Bagikan
0

Bacaan terkait

Guna mencegah bencana perubahan iklim maka harus dilakukan pengurangan emisi berbahan bakar fosil. Di sisi lain, menurut Badan Energi Internasional akan terjadi peningkatan kebutuhan energi sebesar 45 persen pada tahun 2013 hingga tahun 2040. Dan melalui skenario bisnis, hal ini akan mendorong kenaikan emisi karbon dioksida sebesar 40 persen. Hal-hal ini menjadikan kebutuhan energi terbarukan lebih mendesak dari sebelumnya.

Bioenergi – energi yang dihasilkan dari sumber biologis – menawarkan alternatif menarik yang diperkirakan mempunyai kapasitas untuk memenuhi setidaknya 25 persen permintaan global. Di daerah tropis, sebagian besar biofuel diproduksi dari buah kelapa sawit, tanaman dengan pertumbuhan cepat dengan panen melimpah. Namun, membuka hutan untuk monokultur kelapa sawit dapat menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem, dan seiring waktu perkebunan menjadi kurang produktif. Yang lebih buruk, pohon kelapa sawit tidak dapat tumbuh di tanah gambut berawa, jadi lahan jenis ini sering dikeringkan untuk perkebunan. Proses pengeringan berpotensi melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer.

Menurut Nils Borchard, peneliti Lembaga Sumber Daya Alam Finlandia (LUKE) yang dahulu bekerja dengan CIFOR dalam riset ini, ia sadar akan masalah ini saat melakukan riset Bersama dengan staf peneliti dari Kementerian Pertanian tahun tahun 2015-2016. “Ada masalah dengan tanah yang terdegradasi,” katanya. “ Penanaman tanaman komersial – seperti kelapa sawit, nanas, padi dan sebagainya – terkendala oleh potensi keterbatasan hasil yang dapat diperoleh petani di lahan terdegradasi.”

Pemerintah menyadari potensi permintaan energi dan tengah mencari opsi energi terbarukan. Para peneliti CIFOR telah melakukan diskusi Bersama dengan peneliti dari pemerintah termasuk peneliti dari German Corporation for International Cooperation, bagaimana kedua masalah ini dapat dikombinasikan: rehabilitasi atau memulihkan lahan terdegradasi, dan masalah memproduksi biomassa atau bahan mentah untuk bioenergi, ungkap Borchard.

Dalam konteks ini, peneliti CIFOR menerbitkan jurnal tentang topik ini dan mengusulkan untuk melakukan identifikasi kesesuaian spesies pohon tropis untuk produksi bioenergi termasuk kesesuaian untuk tumbuh di berbagai jenis tanah, termasuk yang terendam air, seperti gambut. Pada awalnya fokus hanya pada konteks Indonesia, namun para peneliti memperluas mandat cakupan luasan riset selama proses penelitian ke negara-negara tropis berkembang lainnya. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Bioenergi di lahan terdegradasi,” yang berusaha mencari solusi untuk tiga masalah – makanan, energi, dan lingkungan, kata Himlal Baral, ilmuwan senior CIFOR.

Meskipun sebelumnya ada banyak informasi mengenai spesies yang dapat dibudidayakan di tanah berpasir, tanah liat atau lempung, sangat sedikit data yang menjelaskan apakah suatu spesies dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut terdegradasi. Ini adalah sebuah kesenjangan, terutama bagi Indonesia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar untuk bioenergi.

“Satu-satunya opsi mitigasi untuk menghentikan hilangnya karbon dari tanah ini adalah membasahi kembali lahan gambut,” kata Borchard. “Tapi di lahan gambut yang dibasahi, pohon kelapa sawit tidak dapat bertahan hidup.”

Penelitian lapangan dan uji coba demonstrasi diperlukan untuk memverifikasi data yang dikumpulkan dalam penelitian, dan menentukan dengan pasti spesies mana yang dapat tumbuh di lahan gambut yang dibasahi ulang, dan estimasi keluaran energi dari kelapa sawit. Ada juga pertanyaan seputar kepraktisan panen di daerah berawa: “Anda tidak bisa menggunakan traktor yang terlalu besar: Anda butuh sesuatu di antara traktor dan perahu,” kata Borchard. “Jadi ada banyak penelitian teknik yang diperlukan di sini juga.”

Saat ini peneliti CIFOR tengah menguji sejumlah spesies yang diidentifikasi dalam penelitian pada berbagai jenis lahan terdegradasi, seperti lahan gambut yang terdegradasi dan terbakar, lahan basah dan lahan bekas tambang, ungkap Borchard. Mereka bertujuan untuk terus meningkatkan database tentang topik ini, dan akhirnya menghasilkan alat interaktif untuk mendukung pemilik lahan, kelompok masyarakat, investor dan pembuat kebijakan untuk memilih spesies yang sesuai untuk upaya restorasi di lahan terdegradasi.

Perkebunan campuran, yang menggabungkan kehutanan dan pertanian, menyajikan beberapa opsi menarik, kata Borchard. “Ini adalah solusi yang sangat bagus,” katanya, “karena Anda dapat mengolah pohon untuk tujuan bioenergi, dan kemudian menumbuhkan pohon nanas atau pisang atau pohon buah lainnya untuk subsisten atau pasar lokal – atau bahkan hasil panen – jadi ini adalah cara yang baik untuk menggabungkan semua masalah ini. ”

Sementara penelitian berfokus pada potensi bioenergi spesies pohon tertentu, degradasi tanah dan restorasi bentang alam merupakan masalah yang lebih luas, namun penting untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), jelas Borchard. “Kami perlu merehabilitasi tanah-tanah ini, sehingga dapat menghasilkan manfaat dalam hal hasil dan jasa ekosistem, dan lebih baik melayani mata pencaharian masyarakat setempat.”

Penelitian ini didukung oleh National Institute of Forest Science (NIFOS) dan Republik Korea.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Nils Borchard di nils.borchard@luke.fi atau Himlal Baral di h.baral@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org