Berita

Ketika hutan musnah, orang utan mencoba bertahan di rawa gambut yang semakin berkurang

Tinggal 6.600 orangutan Sumatra dan hingga 69,000 ekor orangutan Kalimantan tersisa. Masih ada yang bisa dilakukan mencegah kepunahan.
Bagikan
0
Pedro- seekor orang utan sendirian menunggu datangnya makanan di ujung sungai Sekonyer di Kalimantan Tengah. Daniel Murdiyarso/CIFOR

Bacaan terkait

Sepotong kecil hutan, berukuran dua hektar, terlihat menyendiri di bentangan perkebunan kelapa sawit yang mengelilinginya. Tetapi dari jarak dekat, polisi hutan menemukan empat sarang orang utan baru di atas pepohonan – bukti bahwa kera besar yang sangat terancam punah ini masih hidup di rawa gambut Rawa Tripa di provinsi Aceh.

Hutan terfragmentasi di sini.

Artinya, bila ada ancaman di depan mata, seperti kebakaran, hewan-hewan tersebut tidak memiliki tempat untuk melarikan diri, ujar Indrianto, yang tinggal dekat Tripa dan bekerja untuk menyelamatkan orang utan di sana.

Orang utan harus melintasi kilometer demi kilometer perkebunan terbuka — di mana hewan-hewan tersebut menghadapi risiko ditembak manusia, yang menganggap mereka hama — untuk mencapai hutan yang lebih luas.

Orang utan, satu-satunya kera besar di Asia, hanya dapat dijumpai di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Diperkirakan hanya tinggal 6,600 Pongo abelii (jenis orang utan Sumatra dengan bulu bersemu emas) yang tersisa. Spesies orang utan Kalimantan, atau Pongo pygmaeus, juga semakin berkurang, dengan hanya antara 45,000 sampai 69,000 ekor yang masih hidup.

Salah satu ancaman terbesar yang dihadapi orang utan adalah konversi rawa gambut dengan cara membakarnya, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini di Tripa, ujar Sri Suci Utami Atmoko, seorang ahli primata dari Universitas Nasional Indonesia.

Kera besar ini memilih ekosistem berair tersebut karena tempat ini menyediakan lebih banyak makanan daripada hutan di atas tanah mineral. Ketika terjadi kebakaran, biasanya orang utan jantan yang lebih besar dan lebih kuat daripada betina yang bertahan. Orang utan betina, yang secara naluriah akan bertahan dekat rumahnya, akan terbakar, ujar Atmoko.

Tingkat ketahanan spesies ini sangat bergantung pada kaum betina, karena orang utan hanya melahirkan rata-rata lima kali sepanjang hidup mereka.

“Konversi hutan dan kebakaran hanya akan mempercepat kepunahan orang utan,” ujar Atmoko.

Pencinta lingkungan hidup dan para ahli telah meminta para negosiator untuk memastikan bahwa konservasi keanekaragaman hayati, termasuk orang utan yang telah menjadi ikon lingkungan, disyaratkan sebagai manfaat sampingan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD+). Skema karbon hutan global tersebut bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang menjaga pepohonan mereka tetap tegak.

Sebuah penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) yang diterbitkan pada tahun 2009 menemukan bahwa dampak konservasi dari pembayaran untuk pengurangan emisi dari deforestasi akan lebih efektif bila pembayaran tersebut diperluas ke semua hutan tropis yang kaya karbon, termasuk rawa gambut – bukan hanya daerah yang dilindungi.

Berkurangnya tutupan hutan berarti semakin sedikit makanan untuk orang utan, yang memaksa mereka merambah keluar untuk memakan ujung-ujung daun kelapa sawit – di  mana, sekali lagi, mereka berisiko untuk bertemu manusia.

Ancaman besar lainnya adalah pasar untuk bayi orang utan sebagai binatang peliharaan di Indonesia dan Malaysia. Lucu dan enak untuk dipangku ketika masih kecil, seekor bayi orang utan dihargai sekitar 2 juta rupiah (210 dolar AS), ujar Indrianto, yang melakukan survei di Aceh.

Seekor induk orang utan akan melindungi bayinya mati-matian, dan para pemburu liar harus memukul atau menembak induk tersebut sampai mati untuk mengambil bayinya, ujar Linda Yuliani, seorang ilmuwan di CIFOR yang sedang meneliti orang utan Kalimantan di sekitar Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Para ilmuwan memperkirakan bahwa dua sampai delapan ekor orang utan dibunuh untuk satu bayi orang utan yang dijual.

Atmoko menyerukan agar pemerintah dan pengusaha bekerja sama untuk meningkatkan kemungkinan bertahannya orang utan. Satu pilihan adalah dengan menyisihkan suatu area di konsesi hutan untuk tidak ditebang dan mengombinasikan daerah-daerah ini untuk menciptakan hutan yang lebih luas untuk primata ini.

Masih ada banyak hal yang harus dipelajari mengenai orang utan, ujar Atmoko.

“Kami ingin tahu bagaimana mereka menjelajah hutan, beradaptasi dengan usia lanjut, apakah mereka dapat menghadapi gangguan hutan dan bagaimana caranya.”

“Kita tidak dapat mengetahui hal-hal ini jika orang utan punah, ” katanya.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Kebakaran hutan & lahan Lahan Gambut

Lebih lanjut Deforestasi or Kebakaran hutan & lahan or Lahan Gambut

Lihat semua