Analisis

‘Perlu seluruh kampung’ untuk menghentikan perubahan iklim?

Pemerintah seringkali mengabaikan atau menilai rendah kebutuhan memperkuat masyarakat hutan dalam mengurangi emisi akibat deforestasi.
Bagikan
0
Abang Muhammad Walidad, masyarakat adat Selimbau, Kalimantan Barat. Anggota masyarakat hutan sepertinya dapat membantu menekan emisi karbon, seperti ditunjukkan begitu banyak penelitian – jika mereka diberi hak legal terhadap hutan. Photo @CIFOR

Bacaan terkait

Catatan Editor: Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di The Jakarta Globe. Penulis adalah Dekan Sekolah Pemerintahan Ateneo di Manila; pemimpin perundingan Filipina soal REDD+; dan anggota Majelis Wali Amanat Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Di bulan Desember, para perunding iklim akan berkumpul di Lima, Peru, dalam Konferensi Para Pihak (COP) ke 20 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim – sebuah langkah krusial dalam proses yang diharapkan berakhir dengan kesepakatan perubahan iklim baru pada COP 2015 di Paris.

Lanskap hutan akan menjadi bagian agenda negosiasi – dan sebuah komponen esensial kesepakatan harus berupa pengakuan pendekatan kritis terhadap mitigasi perubahan iklim: pengakuan atas hak masyarakat hutan.

Pemerintah yang telah mengakui legalitas hak masyarakat hutan telah menyaksikan bagaimana masyarakat melawan tekanan deforestasi dan menjaga kesehatan hutan.

Sebuah laporan baru dari Institut Sumberdaya Dunia (WRI) dan Insiatif Hak dan Sumberdaya (RRI), “Menjamin Hak, Memerangi Perubahan Iklim: Bagaimana Memperkuat Hak Masyarakat Hutan Memitigasi Perubahan Iklim,” menemukan bukti melimpah bahwa memperkuat masyarakat hutan dapat mengurangi emisi karbondioksida (CO2) akibat deforestasi dan meningkatkan kesehatan hutan.

Peran deforestasi dalam perubahan iklim global sudah diketahui. Dunia kehilangan seluas 50 lapangan bola setara hutan setiap menit, menyebabkan 11 persen emisi gas rumah kaca tahunan. Namun, pemerintah seringkali mengabaikan atau menilai rendah kebutuhan memperkuat masyarakat hutan dalam mengurangi emisi akibat deforestasi.

Masyarakat lokal atau adat memiliki hak legal atau resmi terhadap 513 juta hektar hutan, yang menyimpan sekitar 37 miliar ton karbon. Jika pemerintah mengakui lebih banyak hak untuk masyarakat hutan dan memberi lebih untuk melindungi hak tersebut, jumlah itu bisa meningkat secara signifikan.

Hutan di wilayah Asia-Pasifik sangat penting – menurut laporan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), mereka menutupi hampir 22 persen tanah dan mencakup 19 persen hutan seluruh dunia.

Banyak masyarakat kurang atau tidak memiliki hak legal terhadap hutannya karena pemerintah memegang kepemilikan legal dan otoritas pengelolaan. Di Indonesia, sedikitnya 41 juta hektar hutan masyarakat adat secara legal dimiliki dan dikelola pemerintah; masyarakat yang menyebut hutan sebagai rumah tidak memiliki hak legal hingga Mei 2013, ketika Mahkamah Konstitusi Indonesia mengatur bahwa masyarakat asli memiliki hak mengelola hutan dimana mereka tinggal.

Kontrol pemerintah dapat berupa memberi hak pada operator komersial untuk menebang hutan untuk kayu, sawit, produksi bubur kertas, atau tambang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Liberia menggunakan klaim legal pada sebagian besar tanah dan hutan negara untuk kepentingan komersial sekitar 50 persen lahan hutan untuk penebangan komersial, sawit dan tambang. Padahal masyarakat bergantung hutan untuk penghidupan dan memiliki hubungan budaya dan historis terhadap hutan.

Mereformasi sistem hukum dengan memperkuat hak masyarakat hutan akan melindungi hutan sebagai serapan karbon daripada mengubahnya menjadi sumber emisi. Pemerintah yang telah secara legal mengakui hak masyarakat hutan – dan melindungi hak tersebut melalui pemetaan dan pendaftaran resmi, mencegah pemukim ilegal dan penebang liar, serta menyediakan bantuan teknis – melihat masyarakat melawan tekanan deforestasi dan menjaga kesehatan hutan.

KISAH SUKSES

Di Amazon Bolivia dan Brasil, masyarakat menikmati hak legal kuat dan dukungan pemerintah. Hasilnya? Penurunan dramatis deforestasi hutan masyarakat. Di Amazon Bolivia, deforestasi masyarakat asli hutan enam kali lebih rendah daripada deforestasi bagian lain Amazon.

Di Brasil, deforestasi masyarakat asli hutan 11 kali lebih rendah daripada hutan Amazon di luar wilayah adat. Memang, masyarakat asli hutan Brasil lebih efektif daripada jenis lan hak hutan saat melawan deforestasi akibat pemukim, penebang dan lainnya.

