Analisis

Elemen manusia dalam tata kelola mangrove

Kabar Hutan mengundang Stephen Brooks, Penasihat Tenurial dan Tata Kelola Sumber Daya Lahan USAID, untuk menulis artikel khusus menjelang Hari Lahan Basah Dunia (World Wetland Day), 2 Februari.
Bagikan
0
Indonesia is home to nearly a quarter of the world’s mangrove forests. Photo credit: CIFOR Sigit Deni Sasmito/CIFOR

Bacaan terkait

Sejalan dengan terus berlangsungnya ancaman perubahan iklim global terhadap masyarakat pesisir tropis, pemerintah makin terfokus untuk mempromosikan dan melakukan konservasi hutan mangrove agar fungsi perlindungan yang diberikannya  terjaga.

Mangrove – pohon dan semak yang tumbuh di muara wilayah tropis – merupakan salah satu ekosistem dunia paling produktif. Dibandingkan dengan sistem hutan lain, mangrove memiliki kapasitas sangat besar melakukan sekuestrasi dan menyimpan karbon.

Mangrove juga berfungsi sebagai penyangga fisik penting, melindungi wilayah pesisir dari badai dan bertindak sebagai “perisai alami.” Namun, di balik manfaat nyata ini, dunia sudah kehilangan 20 persen hutan mangrove sejak 1980.

Oleh karena itu, makin besar kebutuhan untuk memahami berbagai faktor – baik biofisik maupun sosial – menuju tata kelola mangrove berkelanjutan.

Hingga saat ini, diskusi mengenai konservasi dan rehabilitasi seputar hutan mangrove berlangsung terlalu teknis. Terutama terfokus hanya pada kondisi ekologis tempat mangrove dapat ditanami dan dipelihara. Yang kurang dari pembicaraan ini adalah analisis lebih bagaimana tata kelola lahan, pengaturan hak sumber daya, dan perencanaan pemanfaatan lahan – aspek sosial dari tantangan konservasi – yang mempengaruhi konservasi dan rehabilitasi mangrove.

Dibanding hutan daratan, keunikan posisi mangrove, di antara daratan dan laut menyebabkan ketidakjelasan lembaga yurisdiksi yang bertanggungjawab atas tata kelola (Hutan, Akuakultur, atau Kelautan) di banyak negara.

Padahal, sistem tata kelola lahan dan sumber daya lokal seringkali menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan upaya konservasi sumber daya. Penelitian dan pengalaman dari berbagai belahan dunia lain menunjukkan, ketika masyarakat diberdayakan dan diberi legitimasi hak dan otoritas mengelola hutan daratan mereka, masyarakat, pemerintah, dan ekologi hutan mendapat banyak keuntungan.

Namun, penelitian lebih dalam diperlukan, untuk mengungkap apakah hutan pesisir, dengan keunikan tersendiri dan ketidakjelasan status yurisdiksinya, akan mendapat manfaat yang serupa.

Pada 2016, Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) mendukung Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) untuk melakukan analisis kondisi tata kelola mangrove pada tingkat global, dan melalui studi kasus di Indonesia dan Tanzania.

PENTINGNYA YURISDIKSI

Temuan penelitian menunjukkan bahwa mangrove umumnya jatuh di bawah tata kelola pemerintah pusat. Di banyak negara, mangrove berada di bawah yurisdiksi beberapa kementerian dan lembaga negara, sehingga menciptakan tumpang tindih dan ketidakjelasan tanggungjawab yang pada akhirnya melemahkan perlindungan mangrove di lapangan.

Mangrove juga seringkali dilimpahkan pada sektor tata kelola hutan periperal, sehingga pada sebagian praktik dan kebijakannya kurang dirancang untuk menangani kebutuhan uniknya.

Biasanya, mangrove diklasifikasikan sebagai wilayah lindung, namun pejabat kehutanan yang bertanggungjawab dalam tata kelola mangrove seringkali kurang memiliki sumber daya dan kapasitas yang diperlukan untuk secara efektif memberikan perlindungan. Menjadi bagian dari tantangan ini, adalah masyarakat lokal yang menjadi pengguna aktif hutan mangrove, meski tidak memiliki hak yang jelas atau tercatat, dan tidak pula dibekali insentif pemanfaatan berkelanjutan atau perlindungan jangka panjang.

Berbagai negara mulai mengakui perlunya mengidentifikasi pendekatan tata kelola mangrove yang lebih baik. Di Tanzania, berkembang pengakuan atas kelemahan pendekatan atas-ke-bawah dalam perlindungan mangroves. Tata kelola hutan bersama dan skema rehabilitasi kelompok bersama masyarakat lokal makin berkembang sebagai bentuk upaya memperkuat proses tata kelola dipimpin masyarakat.

Di Indonesia, tokoh masyarakat lokal memimpin upaya konservasi mangrove, setelah mereka memahami kapasitas mangrove melindungi wilayah pesisir dan penghidupan mereka. Tegakan mangrove dapat  mengurangi dampak korban jiwa dan kerusakan fisik akibat tsunami. Pada tsunami Lautan Hindia 2004, wilayah pesisir yang terlindungi hutan mangrove lebih mampu bertahan menghadapi bencana.

Mengakui peran penting mangrove terbukti menjadi langkah maju. Filipina dan Thailand memiliki undang-undang dan kebijakan yang mendorong praktik dan tata kelola kehutanan masyarakat. Baru-baru ini, Vietnam menyetujui Undang-undang Hutan Pesisir yang menyerukan untuk dilakukan analisis mengenai bagaimana hutan pesisir dinilai, diklasifikasikan, dikelola dan dilindungi.  Sri Lanka memiliki rencana besar melindungi mangrove melalui undang-undang, pemasukan alternatif berkelanjutan dan pembibitan mangrove.

DAMPAK JENDER TERHADAP KONSERVASI

Analisis terbaru juga mengungkap titik temu antara konservasi dan jender. Hingga saat ini, masih sedikit penelitian dilakukan mengenai cara lelaki dan perempuan memanfaatkan, berpartisipasi, dan mempengaruhi sistem mangrove. Begitu pula mengenai cara sistem tata kelola sumber daya yang menghalangi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat pesisir.

Penelitian menemukan, meski perempuan sering ingin terlibat dalam pekerjaan memelihara bibit mangrove di pembibitan, menanam mangrove, atau mendirikan usaha terkait produk mangrove – seperti madu, sirup atau pewarna alami – mereka jarang mendapat tempat di meja pengambilan keputusan terkait tata kelola mangrove.

Ketika negera-negara mulai mencari cara menjaga aspek biofisik penting konservasi mangrove, peran masyarakat, hak dan kelembagaan tata kelola perlu mendapat perhatian serupa. Mangrove berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Melindungi dan menjaga mangrove, diperlukan saat kita membangun dan memperkuat porsi tepat inklusivitas sosial dan lembaga tata kelola partisipatif.

*Artikel ini diadaptasi dari bentuk aslinya yang dipublikasikan USAID di Medium.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Stephen Brooks di sbrooks@usaid.gov atau Steven Lawry di s.lawry@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org