Bagikan
0

Di Indonesia, sebagian orang telah melupakan kebakaran lahan gambut dan sesak asap yang menerpa wilayah tersebut selama beberapa bulan pada 2014-2015.

Kebakaran perkebunan di Sumatera, Kalimantan dan Papua saat itu berdampak pada jutaan hektar lahan dan puluhan ribu manusia, bersama dengan menyebarnya asap beracun, yang mencapai hingga tetangga Singapura  dan Malaysia.

Presiden Joko Widodo merespon dengan menetapkan larangan total pembersihan atau pembakaran lahan gambut secara nasional, dan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memperbaiki lahan rusak.

Namun, untuk masalah kompleks yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan – mulai dari pemerintah hingga peneliti, perusahaan multinasional hingga petani dan masyarakat – upaya di lapangan dalam mencegah bencana di masa depan baru dimulai.

Pada dialog kebijakan nasional, lebih dari 300 perwakilan dari berbagai sektor mendiskusikan cara untuk memperkuat regulasi lokal dan belajar dari pengalaman lapangan.  Dialog ini digelar oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang bekerjasama dengan Universitas Riau, di Pekanbaru, bulan lalu.

Dialog ‘Regulasi dan Praktik Terbaik untuk Mengurangi Kebakaran dan Asap’ ini mengajak peserta berbagi tantangan dan kisah sukses mereka dalam memutus ancaman siklus tahunan ini.

   'Ilmu buruk' pengeringan dan pembakaran lahan gambut sebagai metode pembersihan telah menyebar di seluruh Indonesia sejak setidaknya tahun 1990an. Anna Finke/CIFOR

HUKUM LAHAN

Keputusan presiden terkait lahan gambut menabuh irama perubahan dalam praktik tata kelola lahan secara nasional. Meski penelitian menemukan bahwa regulasi lokal – yang dikeluarkan di tingkat provinsi, kabupaten atau kota – dapat memberi dampak lebih besar dalam mengurangi risiko bencana.

Yulwiriawati Moesa, Kepala Badan Kehutanan dan Lingkungan Hidup Riau, dalam dialog tersebut mengingatkan peserta atas telah dikeluarkannya regulasi provinsi mengenai perlindungan dan tata kelola lahan gambut tahun lalu. Ia mengatakan bahwa prosesnya kini tengah menuju implementasi penuh di lapangan.

Meskipun begitu, ia memuji upaya pencegahaan bencana lebih besar yang telah dilakukan sejauh ini.

“Provinsi Riau telah berhasil mengatasi ancaman bencana kebakaran dan asap dalam dua tahun terakhir, setelah 18 tahun terbelenggu,” katanya saat pidato pembukaan.

Ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo menyarankan agar setiap legistasi baru di provinsi atau di manapun seharusnya berdasar pada bukti ilmiah dan mendukung aksi tingkat masyarakat dalam mencegah kebakaran dan restorasi lahan.

“Kami gembira bahwa hasil penelitian kami dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan sebagai informasi publik, kebijakan, regulasi dan praktik terbaik,” katanya.

AKSI MASYARAKAT

Upaya yang efektif telah dilaksanakan di tingkat lapangan oleh masyarakat lokal, antara lain petani, pemilik lahan dan relawan pemadam kebakaran.

Rozi, ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) desa Dompas, kabupaten Bengkalis, memimpin patroli rutin untuk memadamkan api sebelum menjadi besar. Ia bekerja sama dengan masyarakatnya untuk menghijaukan dan membasahi kembali lahan gambut terdegradsi, antara lain dengan pembendungan kanal agar air tertahan di lahan.

Masalah ekonomi adalah hambatan utama masyarakat

Rozi, ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) desa Dompas, kabupaten Bengkalis

Secara rutin ia memadamkan kebakaran kecil akibat puntung rokok atau obat nyamuk, khususnya pada musim kering.

“Ketika kami berpatroli, kami tidak dibayar,” katanya di sela dialog. “Namun di desa yang tidak ada patroli, pasti ada kebakaran.”

