BOGOR, Indonesia—Ketika ahli biologi melihat hutan, mereka mungkin memikirkan jumlah spesies yang bisa dilestarikan.
Ketika ahli iklim melihat hutan, mereka mungkin memikirkan seberapa banyak karbon yang bisa disimpan.
Sayangnya, jarang sekali, kedua sudut pandang itu bertemu dalam sebuah konteks kebijakan.
Tetapi penelitian terbaru yang digelar di hutan Kom-Mengame di selatan Kamerun menunjukkan bahwa dua disiplin ilmu tersebut seharusnya bersatu di taman nasional, cagar alam dan wilayah terlindung lain, ketika mereka akan menemukan keragaman hayati dan penyimpanan karbon di satu tempat.
Dalam skala kompleks, makin tinggi jumlah spesies pohon, makin tinggi kemampuan lingkungan menyimpan karbon
“Wilayah konservasi di Afrika menyimpan 49 gigatons karbon, mewakili 13,7 persen dari total kontinen,” tulis para peneliti penilaian karbon Kom-Mengame. “Jelas bahwa wilayah terlindung tersebut memainkan peranan peting dalam mitigasi perubahan iklim dengan sejumlah besar karbon yang mereka simpan, juga terkait dengan manfaat konservasi keragaman hayati.”
Untuk menggambarkan pokok pikiran mereka, ilmuwan mengambil sampel lebih dari 1.350 petak hutan, rawa dan padang di kompleks Kom-Mengame, yang merupakan gabungan cagar gorila dan taman nasional serta wilayah budi daya masyarakat lokal.
Mereka mengukur pohon dan menghitung jumlah karbon tersimpan dalam batang dan dahan. “
“Dalam skala kompleks, makin tinggi jumlah spesies pohon, makin tinggi kemampuan lingkungan menyimpan karbon,” kata Evariste Fongnzossie, peneliti Universitas Douala dan penulis utama laporan. Secara keseluruhan, hutan terlindung dan sekelilingnya ditemukan menyimpan hampir dua kali estimasi jumlah karbon rata-rata Afrika.
“Sering dikatakan bahwa tata kelola wilayah terlindung bisa menjadi bagian REDD+”— usulan skema internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi — kata Denis Sonwa, ilmuwan senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan salah seorang penulis perhitungan karbon Kom-Mengame. “Kami ingin menunjukkan catatan terkait realitas wilayah terlindung yang ada.”
‘WILAYAH TERLINDUNG MENGHADAPI ANCAMAN NYATA’
Taman dan cagar secara historis diciptakan untuk konservasi keragaman hayati, jauh sebelum emisi karbon menjadi masalah internasional. Debat muncul apakah mereka seharusnya mendukung upaya memerangi perubahan iklim: Apa yang kita tahu mengenai karbon yang mereka simpan? Apakah mereka tidak terlindung dari deforestasi? Akankah terjadi perbedaan untuk memberi mereka sumber daya tambahan?
“Keraguan mengenai kelebihan mereka terabaikan dalam ketiadaan data simpanan karbon wilayah terlindung,” kata Fongnzossie. “Penelitian ini menunjukkan bahwa keraguan seperti itu tidak terjustifikasi, dan wilayah terlindung menghadapi masalah nyata degradasi.”
Dengan pertumbuhan populasi dan makin intens-nya tekanan untuk lahan pertanian di sekitar wilayah terlindung, penilaian Kom-Mengame memberikan perbandingan berguna performa simpanan karbon dalam beragam jenis pemanfaatan lahan, dengan tanpa kejutan lahan pertanian mencapai skor terendah.
Tetapi hal ini menunjukkan jalan untuk membantu masyarakat petani dan cagar alam berdampingan di lanskap sama: perkebunan cokelat tumbuh di bawah pohon lebih tinggi, walaupun tidak se-efisien karbon di hutan alam, mencapai simpanan karbon lebih baik daripada rata-rata Afrika.
“Struktur agroforestri cokelat dekat dengan jasa hutan dan dapat menjadi penyangga tata kelola wilayah terlindung,” kata Sonwa.
“Kami memberi gagasan transfer karbon terkait beragam perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat membantu pengelola wilayah terlindung menduga bagaiman simpanan karbon berkembang,” tambahnya.
‘KARBON BISA MEMBERI NILAI TAMBAH’
Dengan pemberian informasi tersebut, lembaga pengelola taman nasional dan cagar alam bisa menjustifikasi bahwa kerja mereka berkontribusi terhadap sekuestrasi karbon, sementara simpanan karbon bisa menjadi satu kriteria ketika menetapkan batas wilayah terlindung baru.
Mengingat hutan Kom-Mengame ditebangi hingga 2002, penelitian juga memberi pencerahan mengenai kemajuan yang dicapai dalam penyimpanan karbon seraya melindungi wilayah yang sebelumnya terdegradasi.
“Karbon bisa memberi nilai tambah pada aktivitas konservasi keragaman hayati,” kata Sonwa—secara potensial memungkinkan wilayah terlindung mengakses dana yang dialokasikan untuk mitigasi perubahan iklim.
Negosiasi internasional telah dimulai untuk mengintegrasikan kedua aspek tersebut, dengan diskusi mengenai REDD+ dan target Aichi yang ditetapkan oleh Konvensi Keragaman Hayati saling menyebutkan keduanya.
Di Kamerun, ketika Kementerian Kehutanan dipisahkan dari Kementerian Lingkungan dalam tanggungjawab konservasi keragaman hayati, pendekatan terintegrasi bisa bermanfaat.
Tetapi ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Sementara penilaian Kom-Mengame memotret penyimpanan karbon di wilayah terlindung, para penulis mengakui bahwa skema institusi pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV) berkesinambungan akan menjadi langkah pertama menuju pengakuan atas wilayah tersebut sebagai serapan karbon yang serius.
Untuk informasi lebih mengenai penelitian ini, silahkan hubungi Denis Sonwa di d.sonwa@cgiar.org.
Penelitian ini didanai oleh Jane Goodall Institute/Mengame Gorilla Reserve Project dan Disney Wildlife Conservation Fund.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Sustainable development in the Congo Basin: Moving beyond the biodiversity agenda
Site selection for forest carbon projects
How do forests recover after logging? New network seeks to find out
On forests’ role in climate, New York Times op-ed gets it wrong
In Zambia, media branch out to cover forests, climate change