Dedy Aprianto membawa peralatannya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya di desa Pahmungan Provinsi Lampung, Indonesia. Beberapa jam kemudian, ia tiba di sebuah gubuk satu meter persegi di hutan dan mengeluarkan bekalnya.
Ia mulai membersihkan tetumbuhan di bawah pohon damar yang akan disadap. Dengan hanya sabuk rotan sebagai pengikat, ia menjejakkan kakinya ke lubang pijakan yang dibuatnya di batang pohon pada panen getah damar lalu. Getah ini akan diolah menjadi berbagai produk, mulai dari makanan hingga vernis dan pengharum. Menggunakan pijakan lama, ia naik dan membuat lubang pijakan baru.
Masyarakat Pahmungan, desa kecil dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di ujung barat daya Sumatra, menjadikan damar sebagai sebagai sumber penghasilan utama selama lebih dari satu abad.
“Usia pohon ini sekitar 50 tahun,” kata Aprianto. “Diwariskan turun temurun. Ini lahan keluarga, damar adalah sumber penghidupan masyarakat kami.”
Namun, lahan ini masih disengketakan. Perubahan status lahan yang dilakukan pemerintah menimbulkan konflik dengan praktik tenurial adat.
Atas alasan ini, para peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menelisik isu ketidakamanan tenurial, sebagai bagian dari Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial Hutan (GCS-Tenure).
“Desa Pahmungan dipilih sebagai salah satu lokasi penelitian karena isu ini terkait dengan hak masyarakat,” kata Tuti Herawati, Ilmuwan CIFOR, sekaligus koordinator penelitian. “Ketidakpastian lahan di desa merupakan hal penting sebagai pembelajaran.”
Para ilmuwan menemukan, implementasi skema perhutanan sosial bisa menjadi jawaban atas masalah laten ini.
DI PERBATASAN
Damar berasal dari pohon dipterokapra – pohon tinggi dan ramping, memiliki sedikit cabang kecuali di bagian atas. Pohon asli hutan hujan dataran rendah ini, tersebar di seluruh Indonesia, serta beberapa wilayah Asia Tenggara.
“Repong damar dikelola oleh masyarakat dan diwariskan turun temurun,” kata Herawati menjelaskan kawasan kerja pohon damar di Pahmungan (repong damar). “Namun, pada 1990-an, kawasan ini dijadikan Kawasan Hutan Negara.”
Pada 1991, pemerintah Indonesia mengubah status hutan damar menjadi hutan produksi terbatas milik negara. Perubahan ini memicu perlawanan dari masyarakat dan mengancam penghidupan mereka.
Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Peraturan Khusus No. 47 of 1998, menetapkan sekitar 29.000 hektare repong damar dalam hutan produksi terbatas di Kabupaten Lampung Barat sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI).
Sebagai KDTI, status hutan tetap menjadi milik negara, namun tata kelola diserahkan pada masyarakat lokal untuk dapat melanjutkan praktik repong damar.
Meskipun memiliki kemampuan manajemen, penduduk desa tidak memiliki keamanan tenurial. Mereka khawatir pemerintah mendadak mengubah status lahan, dan membuat mereka kehilangan akses pada hutan dan sumber penghidupan.
Ketidakamanan ini juga memicu sengketa atas batas KDTI dan kawasan produksi terbatas.
“Hutan produksi terbatas di Kabupaten Pesisir Barat sekitar 33.350 hektare, dan sebagiannya berbatasan langsung dengan repong damar milik masyarakat,” kata Enny Puspasari dari Kantor Kehutanan Provinsi Lampung.
“Untuk menyelesaikan berbagai konflik tenurial, saya percaya bahwa skema perhutanan sosial adalah solusi terbaik untuk Lampung,” katanya.
TITIK HARGA
Selama memetik damar, sekelompok perempuan sering keluar masuk hutan, menyeberang sungai dan arus tanpa jembatan dengan tas besar di punggungnya.
Aktivitas ini merupakan bagian dari lokal. Petani damar seperti Aprianto membayar perempuan desa mengangkut resin ke desa.
Dahniar salah satunya. “Saya dibayar Rp 600 (sekitar 0,041 dolar AS) per kilogram,” katanya,” katanya. “Saya sering kali bisa membawa Rp 15.000 (1,10 dolar AS), meski ada hari saya bisa mendapat Rp 50.000 (3,65 dolar AS) untuk dua kali jalan dalam sehari.”
Para peneliti mengungkap bahwa sekitar 60% masyarakat bergantung pada repong damar sebagai sumber penghasilan.
Namun, ekonomi tidak selalu stabil. Tanpa hak lahan yang cukup, masyarakat tidak memiliki daya tawar dalam menentukan harga getah damar dan menjaganya dari fluktuasi. Hal ini tidak hanya membuat penghidupan lokal, tetapi juga hutan berisiko ditebang demi mendapatkan uang lebih.
Pertolongan pihak luar mulai masuk. LSM lingkungan lokal Watala Lampung tidak hanya membantu masyarakat mengelola repong damar secara berkelanjutan namun juga mengedukasi penduduk desa mengenai manfaat perhutanan sosial dan menyediakan wahana bagi pemerintah untuk terlibat, mendorong pentingnya repong damar.
“Peran Watala dalam menjembatani dengan banyak pihak – tidak hanya mitra di Lampung, namun juga daerah lain, mengenai bagaimana repong damar dapat dijaga demi masa depan. Banyak tantangan dalam hal mengelola repong damar di Lampung,” kata Rini Pahlawati, staf di Watala.
Ia sepakat, perhutanan sosial bisa menjadi solusi.
Baca juga bagian pertama artikel ini, Perhutanan sosial: Merawat Kopi.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org