Catatan harian dari Kapuas Hulu: Mengatasi konflik demi kemanfaatan lahan
Augusta Anandi adalah seorang peneliti dan kandidat Ph.D yang terlibat dalam program Kolaborasi untuk Mengoperasionalkan Pendekatan Bentang Alam untuk Alam, Pembangunan dan Keberlanjutan (COLANDS).
Di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat yang kaya keanekaragaman hayati, tiga masyarakat adat hidup dari menangkap ikan, bertani dan hasil hutan bukan kayu. Bertahun-tahun mereka mencoba menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan memburuk akibat perubahan iklim.
Telah berbelas tahun pula, berbagai forum masyarakat tradisional dan adat, melalui masukan dari lembaga swadaya masyarakat serta pemerintah, melakukan berbagai upaya membantu masyarakat Embalon, Iban dan Melayu mengatasi perbedaan agar lebih mampu menghadapi masalah krusial yang terus berkembang. Beragam masalah dihadapi, antara lain menurunnya kualitas air, berkurangnya stok ikan, meningkatnya tekanan akibat krisis iklim, serta peningkatan permintaan kelapa sawit dan sumber daya perkebunan. Kapuas Hulu adalah salah satu kabupaten termiskin di Kalimantan Barat, kondisi yang makin menekan lahan.
Masalah pelik lain adalah fakta bahwa bentang alam ini sangat rentan dan bernilai – sekitar 60 persen area telah dirancang sebagai kawasan konservasi karena tingginya nilai keanekaragaman hayati, tutupan hutan primer dan fitur spesifik Danau Sentarum, badan air terbesar di Kabupaten Kapuas Hulu. Lahan basah di sini termasuk unik di Indonesia, mengering saat musim kemarau, dan menjadi danau saat musim hujan. Danau ini juga menghasilkan sejumlah besar ikan air tawar yang menyangga masyarakat lokal.
Di tempat inilah saya dan rekan-rekan berkecimpung. Melalui program lima tahun COLANDS – Kolaborasi dalam Mengoperasionalkan Pendekatan Bentang Alam untuk Alam, Pembangunan dan Keberlanjutan – kami mempelajari bagaimana “pendekatan bentang alam” bisa membantu masyarakat – dan lebih luas lagi, untuk perbandingan pendekatan bentang alam di berbagai negara. Perangkat apa yang diperlukan masyarakat tersebut untuk lebih baik dalam mengelola lahan, mengatasi perseteruan pemanfaatan lahan, dan mendukung pemanfaatan lahan yang produktif serta mewujukan tujuan lingkungan dan keanekaragaman hayati?
Jika dapat merekonsiliasi rivalitas tujuan untuk alokasi dan manajemen lahan, maka kita mungkin mencapai “tiga hal mendasar” tersebut, termasuk keberhasilan ekonomi dan lingkungan. Hal ini pada gilirannya, diharapkan mampu meningkatkan penghidupan dan resiliensi masyarakat atas perubahan iklim serta bisa menjadi model bagi daerah lain.
Banyak orang di kabupaten ini menjunjung tinggi menua – konsep tradisi tata kelola lahan. Tiap unit rumah panjang, yang berisi 30 keluarga, memiliki menua yang terbagi menjadi: kawasan pemakaman leluhur, rumah panjang, hutan masyarakat, yang dipandang sakral dan dilindungi dari penebangan; kawasan perburuan dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu (NTFP); serta wilayah pertanian keluarga.
Konsep ini mempertautkan pemanfaatan lahan dari hulu ke hilir, dan juga menjadi penyelaras dengan menua komunitas rumah panjang lain. Hingga saat ini, menua menjadi konsep yang dijunjung tinggi seluruh masyarakat. Pengelolaan melalui menua berarti bahwa masyarakat dipandu dengan regulasi adat. Keputusan hanya dibuat setelah terjadi konsensus masyarakat yang disebut kokombong.
