Produk mebel berbahan baku kayu mahoni dan jati merupakan tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara, Jawa Tengah yang telah mendapatkan pengakuan dunia karena kualitas dan keberlanjutannya. Industri ini memberi mata pencaharian bagi ribuan usaha skala kecil unggulan di Indonesia. Saat ini para pengrajin kayu dihadapkan pada persaingan global yang terus meningkat dan kesulitan dari proses produksi yang tidak efisien, tingkat organisasi yang rendah, serta keterbatasan akses pendanaan.
Konsumen dari manca negara memiliki peran penting bagi masa depan serta daya saing industri mebel Jepara yang telah berlangsung selama berabad-abad. Industri ini juga telah menyumbang kurang lebih $187 juta bagi pendapatan ekspor Indonesia di tahun 2019. Di saat yang sama, volume dan nilai ekspor mebel mengalami penurunan sejak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008, diikuti dengan lonjakan investasi dari sektor lain di Jepara, seperti tekstil, karena tingkat upah minimum yang rendah di wilayah tersebut.
Kondisi ini membuat banyak perusahaan mebel skala kecil di Jepara kehilangan banyak tenaga kerja akibat sektor industri lain yang menawarkan upah lebih tinggi dan kondisi lebih baik, termasuk perlindungan asuransi. Para pekerja di sektor mebel lokal – khususnya perempuan – mendapat upah di bawah rata-rata industri pesaing, tanpa adanya tunjangan tambahan. Selain itu, para pesaing dengan skala yang lebih besar memiliki aturan yang lebih ketat di pasar ekspor, seperti kapasitas produksi minimum serta proses produksi yang harus sesuai standar, hal yang tidak dimiliki oleh industri mebel dengan satu atau dua orang pekerja. Akibatnya, jumlah produsen mebel di Jepara mengalami penurunan dari total 12.000 produsen pada tahun 2011 menjadi sekitar 6.000 produsen pada 2018, menurut sensus yang telah dilakukan.
Sebagai upaya dalam membantu mengatasi ketidakseimbangan ini, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menjalankan proyek riset berdurasi lima tahun dengan tujuan meningkatkan efisiensi produsen mebel kayu mahoni dan jati di Jepara, serta meningkatkan mata pencaharian mereka. Melalui pendanaan dari Pusat Penelitian Pertanian Internasional Australia (ACIAR) dan kolaborasi dengan berbagai lembaga pemerintahan Indonesia di tingkat nasional dan lokal, prakarsa ini telah mengarah pada pembentukan Asosiasi Produsen Mebel Skala Kecil (APKJ) Jepara pada tahun 2008, kerja sama berjangka 10 tahun yang menghasilkan peraturan daerah untuk mengembangkan industri mebel.
“APKJ menjadi contoh bagaimana produsen skala kecil dapat mengatur diri mereka sendiri,” kata Ahmad Dermawan, peneliti CIFOR yang mempelajari dampak dari proyek ini. “Para anggota memiliki akses yang lebih baik ke pasar melalui partisipasi mereka dalam berbagai pameran dagang. Mereka juga memiliki lebih banyak peluang untuk memperluas jaringan dan menyuarakan masalah sosial dan politik di Jepara.”
Para anggota kelompok ini telah berhasil meningkatkan pendapatan mereka melalui program pelatihan teknik produksi dan pemasaran digital, serta mendapatkan izin usaha yang semula tidak mampu untuk didapatkan karena keterbatasan biaya. Mereka juga berkesempatan untuk mendapatkan sertifikasi di bawah Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu Indonesia atau yang dikenal dengan SVLK, yang diperlukan dalam mengakses pasar internasional seperti Uni Eropa dan Australia. Sistem sertifikasi ini memberikan jaminan kepada konsumen bahwa kayu yang digunakan untuk menghasilkan produk tidak bersumber dari pembalakan liar.
Sistem SVLK – yang diperkenalkan pada tahun 2009 – telah menjadi model dan diikuti oleh negara-negara lain, termasuk Cina, Ghana, Malaysia, dan Vietnam – negara-negara ini mempertimbangkan skema serupa dalam mengakses pasar yang membutuhkan cap persetujuan SVLK. Pada tahun 2016, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mendapatkan pengakuan UE untuk sistem legalitas kayunya. Amerika Serikat, yang sekarang menyumbang lebih dari 40 persen ekspor mebel dari Indonesia, juga memerlukan sertifikasi SVLK untuk produk kayunya.
Namun, masih banyak komunitas produsen mebel skala kecil di Jepara yang belum mampu untuk menganut sistem tersebut. APKJ hanya berhasil meningkatkan jumlah anggotanya dari 60 menjadi 130 produsen sejak didirikan tahun 2008. Asosiasi ini juga tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk melakukan perluasan jaringan karena tidak membebankan iuran keanggotaan.
“Rendahnya tambahan anggota baru dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa mengajak produsen skala kecil menjadi anggota sebuah kelompok bukanlah tugas yang mudah,” ujar Dermawan. “Dari kuesioner yang kami kirim ke para pengrajin mebel, masih banyak pengrajin yang sama sekali tidak mengetahui keberadaan APKJ. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pendanaan bagi kepentingan anggota asosiasi ini.”
Peraturan Daerah Jepara No. 2 Tahun 2014 juga memiliki keterbatasan dalam “melindungi, memberdayakan, dan mendorong” industri mebel lokal. Selanjutnya, dibutuhkan pembuatan tempat penimbunan kayu untuk tujuan penyimpanan dan pengiriman produk, dan klinik SVLK untuk membantu para produsen dalam mencapai standar sertifikasi ekspor tergantung dari anggaran pemerintah pusat.
Selain itu, peraturan daerah ini juga belum memiliki pedoman teknis pada enam pilar utama produk: standar kualitas ekspor; perlindungan asuransi; pendaftaran dan pemutakhiran data produsen mebel; pendidikan dan pelatihan; pembentukan dewan industri; dan pendirian unit pembiayaan untuk para produsen mebel. Pergantian personil pemerintahan juga menjadi penghambat dalam implementasi peraturan daerah ini, karena hanya sedikit pejabat yang memahaminya.
“Besarnya dampak peraturan daerah bergantung pada penyelesaian pedoman teknis,” tambah Dermawan. “Pemerintah daerah perlu mengubah prioritas kebijakan, mengalokasikan dana, dan membuat kesepakatan dengan pejabat lokal.”
Kesejahteraan dan mata pencaharian dari bisnis mebel skala kecil di Jepara dapat ditingkatkan secara signifikan melalui organisasi dan peraturan yang efektif.
Seiring meningkatnya kesadaran dan kerja sama industri mebel Indonesia, maka industri ini akan semakin kuat serta dapat menjadi percontohan bagi dunia untuk diikuti, tambah Dermawan lagi.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org