Bagikan
0

Bacaan terkait

“Hutan dan sumber daya hutan sangat penting bagi Indonesia dan dunia dalam memerangi perubahan iklim,” kata Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Robert Nasi, saat memberikan sambutan pada penandatanganan Nota Kesepahaman antara CIFOR dan pemerintah Indonesia pekan lalu.

Sejak 1997 CIFOR menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah. Luasnya negeri yang terdiri dari 17.000 pulau, menjadi anugerah bagi para peneliti hutan. Indonesia juga menjadi rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, memiliki separuh lahan gambut dan seperempat mangrove dunia. Selama beratus tahun, karbon dunia tersimpan di sini. Kini, apakah kekayaan – simpanan karbon purba – menjadi bagian dari mitigasi atau malah mempercepat perubahan iklim jika terlepas ke udara akan sangat bergantung pada pengelolaannya saat ini.

“Setiap aspek kehutanan merupakan aktivitas politik,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, seraya menyatakan bahwa para pakar dan pengambil kebijakan “secara bersama membentuk” kebijakan. Karena tidak bisa hadir langsung, Agus Justianto, Direktur Jenderal Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) KLHK membacakan sambutan menteri.

“Saya berharap kedua pihak akan mampu memobilisasi ilmu pengetahuan menjadi aksi dan juga menerjemahkan gerakan internasional menjadi kesejahteraan masyarakat,” katanya mewakili Menteri Siti Nurbaya.

Indonesia mengalami kemajuan dalam melindungi hutan. Merujuk angka pemerintah, laju deforestasi tahunan turun dari 1,09 juta hektare menjadi 480.000 hektare dalam tiga tahun terakhir, atau sejak 2000, penurunan itu terjadi hampir enam kali lipat.

Seraya mengapresiasi keberhasilan ini, Nurbaya menyoroti ancaman jika terjadi salah kelola hutan. Merusak hutan, lanjutnya, dapat menjadi “penyumbang utama emisi karbon, terutama akibat kebakaran hutan – khususnya di lahan gambut.”

Nurbaya menyatakan bahwa kemitraan antara CIFOR dan BLI menjadi sangat penting sejalan dengan langkah Indonesia memasuki ‘paradigma baru penelitian dan pembangunan hutan.’

   Para tamu yang hadir pada penadatangan Nota Kesepahaman antara BLI dan CIFOR, memilih publikasi CIFOR Ricky Martin/CIFOR

Para tamu yang hadir pada penadatangan Nota Kesepahaman antara BLI dan CIFOR, memilih publikasi CIFOR

Selama lima tahun kontrak, menurut Robert Nasi, CIFOR bertekad terus menghasilkan penelitian terdepan, serta mendukung pemerintah dalam mewujudkan kontribusinya mencapai target global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perjanjian Paris. Hutan menyumbang 18 persen target reduksi emisi nasional Indonesia, dan diharapkan meningkat lebih dari separuh target reduksi dalam kerangka Perjanjian Paris.

Nasi menyatakan CIFOR berperan memberikan bukti ilmiah yang dapat membantu Indonesia mengerem laju deforestasi.

“Selain mendukung Indonesia mencapai standar emisi rendah, CIFOR juga mendukung pembangunan rendah karbon,” katanya. Penelitian utama CIFOR meliputi penelitian kesetaraan peluang terkait gender, keadilan dan tenurial; hutan dan kesejahteraan manusia; bentang alam dan pangan berkelanjutan; rantai nilai, finansial dan investasi.

Berada di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki lebih dari 300 komunitas etnis, dan lebih dari 700 bahasa. Menurut hasil penelitian Program Hutan Masyarakat, lebih dari 50 juta orang bergantung secara langsung pada hutan untuk penghidupan melalui lapangan kerja langsung atau tidak langsung, terkait hasil hutan bukan kayu dan satwa liar.

Sejak 2015, Presiden Indonesia, Joko Widodo mengembangkan program perhutanan sosial untuk melindungi hutan sekaligus meningkatkan penghidupan masyarakat yang bergantung hutan. Program pemerintah ini diharapkan mengatasi konflik tenurial dan kesenjangan akibat pesatnya pembangunan. Menurut Nasi, rencana ini akan menjadi “pengubah permainan”.