Beberapa desa masih menerapkan proses adat kokombong dalam mencapai konsensus antar masyarakat di sepanjang pesisir sungai –hulu, tengah dan hilir. Beberapa desa yang saya kunjungi memanfaatkan proses ini untuk menyelesaikan masalah pemanfaatan lahan dan sumber daya alam di masyarakat, meski di beberapa kasus hanya penduduk desa tertentu yang diundang bisa berpartisipasi dalam diskusi kokombong. Namun, muncul suara bahwa forum ini tidak secara aktif melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam diskusi dan konsensus pemanfaatan lahan dan sumber daya alam. Kenyataannya, sebagian masyarakat melihat forum ini tidak lain hanyalah sebentuk formalitas, berdasar laporan bahwa diskusi ini seringkali terbatas saat memilih anggota komite dan dewan.
Beberapa LSM telah mencoba mengembangkan cara memperlambat dampak negatif perubahan pemanfaatan lahan akibat ekspansi kelapa sawit, termasuk efek pada kualitas air, yang merupakan salah satu sumber konflik. World Wildlife Fund for Nature (WWF), misalnya, selama 15 tahun berkecimpung dalam konservasi hutan di wilayah ini. Pada periode yang sama, lebih dari 10 LSM lokal dan internasional mengerjakan beragam proyek di dua daerah aliran sungai – mulai dari perlindungan populasi orangutan lokal hingga rehabilitasi hutan dan reforestasi.
Pembangunan di Kapuas Hulu juga terbelah di sepanjang garis dua daerah aliran sungai yang menjadi fitur kunci bentang alam ini. Daerah aliran sungai Seriang merupakan bagian dari Perkebunan Seriang, area perluasan kelapa sawit milik perusahaan swasta terbesar Asia Tenggara yang beroperasi berdasarkan peruntukan lahan “pertanian” yang termasuk dalam rencana tata ruang resmi kabupaten. Namun, hal ini memunculkan konflik bagi masyarakat tradisional yang menerapkan menua. Sebagian menyambut ekspansi kelapa sawit terkait pilihan finansial, yang berarti lebih banyak opsi bagi meningkatnya penghasilan dan infrastruktur. Bagi sebagian masyarakat lain, ekspansi kelapa sawit dikhawatirkan merambah lahan sakral dan keluarga.
Mengingat Kapuas Hulu sangat miskin, pemerintah berupaya meningkatkan akses transportasi, lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Di lapangan, kelapa sawit terus meluas. Salah satu hasilnya adalah jalan utama beraspal mulus melintasi kabupaten, yang bagi sebagian masyarakat, meningkatkan akses transportasi dari desa terpencil mereka ke kota terdekat, pasar, sekolah dan kantor pemerintah. Semua ini berkontribusi pada penghasilan harian mereka.
Meski akses jalan bagus tersebut membuat perjalanan ke desa terpencil jadi terbuka dengan menggunakan sepeda motor, saya menemukan tantangan tersendiri di Kapuas Hulu. Kebutuhan mendasar – seperti listrik – masih terbatas di wilayah dan waktu tertentu, misalnya mulai pukul 5 pagi hingga 6 sore waktu setempat. Kondisi ini membuat bekerja via internet menggunakan laptop dan komunikasi umumnya menjadi sulit. Sebagian besar desa bergantung pada panel matahari yang dipasang oleh pemerintah di rumah-rumah mereka, dan seringkali terbatas untuk lampu dan televisi.
Terbatasnya akses internet dan bentuk telekomunikasi lain juga berdampak besar pada masyarakat desa dan penghidupan mereka. Misalnya, strategi pemasaran untuk menjual hasil hutan bukan kayu sangat sulit dilakukan ketika penduduk desa tidak bisa meneliti harga produk mereka. Akibatnya, sering kali mereka menjual dengan murah pada tengkulak yang memiliki informasi dan akses lebih baik di pasar.
Jelas bahwa kerja saya, dan teman-teman baru tahap awal. Namun, kami berharap hasil positif maupun negatif yang dihasilkan akan bisa berkontribusi pada pemahaman mengenai kondisi di mana pendekatan bentang alam dapat dikembangkan dan memberi informasi bagi agenda penelitian berbasis bukti, kebijakan dan praktik di masa datang.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org