Daniel Murdiyarso: Dedikasi bagi kemajuan sains perubahan iklim
24 Juni 2014 silam, Nabiel Makarim, menteri lingkungan hidup saat itu, membuka sidang umum parlemen Indonesia (DPR) dengan memegang salinan surat kabar nasional KOMPAS. Ia mengatakan bahwa ia berharap para senator telah membaca bagian opini pagi itu. Artikel yang ditulis oleh seorang rimbawan Indonesia, menyodorkan banyak alasan mengapa Indonesia harus meratifikasi Protokol Kyoto dan hal ini peluang terakhir hasil dari tumpukan jurnal akademis yang telah disusun oleh Murdiyarso untuk mendukung Kebijakan ini. Hasilnya Protokol Kyoto berhasil diratifikasi hari itu.
Lebih dari 30 tahun bekerja, Daniel Murdiyarso berkata bahwa ia telah mendengar tentang “perubahan iklim” berkembang dari istilah samar-samar menjadi suatu krisis global dan merasakan Indonesia terjaga dari tidur dan situasi terisolasi untuk menjadi negara penting di perundingan negosiasi iklim internasional. Terlebih, Daniel Murdiyarso adalah alasan utama atas kebangkitan ini, dan sejak saat itu menjadi tendon utama penggerak Indonesia mengikuti langkah perundingan global.
Beberapa minggu yang lalu, misalnya, ia mengadakan pertukaran pengetahuan lahan gambut di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), tempat selama 15 tahun terakhir menjabat sebagai peneliti utama perubahan iklim. Risetnya tentang ekosistem lahan gambut telah membuka jalan bagi pengakuan kebijakan lahan gambut, dan karena isu ini begitu penting sehingga mendorong pemerintah Indonesia membangun pusat lahan gambut internasional di kampus CIFOR bermitra dengan negara-negara pemilik lahan gambut besar di dunia. Dalam acara tersebut, seorang peserta dari Amerika Serikat memberikan komentar bahwa dia belum pernah melihat anggota pemerintah berbicara begitu bebas dalam acara diskusi.
Dengan kata lain, meski segala sesuatu (bagi Indonesia) telah berubah, karena tidak ada (konsistensi) yang berubah. “Semangat saya adalah untuk menghubungkan ilmu pengetahuan dan kebijakan,” katanya dengan tenang.
Gairah melakukan riset perubahan iklim tak pernah redup, Murdiyarso memiliki ‘mantra’ yang menjaga ia tetap bersemangat. Hal ini menjadi alasan utama atas anugerah LIPI Sarwono Award 2018, sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): Konsistensi dan akuntabilitas, terutama dalam pekerjaannya yang tak kenal lelah di lahan basah, termasuk lahan gambut dan hutan bakau.
PENELITIAN DI RANAH PINGGIRAN
Semangat Murdiyarso saling berpacu satu sama lain, hal itu digunakan sebagai pemicu. Setelah menerima gelar doktornya dalam bidang meteorologi dari Universitas Reading di Inggris, ia kembali ke Indonesia untuk mengabdi di almamaternya Institut Pertanian Bogor (IPB), dan segera mulai menopang pendanaan untuk proyek-proyek penelitian. Ini menarik perhatian Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang memilihnya untuk membantu melakukan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Indonesia.
Tapi itu tidak menguntungkan untuk karir yang ia harapkan.
“Itu karena saya berasal dari Indonesia, dan dilihat sebagai sesuatu yang berbahaya,” kenangnya. “Anda seharusnya tidak mengungkapkan apa yang terjadi di ekosistem. Jadi saya adalah penjaga hutan seorang diri, hanya bekerja dengan para mahasiswa meneliti tentang perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan istilah yang masih sangat samar bagi sebagian besar dari kita. ”
Indonesia memiliki tingkat emisi tertinggi ketiga dari produksi beras setelah China dan India – peringkat yang menurut Daniel pertanyakan validitas asumsi tersebut. Jadi dia berusaha melakukan tawaran riset Bersama dengan universitas Portland di Amerika dan meyakinkan tim riset universitas untuk pergi ke Indonesia dalam perjalanan tahunan mereka ke China dan meminjamkan peralatan canggihnya. “Murid-murid saya membawanya melewati bea cukai,” dia tertawa.
Daniel dan tim riset berhasil menerbitkan artikel penting berdasarkan emisi yang diukur dari tiga varietas padi yang berbeda yang dibudidayakan di tiga sistem pengelolaan air berbeda, memperkirakan emisi padi lahan basah Indonesia menjadi sekitar 4 Teragram (Tg) metana per tahun daripada perkiraan sebelumnya 12 Tg.
Itu karena saya dari Indonesia, dan itu dilihat sebagai sesuatu yang berbahaya
Orang-orang mengancam untuk tetap melaporkannya kepada pejabat resmi, mengatakan bahwa universitas seharusnya tidak melakukan penelitian semacam ini, tetapi, “Saya sangat perhatian untuk mendapatkan angka yang tepat, dan dengan itu dapat dengan percaya diri mengatakan bahwa ini adalah angka yang kita miliki. Apakah itu berbahaya atau tidak, itu terserah Anda. ”
Murdiyarso muda tidak pernah membayangkan bahwa masa depannya akan berjalan ke sawah untuk mengukur gas dan memikirkan tentang efek yang sulit dipahami. Tumbuh di kota Cepu Jawa Tengah, bentang alam daerah asalnya adalah salah satu tanah kering dan berkapur yang dibuka untuk perkebunan jati milik negara yang dikelola oleh para pengawas dengan gaji tinggi. Hal ini merupakan pertanda yang awalnya dia ikuti di ilmu kehutanan; selain itu, lahan basah dan ekosistem kepulauan lainnya “penuh dengan kotoran dan nyamuk.”
Setelah kuliah di fakultas kehutanan di IPB, ia tidak siap untuk berkomitmen ke pasar kerja. Dia mengajukan permohonan dan menerima beasiswa pemerintah untuk melakukan master di IPB dan kemudian pergi ke Inggris untuk mendapatkan gelar doktornya. Di sanalah ia menjadi terpikat dengan komunitas riset. “Ada pandangan yang kontras tentang hutan dan air,” dia mengingat perdebatan saat itu. “Beberapa orang mengatakan hutan itu penting karena dapat menghasilkan air, yang lain mengatakan buruk karena hutan mengkonsumsi air. Jadi saya berada di tengah-tengah pertanyaan besar ini, dan ketika saya melihat masalah di hutan tropis, keduanya benar dalam konteks yang berbeda.”
Selama masa kuliah pasca sarjana, dengan bimbingan tutor ahli iklim, Ruth Chambers, yang dengan cepat tumbuh menjadi seorang mentor dalam membentuk sifat ilmiahnya. “Ia mengajari saya betapa pentingnya untuk mengetahui sesuatu dengan benar dan tepat daripada mempelajari segalanya, tapi dangkal. Saya banyak terinspirasi dalam prinsip, integritas, dan disiplin.”
Contoh kasus: Murdiyarso terus memeriksa pertanyaan tentang air, dan pada bulan Juli adalah salah satu dari 50 ilmuwan yang berkontribusi dalam laporan konsekuensi tentang hutan dan keamanan air, yang dipresentasikan di Forum Tingkat Tinggi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan.