PALANGKA RAYA, Indonesia (18 Agustus 2011)_Masyarakat umum akan tetap kurang peduli dan tertarik akan REDD+, sebuah mekanisme kompensasi global bagi negara-negara berkembang yang mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, selama program tersebut belum mencapai mereka di lapangan, kata beberapa jurnalis yang meliput masalah ini di propinsi percontohan Kalimantan Tengah.
“Kalimantan Tengah itu luasnya 1,5 kali pulau Jawa, terlalu besar sebagai daerah percontohan,” kata Satriadi, jurnalis dari Harian Tabengan di Palangka Raya, di sela-sela kunjungan melihat aktivitas demonstrasi REDD+ di kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai bagian dari pelatihan media yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) baru-baru ini. “Pemerintah seharusnya fokus di beberapa daerah saja – paling tidak orang-orang yang tinggal di sana akan tertarik,” katanya.
Pemerintah Indonesia bulan Desember lalu menunjuk Kalimantan Tengah sebagai propinsi percontohan REDD+ sebagai bagian dari perjanjian untuk mendapatkan US$1 milyar dari Norwegia jika berhasil membukukan pengurangan emisi yang dapat terverifikasi di sektor kehutanan. Meskipun beberapa proyek REDD+ bermunculan di propinsi ini, yang memiliki hutan dan lahan gambut yang kaya karbon ketiga terbesar sekaligus sebagai penghasil emisi kedua terbesar di antara semua propinsi di Indonesia, nyatanya belum ada kabupaten yang telah dipilih sebagai tempat utama pelaksanaan uji coba.
“Bupati Kapuas adalah satu-satunya yang gencar mempromosikan REDD,” kata M. Harris Sadikin, jurnalis yang mulai aktif mengikuti isu REDD sejak Kalimantan Tengah terpilih sebagai propinsi percontohan. Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP), proyek percontohan REDD+ di bawah kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia, beroperasi di kabupaten ini. Wilayah-wilayah lain kurang antusias karena merasa bukan wilayah target, kata Sadikin.
Bagi media, kesulitan lain dalam meliput REDD secara lebih luas di Kalimantan Tengah, yang mempunyai total wilayah sebesar 157.984 kilometer persegi, adalah kebanyakan proyek percontohan belum sampai tahap penerapan di lapangan. Ada lebih dari 40 proyek REDD di Indonesia, namun sebagian besar masih dalam tahap perencanaan. Kegiatan-kegiatan masih “terbatas di seremonial” dengan pejabat-pejabat tinggi dan pidato-pidato, kata Abdul Rokim, jurnalis Borneo News.
Proyek pengurangan emisi dari sektor kehutanan yang sudah mulai lepas landas juga sulit dicapai. Sebagai contoh, dibutuhkan kurang lebih 7 jam perjalanan dengan perahu kecil dan 4 jam perjalanan darat untuk mencapai daerah penanaman pohon yang dilakukan oleh penduduk desa Katunjung bersama dengan KFCP.
Ditambah lagi, REDD+ masih merupakan sebuah mekanisme yang terus berkembang dan berubah. Perwujudan konsep REDD+ sendiri masih belum disepakati oleh semua pihak. Para ahli tidak dapat menjelaskan dengan fasih bagaimana REDD akan bekerja serta ada kelemahan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, ujar Satriadi lebih lanjut. Supaya masyarakat bisa tertarik dan mendukung, pemerintah dan organisasi terkait perlu mempercepat proses-proses REDD untuk menunjukkan keuntungan apa yang bisa didapatkan masyarakat setempat dari mekanisme ini, kata Rokim.
Diterjemahkan oleh: Budhy Kristanty
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org