Masyarakat inginkan kolaborasi, dan hukum adat
Di bawah payung hukum adat berabad lamanya, masyarakat di Maluku, wilayah timur Indonesia, hidup sejahtera dari hutan mereka tanpa kendala. Dari hutan, mereka mendapatkan kayu untuk rumah, memanen sagu dan gula, berburu babi dan mengumpulkan kayu bakar untuk memasak.
Melalui berbagai perubahan regulasi kehutanan di Indonesia sejak 1960 hingga kini, hukum adat tetap menjadi prinsip informal panduan manajemen hutan dalam mewujudkan hutan lestari di Maluku. Namun, meningkatnya kebutuhan lahan akibat pertambahan penduduk, migrasi dan pembangunan, membuat hukum adat dan hutan yang disangga berada dalam ancaman.
Meski hak masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola hutan diakui oleh Undang-Undang Kehutanan No.41/1999, sebagian besar pelaku informal adat tetap sulit mendapatkan hak adat atas tenurial di bawah regulasi nasional.
Tanpa keamanan tenurial, masyarakat terancam kehilangan hutan adat akibat ekspansi perumahan, jalan dan pertanian, atau perusahan perkebunan swasta, industri kayu atau tambang. Ini berimplikasi tidak hanya pada hutan, tetapi juga pada masyarakat yang masih bergantung pada hutan untuk penghidupannya.
Menurut penelitian terbaru yang dipimpin Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), manajemen kolaboratif adat tetap menjadi skenario pilihan bagi masyarakat di Maluku, dengan tujuan menyangga masyarakat dan hutan lestari di masa depan.
Temuan terbaru ini muncul sebagai bagian dari Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial, yang bertujuan mengungkap bagaimana reformasi tenurial hutan diterapkan, dan hasilnya bagi keamanan tenurial. Studi dilakukan secara simultan di Indonesia, Peru dan Uganda.
Di Indonesia, tiga lokasi – Maluku, Lampung dan Kalimantan – dipilih untuk mendapatkan pemahaman komprehensif reformasi tenurial negara tersebut. Maluku dipilih karena memiliki sistem manajemen hutan adat yang kuat, sebagaimana ditemukan penelitian CIFOR 2010-2014 lalu, dan menjadi data dasar penelitian ini. Lampung telah menerapkan perhutanan sosial sekitar satu dekade, sementara Kalimantan baru mulai memperkenalkan reformasi tenurial.
Penelitian di Maluku bertujuan meningkatkan pemahaman mengenai faktor yang mempengaruhi keamanan tenurial masyarakat dalam rangka menyusun rencana aksi menjamin hak masyarakat lokal dan meningkatkan dampak penghidupan dari skenario yang diterima.
Topik ini didiskusikan dalam Konferensi Tenurial 2017 pada 25-27 Oktober di Jakarta, Indonesia.