Bagikan
0

Bacaan terkait

Di Kalibiru, hutan lindung di pegunungan Menoreh, sisi barat Yogyakarta, terlihat deretan tangga menuju puncak pepohonan yang sangat instagramable, dengan berfoto di atas panggung kayu di atas kanopi pepohonan dengan pemandangan danau dan hutan lebat.

Dua dekade lalu, tempat ini belum menjadi tempat favorit untuk berfoto. Lahan kawasan hutan negara ini rusak parah akibat perambahan dan penebangan kayu secara ilegal. Tahun 2001, masyarakat lokal mendirikan Kelompok Tani Hutan (KTH) Mandiri Kalibiru untuk mengajukan hak pengelolaan melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Upaya ini dilakukan karena kelompok masyarakat ini sangat prihatin dengan kondisi hutan sekitar, disamping mencari peluang untuk meningkatkan penghidupan. Akhirnya, pada tahun 2008, pemerintah memberikan mandat pengelolaan hutan selama 35 tahun melalui skema perhutanan sosial HKm.

Pada awalnya, kelompok KTH Mandiri Kalibiru berencana mengelola hutan produksi dengan menanam pohon kayu untuk tujuan komersial. Namun, setelah mereka melakukan penanaman, pada tahun 2007, kementerian mengubah status hutan produksi menjadi hutan lindung. Dengan berubahnya status menjadi hutan lindung, pohon kayu yang telah ditanam tidak dapat dipanen.

Di tahun 2011, Kelompok HKm Mandiri Kalibiru ini mengambil keputusan untuk merubah fokus kegiatan menjadi pengelolaan ekowisata. Keputusan ini ‘terbayar’, kata Pak Sadali, wakil ketua kelompok, saat beliau menjadi panel dalam  diskusi mengenai perjalanan perhutanan sosial di Indonesia pada bulan Februari tahun ini di kantor Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Bogor. Kelompok HKm Mandiri Kalibiru ini mengelola sejumlah  sarana favorit berbasis ekowisata, terutama untuk foto di spot yang unik dengan memperhatikan aspek safety, selain juga mengembangkan dan memanen  berbagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di antara pohon-pohon kayu yang ada di bawah naungan kanopi hutan lebat.

Kisah HKm di Kalibiru ini merupakan bagian dari narasi besar dan panjang upaya Pemerintah Indonesia melakukan demokratisasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam satu dekade terakhir. Program Perhutanan Sosial yang dicanangkan bertujuan mengentaskan kemiskinan, mengurangi deforestasi dan mengakhiri konflik lahan hutan dengan memberikan peluang bagi masyarakat lokal mengelola hutannya sendiri, dan mengembangkan penghidupan berkelanjutan di dalam dan sekitar hutan. Baru-baru ini, perhutanan sosial juga dipromosikan sebagai salah satu cara mitigasi perubahan iklim melalui program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) yang didukung PBB.

Namun, di balik upaya ini, peran masyarakat masih relatif kecil di luasnya hutan negeri ini. Saat ini, hutan yang dikelola masyarakat masih di bawah 5 persen dari total luas hutan yang bisa dikelola, dan sisa 95 persen atau lebih, masih dikelola oleh pemegang konsesi. Sementara, tingkat kemiskinan pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan ini masih tertinggi di Indonesia.

Inilah mengapa, pada 2016, Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan luas lahan hutan yang dikelola masyarakat – dari 1,7 juta hektar menjadi 12,7 juta hektar – dalam lima tahun. Sejauh ini capaian ternyata bergerak lamban, baru sekitar 2,5 juta hektar lahan hutan yang sudah diberikan ijin pengelolaannya kepada masyarakat, yaitu sekitar 600.000 kepala keluarga dari 5.454 izin yang sudah dikeluarkan keputusannya. Lantas, apa kendalanya?

   Panelis diskusi perjalanan perhutanan sosial di Indonesia . Ricky Martin/CIFOR

SEBENARNYA, HUTAN INI MILIK SIAPA?

Menyerahkan hak pengelolaan pada masyarakat terdengar mudah, namun ternyata memunculkan sejumlah pertanyaan penting: masyarakat yang mana? Dan, dalam setiap kelompok masyarakat, siapa yang akan memutuskan bagaimana hak kelola ini digunakan?

Menurut Sri Suharti, peneliti Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masih banyak konflik di tingkat lokal mengenai tata batas hutan, dan banyak kasus, dimana sebuah kawasan hutan yang sama diklaim beberapa kelompok masyarkat. Terlebih, katanya dalam diskusi, aktor elit masyarakat yang sering lebih menikmati manfaat dari kegiatan perhutanan sosial. Kelompok marjinal – yang menjadi target inisitatif ini – malah tertinggal.

Oleh karena itu, Suharti menekankan pentingnya dibangunnya basis data kepemilikan lahan yang akurat, kelembagaan yang lebih berdaya dan peningkatan efektivitas proses peradilan lokal dalam menyelesaikan tumpang tindih klaim atas lahan hutan, serta pendekatan partisipatif untuk memotong jalur hirarki panjang dan menjamin agar manfaat bisa dinikmati oleh pihak yang berhak.

Kami berharap program kehutanan sosial ini akan dilanjutkan di bawah kerangka kebijakan nasional yang sama - siapa pun yang menjadi presiden nanti.

Ani Adiwinata Nawir

BAGAIMANA UNTUK BISA DIPERHITUNGKAN?

