Berita

Penciptaan Alternatif Pekerjaan: Opsi Menarik Pendekatan REDD+ Di Masyarakat Lokal

Membuat opsi sumber penghasilan baru adalah cara jitu untuk memperkenalkan usaha mengurangi deforestasi.
Bagikan
0

Bacaan terkait

The Petak Puti community seeks alternative income by developing fishing ponds in Lake Hai (haik).

PALANGKA RAYA, Indonesia (17 Agustus 2011)_Praktik penciptaan alternatif mata pencaharian dapat menjadi opsi menarik pendekatan REDD+, yaitu mekanisme insentif untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, untuk mendorong khususnya masyarakat lokal supaya dapat menjaga hutan lebih baik lagi.

Kolam ikan air tawar di lahan rawa, yang disebut beje oleh masyarakat Dayak, dan pertanian karet adalah  contoh kegiatan ekonomi yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di Dusun Tumbang Mangkutub dan Desa Petak Puti di Kalimantan Tengah yang dikunjungi 20 jurnalis baru-baru ini dalam rangka pelatihan mengenai REDD+. Kedua daerah ini adalah bagian dari 7 desa dan 14 dusun areal kerja suatu proyek percontohan REDD+ yang dikelola oleh Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP), kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia.

”Masyarakat diharapkan akan secara sukarela menjaga hutan bila kegiatan REDD bisa secara nyata memberikan manfaat, termasuk meningkatkan penghasilan,” kata Erwinsyah, Koordinator KFCP. Kegiatan KFCP yang lain termasuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pengukuran karbon hutan dikaitkan dengan sistem nasional Indonesia, serta pengembangan institusi dan tata kelola bagi aktivitas REDD+.

Program seperti KFCP penting dalam proses pembelajaran REDD+, yang mulai dibicarakan di kancah negosiasi perubahan iklim global sejak COP 13 tahun 2007 di Bali, agar masuk akal penerapannya di lapangan. REDD+ menjadi salah satu elemen utama bagi Indonesia untuk mencapai komitmen pengurangan emisi sebesar 26% dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020. Sebagai catatan, lebih dari 60% emisi di Indonesia berasal dari deforestasi, degradasi hutan dan perubahan tata guna lahan.

“Membuat opsi sumber penghasilan baru adalah cara jitu untuk memperkenalkan usaha mengurangi deforestasi,” kata Levania Santoso, peneliti perubahan iklim dari CIFOR yang akrab dipanggil Vanny.  “Namun, perlu dilihat prioritas kebutuhan desa,” tambahnya. Masyarakat Desa Petak Puti, misalnya, lebih tertarik bertani karet, sementara masyarakat Tumbang Mangkutub memilih beje.

KFCP mendukung kegiatan masyarakat setempat untuk mengelola tanah mereka sendiri dalam meningkatkan pendapatan melalui program-program antara lain peningkatan kualitas produksi karet melalui Sekolah Lapangan (SL), pengembangan beje, dan penabatan, atau pembendungan aliran tatas (sungai kecil) untuk membasahi lahan gambut yang kering.

KFCP adalah salah satu kegiatan percontohan (Demonstration activity/DA) di bawah Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership/IAFCP, lembaga bilateral yang dibentuk untuk mengelola dana sebesar AUD$47 juta sampai tahun 2013 untuk kegiatan uji coba REDD+. Wilayah kerja KFCP seluas 120.000 hektar merupakan bagian dari sekitar 1,4 juta hektar eks-areal pengembangan lahan gambut (PLG) di Kabupaten Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan KFCP dilakukan sejak disepakatinya design document pada tahun 2009 sebagai tindak lanjut kesepakatan kepala pemerintahan kedua negara pada tahun 2008.

“Bagi KFCP, masyarakat merupakan mitra dalam melaksanakan kegiatan di lapangan,” ujar Erwinsyah. Pandangan ini diwujudkan dengan mendorong keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sejak awal. “Walaupun REDD adalah hal yang relatif baru bagi kita semua, kami ingin masyarakat dapat telibat langsung dan mengerti konsep REDD, karena masyarakatlah yang akan menjadi pelaku kegiatan REDD yang sesungguhnya,” tambahnya.

Proyek percontohan REDD+ seperti yang dilaksanakan oleh KFCP perlu dilakukan sebagai uji coba REDD di lapangan, yang memperhatikan kerangka peraturan, sosialisasi, prosedur maupun elemen-elemen pelaksanaan lainnya. Bagi Indonesia, hasil pembelajaran ini, khususnya di Kalimantan Tengah yang telah terpilih sebagai propinsi percontohan, dapat menjadi modal dalam diskusi dan negosiasi di forum bilateral maupun internasional, termasuk yang  berkaitan dengan kompensasi untuk usaha-usaha melestarikan hutan.

Minim Pemahaman

Pemahaman mengenai REDD+ penting bukan hanya di tingkat nasional dan internasional. Pentingnya kelestarian hutan untuk memperlambat terjadinya proses perubahan iklim perlu disosialisasikan sampai ke tingkat masyarakat, khususnya yang berdiam di sekitar kawasan hutan. Jalan menuju pemahaman seperti ini masih panjang.

“Pokoknya… REDD itu supaya bumi selamat dari akhirat,” kata Sudiyat, penduduk dusun Tumbang Mangkutub. Surianto, sekretaris dusun Tumbang Mangkutub dan Yanto, ketua tim pelaksana desa Petak Puti juga memahami REDD+ hanya sebatas pembuangan gas beracun, tanpa mampu menyebutkan peran hutan yang sesungguhnya dalam pengurangan emisi.

Sangat disayangkan, sebagian masyarakat lokal selaku aktor penting di daerah percontohan masih belum dapat membayangkan praktik REDD+ yang sesungguhnya, yaitu menjaga kelestarian hutan dengan tidak menebang kayu. Padahal, kegiatan proyek percontohan ini akan berakhir di tahun 2013.

“REDD adalah konsep yang kompleks dan masih terus bergerak,” kata Vanny. “Sosialisasi REDD memang akan membutuhkan waktu yang lama, karena untuk memahaminya secara mendalam, masyarakat perlu mengerti juga emisi dan perubahan iklim.”

REDD+ memang masih sulit untuk dijelaskan karena masih relatif baru and mekanismenya masih terus dikembangkan, baik di ranah kebijakan maupun implementasi teknis di lapangan. Di Indonesia saja, misalnya, ada lebih dari 40 kegiatan terkait REDD+, dengan metodologi dan pendekatan yang berbeda-beda. Pendekatan KFCP mengutamakan adanya proses pemahaman dikaitkan dengan budaya dan program pembangunan pemerintah setempat. Dengan melihat manfaat langsung yang diterima, diharapkan masyarakat dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan dan dengan dukungan kebijakan pemerintah akan berbalik dari praktik ekonomi yang merusak lingkungan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org