Dr. Bambang Supriyanto memaparkan inisiatif kehutanan pemerintah Indonesia CIFOR

  

PARADIGMA BARU DALAM PERHUTANAN SOSIAL

Dalam sebuah presentasi menarik dari Dr. Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, ditekankan mengenai kurangnya keadilan dalam kepemilikan hutan saat ini. Dari 120 juta hektare tutupan hutan di Indonesia, sebanyak 42 juta diberikan pada konsesi – terutama tanaman industri dan kelapa sawit. Lebih dari 95 persen alokasi itu dikelola sektor swasta, dan sisanya dikelola masyarakat. Bagi Supriyanto, kondisi ini jauh dari adil.

“Masyarakat yang tinggal di dalam dan seputar hutan menyumbang hampir 40 persen masyarakat miskin di Indonesia,” katanya, sebelum menjelaskan lima pokok rencana dengan lima jari tangan kanannya. Untuk mengatasi hal ini, direktoratnya berkomitmen untuk meningkatkan pengelolaan masyarakat enam kali lipat, dari asalnya lima persen kurang menjadi 30 persen.

“Pemerintah memberikan kepercayaan pada petani untuk mengelola hutan,” katanya. Ia kemudian memaparkan lima rencana besar untuk menjawab tantangan ini. Mengutip berbagai bentuk kemitraan komunitas, desa, swasta dan perhutanan, ia menyebutkan pentingnya hutan adat – yang mengakui keberadaan masyarakat adat.

Supriyanto mengingatkan bahwa program perhutanan sosial bukan sesuatu yang bisa dilakukan sendirian. Agar kebijakan berhasil, muncul kebutuhan “kemitraan pemerintah – swasta yang baik, dengan upaya mewujudkan tujuan jangka pendek, menengah dan panjang.” Pendekatan holistik oleh pemerintah telah diadopsi, lima kementerian ambil bagian, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementeraian Perdesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Dalam Negeri.

Supriyanto juga meminta percepatan perizinan lahan untuk mencapai target lima tahun. Langkah berikut, lanjutnya, akan membutuhkan bantuan dari CIFOR dan BLI, dalam membangun masa depan bagi petani di sektor wanatani, silvopastura, wanamina, produksi biomasa, dan penjualan produk hutan – seperti kayu dan madu lestari.

“Izin telah diberikan, namun petani seringkali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah memfasilitasi petani,” katanya. Hal ini memperkuat penelitian terbaru CIFOR yang menegaskan kurangnya pengetahuan praktis petani dalam melakukan konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Secara umum kondisi ini memicu ancaman lingkungan akibat praktik pertanian yang dilakukan.

Hambatan terakhir? Mengembangkan pasar berkelanjutan. Untuk ini, Supriyanto menyatakan, dukungan perbankan dan mobilisasi mikrofinansial dibutuhkan untuk membuat ilmu pengetahuan menjadi aksi.

CIFOR dan BLI menggunting pita saat pembukaan sekretariat Pusat Penelitian Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) di CIFOR

  

PEMBUKAAN SEKRETARIAT ITPC

Sebelum acara ditutup, Nasi dan Justianto melakukan gunting pita pembukaan sekretariat Pusat Penelitian Lahan Gambut Tropis Internasional (International Tropical Peatlands Center/ITPC) di kampus CIFOR Bogor.

Upacara ini menandai pembukaan sekretariat sementara ITPC. Sekretariat akan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta CIFOR, yang secara bersama bertanggung jawab menyusun kerangka kerja ITPC sebelum peluncuran resminya pada tahun ini.

Meski hanya 3% lahan dunia yang ditutupi gambut, kawasan ini menyimpan 30% hingga 40% karbon global, sebuah kepadatan yang tidak bisa dibandingkan dengan gabungan vegetasi permukaan bumi. Dengan memiliki separuh kawasan gambut dunia, keputusan pengelolaan lahan gambut di Indonesia memiliki pengaruh signifikan bagi lingkungan, pasar dan penghidupan regional dan global.

ITPC direncanakan mulai membuka pintunya tahun ini, dengan misi menyatukan peneliti, pemerintah, masyarakat sipil dan pemangku kepentinganlain untuk menjamin konservasi dan manajemen berkelanjutan lahan gambut di Asia Tenggara, Basin Kongo dan Peru.

Pada 30 Oktober 2018, Indonesia dan Republik Kongo – tempat ditemukannya cadangan lahan gambut tropis terbesar – menandatangani perjanjian kerja sama perlindungan dan manajemen lahan gambut antara negara Asia dan Afrika untuk pertama kalinya.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org