Bagikan
0

Bacaan terkait

Gagasan kunci REDD+ adalah memberi bayaran pada pihak-pihak yang mengurangi deforestasi dan membantu menjaga karbon di pepohonan. Sebuah gagasan sederhana – namun rumit. Meskipun ternyata lebih sulit dari apa yang dibayangkan.

Tahun lalu, Arild Angelsen, profesor ekonomi dari Universitas Ilmu Hayati Norwegia (NMBU) dan mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), beserta sejumlah rekannya mempublikasikan buku keempat dari rangkaian topik Transformasi REDD+: Hikmah dan Arah Baru.

Membuat konservasi ekosistem hutan tropis jadi menarik secara finansial bagi para pengelola lahan merupakan komponen inti dari teori perubahan yang mendasari REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan), satu pendekatan untuk mencegah perubahan iklim yang didukung PBB).

Lebih dari 10 tahun, melalui Studi Komparatif Global mengenai REDD+, CIFOR menelaah upaya mewujudkan “pembayaran berbasis hasil” ini bagi perlindungan hutan tropis.

REDD+ (sebelumnya REDD) dirundingkan pertama kalinya pada Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2005. Para ilmuwan mulai melakukan investigasi terkait dampaknya sejak 2007.

Keberhasilan pendekatan ini mencapai tingkat moderat. Buku ini menelaah kontribusi dari komunitas kehutanan lebih luas dan mengeksplorasi beberapa tantangan kunci seta peluang peningkatan.

Hal-hal ini lah yang didiskusikan pada perundingan iklim COP 25 PBB di Madrid.

Tantangan ini muncul, sebagian akibat dari bentuk pendanaan REDD+. Gagasan asli REDD+ adalah menjadi bagian dari pasar karbon global. Kredit REDD+ diperoleh dari reduksi emisi terdokumentasi. Namun, ternyata pasar tidak pernah lepas landas, karena berbagai negara tidak mampu menyepakati tetapan target emisi. Sejauh ini pendanaan diperoleh dalam bentuk bantuan internasional.

Salah satu pertanyaan besar yang dieksplorasi dalam salah satu bab buku berjudul “Pembayaran berbasis-hasil: Siapa yang dibayar dan untuk apa?,” adalah apakah langkah ini benar-benar mendorong perubahan perilaku di tingkat lokal dan nasional.

Dengan latar pemikiran ini, melalui asesmen dampak proyek REDD+ di tingkat desa, Angelsen berharap melihat beragamnya pemanfataan uang.

“Jika melihat ke seluruh dunia, kita saksikan banyak keragaman: di satu tempat bisa untuk meningkatkan praktik agroforestri; di tempat lain membangun sekolah; ada juga yang membagi-bagi uang untuk rumah tangga,” katanya.

Di Peru, salah satu programnya adalah Transferencias Directas Condicionadas, yang muncul dari perjanjian 2014 antara pemerintah Peru, Jerman dan Norwegia. Program-program komunitas, termasuk di sepanjang Sungai Ucayali, dibayar 10 soles (3 dolar AS) per tahun untuk tiap hektare hutan yang tegak terjaga. Program khusus ini mengarahkan agar uang dibelanjakan untuk berbagai menu aktivitas pembangunan. Tidak dalam bentuk uang untuk penduduk desa.

Konsep ini terdengar mudah – mengganjar masyarakat, perusahaan atau keluarga yang berhasil menjaga hutannya, dan dengan itu mendorong pihak lain mengikuti – meski realitasnya berbeda, kata Angelsen.

“Ini proyek empat tahun, dan apa yang akan terjadi setelahnya?” tanya Angelsen.

“Permanen adalah isu kunci: apakah reduksi bertahan, atau akankah petani kembali ke pola lama – atau malah lebih tinggi – tingkat deforestasinya setelah proyek berakhir?”

Pembayaran berbasis hasil (RBP), ketika pembayaran menjadi prasyarat perilaku ramah-karbon, “adalah kunci REDD+,” kata Angelsen. Namun dalam buku, ia dan rekan-rekan peneliti menyimpulkan bahwa RBP “belum benar-benar bekerja dalam memberi insentif reduksi deforestasi.” Pola perintah dan kontrol, yaitu pemanfaatan sumber daya yang diatur secara langsung, ternyata lebih efektif di lokasi penelitian.

Bagaimanapun, pembayaran tetap penting. “Jika Anda ingin meningkatkan penghidupan dan kesejahteraan masyarakat, ini perlu dikompensasi,” katanya. “Dan, untuk keberlanjutan jangka panjang program REDD+, Anda perlu memberi manfaat terukur pada penjaga hutan. Anda tidak bisa makan reduksi emisi untuk sarapan.”