Meski pengelolaan HKm di Kalibiru telah menunjukkan manfaat luar biasa dari skema perhutanan sosial, keberlanjutan pengelolaan yang memenuhi prinsip bisnis yang bersaing masih banyak tantangannya. Jumlah pengunjung mengalami peningkatan sampai pada 2017, dan kemudian mulai turun pada tahun 2018. Sadali menjelaskan, ketika masyarakat sekitar melihat keberhasilan wahana foto di HKm Kalibiru, mereka mulai meniru. Persaingan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan yang mempengaruhi kepastian usaha selanjutnya.

Pembelajaran yang didapat dari kasus ini, adalah pentingnya rencana bisnis jangka panjang untuk berbagai skema perhutanan sosial, demikian disampaikan oleh peneliti CIFOR Ani Adiwinata Nawir. “Setelah hak kelola diberikan oleh pemerintah, bagaimana rencana bisnis pengelolaan selajutnya? Khususnya untuk menjadi sumber penghidupan masyarakat pengelola yang bisa diandalkan, dan memastikan tata kelola hutan berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan terjaga aspek lingkungannya selama 35 tahun?”

Untuk itu, menurut Ani, membutuhkan dukungan semua pihak, melalui skema kemitraan dengan pihak swasta, dan dari dinas-dinas pemerintah daerah terkait, selain juga memastikan rencana bisnis yang mengindetifikasi sumber-sumber penghasilan yang beragam dari pengembangan berbagai pilihan berbasis potensi lokal yang layak secara ekonomi. Rencana bisnis sebaiknya menjadi salah satu persyaratan dalam pengajuan aplikasi untuk memperoleh hak kelola melalui skema perhutanan sosial.

   Petani di Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Aris Sanjaya/CIFOR

TANTANGAN SELANJUTNYA

Tantangan lain adalah bagaimana bisa menjadikan perhutanan sosial menjadi bagian prioritas pembangunan pemerintah daerah dalam jangka panjang. “Ini yang masih belum terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia,” kata Ani. “Perhutanan sosial masih dipandang sebagai program nasional, dan pemerintah provinsi belum menjadikannya sebagai bagian program prioritas pembangunan ekonomi daerah, sehingga tidak teranggarkan di APBD untuk mendukung implementasi di tingkat tapak.”

Di dalam diskusi, Ani memaparkan tim peneliti Kanoppi melakukan advokasi kebijakan untuk memperkuat dukungan pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten, melalui fasilitasi penyusunan platform kebijakan yang relevan untuk mendukung pelaksanaan perhutanan sosial di tingkat tapak. Dengan adanya platform kebijakan ini, akan dimungkinan perangkat pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana pendukung pelaksanaan program melalui perencanaan yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Dana pendukung bisa menjadi bagian program yang direncanakan dan dilaksanakan, misalnya oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dinas LHK), Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinas PMD), Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag), dan Dinas Pariwisata.

Kanoppi merupakan kegiatan peneliti aksi partisipatif secara kolaborasi antara CIFOR, WWF Indonesia, BLI dan Pusat Penelitian Wanatani Dunia (ICRAF), dan mitra lain, yang ditujukan untuk memastikan tata kelola kehutanan dan bentang alam yang terintegrasi, antara lain di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Tim Kebijakan Kanoppi antara lain telah mamfasilitasi proses penyusunan dokumen strategis pengelolaan terintegrasi berbasis bentang alam untuk mendorong pengelolaan hutan dan sumberdaya alam yang terintegrasi, pelaksanaan program perhutanan sosial yang inklusif, dan memastikan penyelarasan strategi dan program pemerintah mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan desa. “Dokumen ini diharapkan akan menjadi referensi untuk arahan strategis dalam menghubungkan titik-titik di antara para pemangku kepentingan sepanjang rantai pasokan dan rantai nilai, terutama antara dinas-dinas pemerintah terkait,” katanya.

Pada tingkat nasional, dimana saat ini dukungan untuk keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sangat kuat, menjadi penting untuk tidak lantas menganggap upaya ini cukup, tambah Ani. Khususnya pada saat Indonesia yang tengah menghadapi pemilihan umum. “Kami berharap program perhutanan sosial ini akan terus dilanjutkan sebagai  kebijakan nasional – siapa pun yang menjadi presiden Indonesia yang baru,” katanya. “Jika tidak, hal itu akan mempengaruhi kepastian akan keberlanjutan rencana dan pelaksanaan kegiatan di tingkat tapak: terutama bagi kelompok masyarakat yang saat ini sudah memegang hak pengelolaan hutan.”

Ucapan terima kasih

CIFOR mengucapkan terima kasih pada para panelis atas keterlibatannya dalam diskusi:

  • Dr. Bambang Supriyanto (Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup)
  • Dr Zahrul Muttaqien (Moderator, Ahli Kebijakan Lingkungan, Kebijakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
  • Dr. Lukas Rumboko (BLI)
  • Dr. Sri Suharti (BLI)
  • Ani Adiwinata Nawir, PhD (CIFOR)
  • Bp. Sadali (HKm Kalibiru, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta)
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Ani Adiwinata Nawir di a.nawir@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Kanoppi merupakan kegiatan penelitian yang didanai ACIAR (Pusat Penelitian Wanatani Internasional Australia) dan dikoordinasikan oleh ICRAF (Pusat Penelitian Wanatani Dunia) dan CIFOR (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional) sejak 2013 dan saat ini merupakan fase kedua.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org