Setelah Perang Dunia kedua, tanaman pisang sangat meningkat dengan pesat di dataran rendah pada pesisir pantai di negara Equador. Sangat banyak orang yang berasal dari daerah dataran tinggi pindah dan bermukim ke daerah pesisir pantai untuk bekerja di perkebunan pisang. Pemerintah membangun sarana jalan untuk memudahkan para petani dalam mengirimkan produksi buah-buahannya. Tanaman pisang yang sedang tumbuh merusak struktur tanah dan mengakibatkan produksi yang rendah, sehingga para petani mencari lahan baru yang luas untuk tanaman mereka.
Gros Michel, varitas utama pada saat itu, adalah varitas yang tidak seberapa sulit, bahkan petani di daerah terpencil dapat mengirim ke lokasi pasar tanpa merusak kualitas buahnya.
Pasar Internasional terlihat nyaris tanpa batas, petani besar dan kecil seluruhnya bergabung. Hal ini mengakibatkan deforestasi secara besar-besaran.
Pada akhir tahun 60 dan 70-an, petani pisang dari Equador kehilangan pangsa pasar di daerah Amerika Tengah, di mana daerah tersebut merupakan daerah pertama yang menerapkan mekanisasi dan memakai varitas Cavendish yang produktivitasnya sangat tinggi. Lambat laun Equador menyesuaikan diri, tetapi kemudian negara tersebut tertinggal jauh di belakang dalam persaingan untuk menguasai pasaran pisang di dunia. Dalam hubungannya dengan pasar yang stagnan dan makin berkurang, mengakibatkan kebutuhan lahan yang lebih sempit untuk menanam pisang.
Varitas Cavendish lebih rapuh (mudah rusak) bila dibanding Varitas Gros Michel, sehingga produksi pisang dipusatkan di daerah pesisir pantai/ pelabuhan. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks dan membutuhkan investasi yang besar, mengakibatkan sebagian besar petani skala kecil keluar dari persaingan. Kecenderungan ini membuat tanaman pisang tumbuh lebih intensif dan mengurangi ancaman terhadap keberadaan hutan. Para pekerja di perkebunan pisang yang kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh sistem mekanisasi, melakukan penebangan hutan untuk ditanami. Tetapi secara keseluruhan, deforestasi di daerah pantai mengalami penurunan.
Menyusul robohnya Tembok Berlin di tahun 1989, penduduk Eropa Barat mulai mengkonsumsi lebih banyak pisang. Dengan terjadinya devaluasi mata uang mengakibatkan peningkatan ekspor pisang di Equador. Hingga saat ini, bagaimanapun juga, peningkatan tersebut tidak menimbulkan deforestasi. Investasi alat berat untuk drainase dan irigasi membuat para petani lebih sulit untuk memindahkan lokasi perkebunan dengan maksud untuk memecahkan masalah tanah mereka yang rusak, sehingga mereka tidak perlu pindah ke lahan baru.
Untuk memenuhi meningkatnya permintaan, para petani lebih memilih untuk meningkatkan hasil produksi atau memperluas produksi pada area perkebunan yang sudah ada dibanding dengan menebang hutan.
’Equador Goes Bananas : Incremental Technological Change and Forest Loss’ yang disusun oleh Sven Wunder dari CIFOR menjelaskan bagaimana perubahan industri pisang di Equador selama lebih dari setengah abad baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi penebangan hutan. Dalam kasus itu, perubahan tekhnologi berakhir secara menggembirakan, paling tidak untuk kehutanan. Tetapi banyak hutan yang punah tidak dapat dikembalikan lagi.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Jika anda bermaksud untuk mengirimkan komentar atau memerlukan salinan electronic dari makalah Wunder ini, anda dapat mengirimkan ke penullisnya pada mailto:s.wunder@cgiar.org.