Kisah serupa juga terjadi di Amerika Latin di tempat di mana pengakuan legal dan perlindungan  pemerintah terhadap hak masyarakat hutan memungkinkan masyarakat dengan lestari mengelola hutan mereka dan melawan tekanan deforestasi.

Di Guatemala, pengakuan legal hutan masyarakat di Kawasan Lindung Biosphere Peten Maya, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO, mengalami deforestasi 20 kali lebih rendah dibanding apa yang disebut wilayah terlindung kawasan dimana penebangan pohon dilarang. Seperti yang banyak terjadi, perlindungan tegas semu oleh pemerintah menghasilkan akses terbuka de fakto dari pencurian dan penebangan ilegal. Kebalikannya, dengan dukungan pemerintah, masyarakat di kawasan lindung mahir menjaga kesehatan hutannya.

Di Meksiko, sekitar 8,1 juta hektar hutan berada di bawah tata kelola masyarakat hutan. Dalam satu wilayah Yucatan, hutan dikelola masyarakat menunjukkan kecepatan deforestasi secara praktis nol (0,002 persen), kecepatan 350 kali lebih rendah dari wilayah tetangga, kawasan dilindungi pemerintah.

Masyarakat secara sebagian mengatasi aksi pemerintah yang melemahkan hak hutan mereka. Di Kawasan Lindung Biosfer Rio Platano Honduras, masyarakat membentuk Persatuan Koperasi Agroforestri untuk saling mendukung dari kurangnya perlindungan dan dukungan pemerintah. Bertahun-tahun pemerintah gagal untuk tepat waktu dalam menyetujui rencana tata kelola hutan, menyediakan dukungan finansial, atau mengusir pemukim ilegal. Hasil dari persatuan ini, masyarakat mengalami deforestasi lebih dari 140 kali lebih rendah dibanding area lain kawasan lindung.

Di kawasan lindung biosfer Bosawa Nikaragua, pemerintah mengeluarkan sedikitnya enam sertifikat pada masyarakat adat, yang bergerak di bawah rencana pemanfaatan berkelanjutan tidak resmi. Walaupun pemerintah, sebagian besar gagal melindungi tanah adat di Bosawa dari perambahan pemukim. Masyarakat menjawab: Dengan mengamankan perbatasan sendiri, deforestasi 14 kali lebih rendah dibanding bagian lain kawasan lindung.

TANTANGAN TERSISA

Di tempat lain-lain, situasi tidak menggembirakan.

Masyarakat di negara yang pemerintahnya aktif menghalangi hak hutan menyerah pada tekanan deforestasi. Beberapa masyarakat asli hutan Peru menderita deforestasi terburuk di Amazon, kehilangan 51 persen hutan mereka – sebagian besar untuk konsesi minyak dan gas, yang mencakup 75 persen Amazon Peru. (Sebagai bagian dari Madre de Dios Peru, seluruh 87 persen hutan masyarakat adat tertutupi konsesi tambang, minyak, dan gas serta tumpang tindih penggunaan lahan lain.)

Serupa, di Ekuador, lahan adat di luar wilayah lindung pemerintah kehilangan 6,5 persen hutan mereka antara 2000 dan 2008, sebagian akibat konsesi minyak dan tambang pada lahan adat. Konsesi juga membuka jalan dan pemukim.

Di luar Amerika Latin, di Papua Nugini, hampir seluruh hutan secara legal dimiliki masyarakat (97 persen), tetapi ini lebih berupa hak di atas kertas karena pemerintah secara rutin mengalokasikan hutan masyarakat adat untuk perkebunan sawit. Pemerintah telah mengeluarkan izin pada perusahaan swasta terhadap 4 juta hektar – wilayah seluas Swiss. Jika penebangan dan peralihan untuk produksi sawit sesuai rencana, deforestasi akan mengeluarkan hampir 3 miliar ton CO2.

Untuk menangani hak masyarakat hutan tidak sekadar masalah hutan atau lahan tetapi masalah perubahan iklim, pemerintah, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lain dapat:

  • Secara legal mengakui hak hutan masyarakat asli dan masyarakat lokal;
  • Melindungi hak legal hutan masyarakat asli dan lokal dengan, misalnya, memetakan batas hutan masyarakat dan mengeluarkan penebang ilegal;
  • Mendukung masyarakat hutan dengan bantuan teknis dan pelatihan;
  • Melibatkan masyarakat hutan dalam pengambilan keputusan mengenai investasi yang mempengaruhi hutan mereka; dan
  • Memberi kompensasi masyarakat asli dan lokal atas keuntungan iklim dari tata kelola hutan berkelanjutan.

Telah dinyatakan bahwa “perlu seluruh kampung untuk membesarkan anak.” Tetapi apakah perlu sekampung untuk menghentikan perubahan iklim? Dapatkan kampung global menghentikan perubahan iklim dengan mengakui dan melindungi hak hutan kampung lokal? Jawabannya adalah ya. Seraya kita menuju Lima pada Desember, kita perlu tetap mengingat ini.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org