuk perbandingan – angka ini lebih dari nilai produk domestik bruto Prancis, Italia, dan Kanada per tahun digabung.
Untuk mewujudkan Tantangan Bonn, kita membutuhkan sekitar 350 miliar dolar AS. Sebanyak 300 dari 350 miliar dolar AS ini belum ada saat ini, dan masih perlu dicari. Jadi, untuk membiayai restorasi pada skala yang dibutuhkan, upaya ini harus menjadi aktivitas ekonomi yang menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penghidupan, dan tentu saja, merestorasi hutan.
Mewujudkan restorasi pada skala, misalnya, sejalan dengan tujuan Tantangan Bonn juga membawa peluang tak terduga: jika target investasi dalam restorasi terwujud, hasilnya bisa berupa triliunan keuntungan bersih dan kembalinya investasi secara signifikan. Penelitian menunjukkan untuk setiap dolar investasi restorasi hutan terdegradasi, dapat diharapkan manfaat ekonomi sebesar 7 hingga 30 dolar AS.
Jadi, masyarakat rugi besar jika degradasi berlanjut, sementara pada saat yang sama terdapat prospek keuntungan atraktif dari restorasi, dan kita tidak menjalankannya. Mengapa tidak dicoba?
T: Apa tantangan terbesar yang dihadapi bumi?
J: Ada daftar panjang, namun secara umum, kita harus mengubah paradigma mengenai bagaimana, pengorbanan apa, untuk tujuan apa, dan oleh siapa restorasi harus dilakukan. Sistem ekonomi kita penuh dengan insentif buruk, yang perlu dikurangi.
Subsidi pertanian misalnya. Laporan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menemukan bahwa di 54 negara yang diteliti – seluruhnya negara OECD dan Uni Eropa, ditambah 12 negara yang ekonominya bertumbuh – memberikan lebih dari 700 miliar dolar AS per tahun secara total dalam mendukung sektor pertanian. Subsidi ini menciptakan kehilangan pemasukan 50 miliar dolar AS per tahun untuk negara berkembang dan membuat sistem pertanian yang tidak berkelanjutan tampak menguntungkan.
Jangan salah mengerti, tidak semua subsidi itu jelek, terutama jika dirancang mendukung warga termiskin dan membantu mengangkat mereka dari kemiskinan. Akan tetapi, banyak kasus subsidi kontraproduktif. Pencabutan subsidi bahan bakar fosil, bioenergi dan pertanian akan menjadi anugerah besar bagi hutan dan lingkungan hidup, jika dipertimbangkan dengan masak dan diinvestasikan ke dalam bioekonomi sirkular.
T: Terdapat banyak diskusi seputar offset karbon. Apa pandangan Anda mengenai strategi ini?
J: Offset karbon seringkali ditampilkan sebagai panasea atau sebagai distraksi berbahaya terkait mitigasi emisi GRK. Bukan keduanya.
Kita harus menurunkan emisi sebesar 45 persen pada 2030. Proyek offset karbon tidak akan pernah bisa melawan pertumbuhan emisi jika pembangkit energi berbasis minyak bumi terus dibangun atau mobil bensin terus dibeli. Pohon yang ditanam hari ini tidak bertumbuh secepat itu. Kita seperti Ratu Merah dalam kisah Alice di Wonderland yang harus berlari tak henti di tempat yang sama.
Bukan berarti bahwa offset karbon harus berhenti, malah kebalikannya. Kita harus terus merestorasi hutan dan lahan gambut atau memperbesar energi terbarukan dan proyek efisiensi energi melalui skema offset. Namun tidak sesederhana model tunggal. Seperti Ratu Merah, kita harus berlari lebih cepat jika ingin mencapai satu tempat.
Jika satu ton CO2 tersekuestrasi dihargai satu kredit karbon, kita masih perlu menutupi 45 persen reduksi emisi yang kurang, serta proyeksi peningkatan di masa depan. Inilah mengapa tantangan iklim global harus ditangani secara koheren dan holistik – sesuatu yang kita lakukan dalam pendekatan riset kita.
Berbicara secara moral, masalah utama saya dengan offset karbon adalah asumsi dasar bahwa satu ton karbon dioksida (CO2) sama dari manapun emisinya. Ini fundamental bisnis offset karbon: pengemisi CO2 di AS membeli simpanan CO2 di India. Akan tetapi kemudian emisi per kapita AS sebesar 16,5t, sementara di India sebesar 1,7t. Jelas, hal ini tidak memiliki kesetaraan nilai sosial dan etis jika memiliki efek yang sama dalam konsentrasi CO2 di atmosfer. Mekanisme offset karbon harus mempertimbangkan seluruh faktor tersebut: lingkungan hidup, ekonomi – menjamin perubahan dan ketetapan sambil juga merefleksikan pertimbangan etis.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org