“Sulit meyakinkan orang lain untuk ikut patroli karena berarti mereka tidak bisa bekerja di hari itu, mereka tidak dibayar, dan tidak bisa menafkahi keluarga. Masalah ekonomi adalah kendala utama kami,” tambahnya.

Pekerjaan yang terus dijalankan bersama para ilmuwan CIFOR adalah mendorong air kembali ke lahan kering dengan membendung kanal yang sebelumnya digali untuk mengeringkan lahan. Praktik pengeringan dan pembakaran lahan gambut dalam membersihkan lahan untuk perkebunan merupakan penyebab utama deforestasi, degradasi lahan dan kebakaran di Riau.

   Bahaya dari kebakaran lahan gambut merupakan bencana bagi kesehatan masyarakat, terutama bagi anak-anak. Aulia Erlangga/CIFOR

BISNIS PEMBAKARAN

Dalam dekade terakhir, jutaan hektare lahan gambut dikonversi menjadi lahan perkebunan, terutama perkebunan komersial seperti sawit. Metode paling efektif untuk membersihkan lahan gambut luas adalah dengan membakar, meski krisis pada 2014-2015 menunjukkan, bahwa cara ini bukan opsi berkelanjutan.

Bambang Setiadi, dari Dewan Penelitian Nasional menyatakan, praktik buruk pembakaran lahan gambut dimulai di Kalimantan pada 1990, dan diikuti wilayah lain Indonesia, seperti Riau dan Palembang.

Sebagai pakar lahan gambut, Bambang mengingatkan, tidak ada dasar ilmiah dalam pengeringan dan pembakaran lahan gambut, dan “ilmu buruk” era 90-an ini harus dihentikan.

“Mengeringkan lahan gambut adalah kesalahan utama, karena sekitar 95% gambut adalah air,” katanya dalam sebuah wawancara di sela dialog. “Kita bisa melihat dampaknya di tempat seperti Banjarmasin dan Pontianak, yang pada masa lalu tidak pernah banjir. Kini, saat hujan, kota itu terendam.”

Ia mengatakan bahwa bisnis yang masih menggunakan pembakaran sebagai metode pembersihan lahan harus diberikan sanksi dalam regulasi pemerintah.

“Bisnis seperti itu berkilah, ‘Tetapi saya bayar pajak, saya pekerjakan masyarakat’. Pertarungan ini berlanjut. Tapi saya katakan pada mereka, ‘Jika Anda menjalankan bisnis dengan wajar, kita tidak akan mengalami kebakaran seperti pada 2015’.”

Kehutanan tidak bisa dipandang sebagai masalah kehutanan semata

Iman Santoso, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)

Tiur Rumondang, Direktur Indonesia pada Meja Bundar Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO), menyatakan bahwa pembakaran terlarang bagi perusahaan yang ingin mematuhi standar dan kriteria mereka.

“Ini yang kita sebut ‘sangat tidakpatuh’. Jika perusahaan melakukan ini, kami memandangnya sebagai pelanggaran keras,” katanya.

Iman Santoso dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyatakan, tanggung jawab menghentikan kebakaran terletak pada semua pihak, dari perusahaan dan petani hingga seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalam dan terpengaruh keputusan kehutanan dan pemanfaatan lahan.

“Kehutanan tidak bisa dipandang sebagai masalah kehutanan semata. Seperti keamanan bukan tanggung jawab tunggal tentara, namun tanggung jawab seluruh negeri,” katanya.

“Ini mengapa APHI gembira bisa menerapkan pendekatan bentang alam untuk meningkatkan pemanfaatan lahan dalam bentang alam yang memiliki beragam fungsi – tidak hanya untuk bubur kertas dan kertas, tidak hanya untuk sawit, tetapi seluruh tanaman lokal yang telah ada. Sebagai konsekuensinya, kita perlu melibatkan berbagai aktor, disiplin dan beragam sektor dalam menemukan solusinya.”

  
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org