RBP juga tidak mudah untuk sejalan di tingkat nasional juga. Sulit sekali untuk menetapkan seberapa besar deforestasi ‘terhindari’ dari tahun ke tahun. “Sering tidak cukup dengan hanya menggunakan tingkat historis karena deforestasi bersifat naik dan turun, dan mungkin terdapat tren yang sistematis,” kata Angelsen.

Terlebih, mengingat berbagai negara sendiri menyodorkan tingkat rujukan, dan dapat memilih dari sejumlah cara dalam melakukan penghitungan, terdapat potensi dan dorongan “memainkan sistem”. Memilih cara menghasilkan tingkat rujukan tinggi (misalnya dengan memasukkan tahun-tahun tingkat deforestasi tinggi dalam perhitungan, dan mengasumsikan peningkatan deforestasi dengan pertumbuhan penduduk) untuk menampilkan reduksi emisi lebih besar. “Jadi kita menempatkan tingkat rujukan yang di atas tingkat historis,” katanya, “bahkan jika kita melanjukan di level deforestasi yang sama, kita masih tetap mendapat kredit.”

Pada ujung rantai pendanaan REDD+, ada pula pertanyaan sulit, kata ilmuwan CIFOR Stibniati Atmadja, yang juga menulis bab berjudul “Pendanaan REDD+: Transaksi antar-sesama, atau sebuah lapangan tak rata?”

Atmadja dan para penulis bertujuan memetakan gambaran global asal pendanaan REDD+ dan aktivitas yang didanai. Namun mereka menemukan bahwa ketersediaan data bagi sekelompok pemberi dana, berpotensi membentuk ketidakseimbangan: “Sebagian datanya tidak lengkap, dan yang lain memiliki data lebih lengkap, hingga tampaknya pihak yang memiliki data menjadi pihak yang paling banyak memberi uang,” katanya. “Padahal mungkin tidak begitu.”

Misalnya, kontribusi donor dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sangat lengkap, sementara pendanaan sektor swasta dan domestik tidak terlaporkan secara sebanding.

“Ini membuat perbedaan besar ketika kita mulai bernegosiasi di tingkat global,” kata Atmadja, “karena pihak yang memiliki data bisa bilang, ‘lihat, kami telah mengeluarkan uang, jadi dengarlah kami’ … Ini masalah ketidaksetaraan yang muncul dari data.”

Para peneliti menemukan, banyak biaya REDD+ — terkait aktivitas yang dilakukan berbagai negara lokasi – disediakan oleh pemerintah lokal dan masyarakat baik secara finansial maupun tenaga kerja, sangat sulit dihitung dan dijejak.

“Terdapat sejumlah besar pendanaan domestik yang tidak tercatat,” kata Atmadja. “Dan ini membangun impresi bahwa pemerintah adalah penerima, dalam relasi pemberi dan penerima. Namun jika data lebih berbunyi, akan tidak tampak seperti ini.”

Lebih jauh, potensi kerugian konservasi hutan – yaitu hilangnya manfaat dari pertanian dan produksi kayu – yang menjadi andalan berbagai negara REDD+ dan tidak dikompensasi, meski hal ini menjadi biaya terbesar dari keseluruhan program.

Misalnya, sebuah penelitian terbaru menunjukkan, pada 2016 di Indonesia, alokasi domestik anggaran pemerintah untuk mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan sebesar 30 kali lebih besar daripada pembiayaan hal serupa di negeri ini.

“Tidak pernah ada perhitungan yang sempurna, karena sulit secara utuh mencatat upaya serupa dari masyarakat dan pemerintah daerah,” kata Atmadja. “Meski setidaknya pada tingkat nasional, alokasi anggaran bisa dilihat dan dimasukkan dalam perhitungan.”

Dengan berbagai tantangan besar itu, apakah REDD+ masih menjadi jalan yang layak untuk mitigasi perubahan iklim? Menurut Angelsen, prinsip-prinsip kunci program ini – koordinasi kebijakan dan RBP tingkat nasional – tetap penting dalam mengatasi masalah kerusakan dan degradasi hutan yang berkontribusi pada perubahan iklim.

“Mungkin di sebagian wilayah dunia, REDD+ memperoleh reputasi buruk – mungkin akibat koboi karbon atau mismanajemen atau akibta dari bentuk pendekatan pemerintah dan proponen proyek – namun REDD+ mungkin tetap ada dengan berbagai nama,” katanya.

“Dan memang seharusnya – maksud saya, namanya tidak sakral. Tetapi saya pikir, pasti akan terus berlanjut dengan berbagai format. Elemen kunci, seperti insentif dan kompensasi untuk mereka yang menanggung biaya konservasi hutan, perlu dijaga.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org