Analisis

Mengapa upaya terisolasi saat sekuritisasi melalui DA-REDD+ tidak memadai

Mayoritas penyebab ketidakamanan berasal dari luar ketimbang interaksi dari dalam atau di antara masyarakat sendiri.
Bagikan
0
Keamanan kepemilikan lahan merupakan esensi REDD+, sebuah inisiatif berbasis kinerja global yang bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi dengan menyediakan insentif =dan penghargaan kepada pengguna sumber daya dan manajer, dengan tujuan yang lebih luas untuk mengatasi perubahan iklim dalam jangka panjang. Mokhamad Edliadi/CIFOR

Bacaan terkait

Bagaimana kondisi kepemilikan lahan hutan di lokasi proyek REDD+ menurut penduduk setempat? Upaya apa yang telah dilakukan para pendukung REDD+ dalam kaitannya dengan isu kepemilikan lahan? Apa saja faktor dalam negeri yang memengaruhi keamanan kepemilikan lahan di lokasi proyek dan bagaimana para pendukung REDD+ menanganinya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab oleh tim peneliti CIFOR dan mitra mereka yang berada di bawah naungan Studi Komparatif Global mengenai REDD+.

Mereka bekerja di lima negara – Brasil, Kamerun, Indonesia, Tanzania, Vietnam – yang masing-masing memiliki variasi dalam beberapa dimensi, termasuk jenis dan tingkat tutupan hutan, tingkat degradasi hutan, tingkat kontrol masyarakat/negara/swasta terhadap sumber daya hutan, minat kuat donor dan kehadiran CIFOR di negara tersebut.

Jaminan kepemilikan lahan merupakan prasyarat untuk pemanfaatan dan pengelolaan berkelanjutan hutan dan pohon (yang membutuhkan investasi jangka panjang) dan merupakan unsur penting dalam mengurangi kemiskinan dan memberikan penghidupan berkelanjutan. Dengan demikian, jaminan kepemilikan lahan menjadi jantung REDD+, sebuah inisiatif global berbasis kinerja yang yang bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi dengan menyediakan insentif dan penghargaan bagi pengguna dan pengelola sumber daya untuk mengatasi perubahan iklim dalam jangka panjang.

Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sunderlin et al. dalam Pembangunan Dunia menunjukkan bahwa meskipun dengan konsensus luas mengenai urgensi menjamin kepemilikan lahan dan hak-hak masyarakat, banyak organisasi (pemerintah maupun swasta) hanya beretorika dan sedikit bertindak. Dalam arena REDD + pada khususnya, para pendukung menyadari pentingnya menjamin kepemilikan lahan lokal, tetapi mereka juga dihadapkan pada warisan yang turun-temurun atas lemahnya status kepemilikan lahan setempat; pilihan untuk mendorong percepatan jaminan kepemilikan lahan sangat sedikit dan belum teruji.

Kajian ini memberikan dokumentasi koheren dan sistematis tentang bagaimana pendukung projek REDD+ melakukan pendekatan terhadap masalah kepemilikan lahan di lokasi projek mereka, kendala yang mereka hadapi, upaya mereka mengatasi rintangan, dan tindakan yang diperlukan untuk memperkuat status kepemilikan lahan, wewenang dan akses bagi inisiatif yang dilakukan REDD+.

Meskipun kegiatan dilakukan di tingkat lokal, para penulis peka terhadap penggabungannya dalam sistem nasional dan memberikan kewenangan serta akses istimewa bagi desa serta masyarakat yang berdekatan dan bergantung pada hutan, yang secara tegas digolongkan sebagai pemegang hak primer.

Atasi masalah kepemilikan sebelum REDD+ dimulai

Para penulis menyarankan agar masalah jaminan kepemilikan lahan diatasi sebelum REDD+ dimulai. Mengelaborasi lebih jauh, mereka menyarankan agar pendukung REDD+ mengambil tiga kelompok langkah untuk memberikan kepastian mengenai kewenangan lokal yang diperlukan untuk menjamin bahwa prakarsa-prakarsa yang dilakukan REDD+ mencapai tujuan jangka panjangnya.

Kelompok langkah pertama berkaitan langsung dengan penjaminan kepemilikan lahan termasuk mengidentifikasi pemegang kewenangan sah; memetakan tanggung jawab dan mencocokkannya dengan kewenangan dan jaminan hukum; mencegah penduduk agar tidak terjerat pada sewa yang diberikan oleh pelaku elite; dan, melindungi kewenangan dan kehidupan yang ada. Kelompok langkah kedua berhubungan dengan peningkatan partisipasi, representasi, kesadaran, berbagi informasi dan pembentukan konsensus yang berkenaan dengan keterlibatan REDD+. Langkah ketiga berkenaan dengan tata kelola lintas-tingkat, koordinasi dan kerja sama, terutama dengan pemerintah yang diamanati untuk mengimplementasikan reformasi agraria, pencatatan, dan penegakkan hukum.

Para penulis menemukan bahwa lebih dari separuh dari 71 desa mengindikasikan penguasaan atas sebagian tanah mereka tidak aman. Ketidakamanan kepemilikan sebagian besar merupakan hasil kompetisi dan konflik, kurangnya dokumentasi formal, kemudahan proses pencabutan kewenangan, dan pembatasan penggunaan lahan oleh pemerintah dan perusahaan swasta .

Menangani Penyebab Ketidakamanan Kepemilikan Lahan

Mayoritas penyebab ketidakamanan berasal dari luar ketimbang interaksi dari dalam atau di antara masyarakat sendiri. Kepatuhan masyarakat terhadap aturan internal sebagian besar berada pada tingkatan moderat sampai tinggi, dan penduduk desa sebagian besar berhasil mengabaikan peruntukan dan penggunaan yang tidak sah.

Temuan lintas negara ini tentunya berbeda dengan temuan ketika masing-masing negara dianalisis secara terpisah. Menariknya, tingkat ketidakamanan tertinggi mengenai kepemilikan lahan serta kesulitan dalam mengabaikan pengguna yang tidak sah ditemukan di Brasil dan Indonesia – negara dengan tutupan hutan tertinggi di antara negara-negara yang diteliti.

Dari perspektif pendukung projek, konflik dan ketidakjelasan hukum adalah penyebab utama ketidakamanan kepemilikan lahan di lokasi proyek.

Para pendukung menggunakan empat pendekatan utama pada penjaminan kepemilikan lahan yang meliputi: klarifikasi batas/demarkasi , reservasi hutan, dokumentasi dan formalisasi (Brasil, Tanzania, Vietnam), perencanaan penggunaan lahan yang dinegosiasikan (Indonesia), dan perpanjangan durasi penguasaan oleh masyarakat (Tanzania).

Hal tersebut bisa dibilang salah satu temuan paling signifikan penelitian ini. Ini menunjukkan diperlukan pendekatan beragam yang kiranya sejalan dengan berbagai penyebab ketidakamanan di lokasi proyek tertentu.

Yang terpenting , para pendukung proyek melihat interaksi internal yang efektif di antara warga desa dan strategi yang mereka adopsi untuk mengelola hutan bersama tersebut sebagai kunci dari keseluruhan jaminan kepemilikan lahan. Ini juga signifikan dan sesuai dengan perkiraan penulis lainnya.

Selain itu, meskipun inisiatif pendidikan dan informasi komunitas pemrakarsa sedang berlangsung atau telah selesai di sekitar setengah dari total 71 desa, para pendukung menghadapi dilema besar. Biaya transaksi yang tinggi untuk memulai dan mengelola program tersebut tidak sesuai dengan siklus proyek 3-5 tahun, melampaui kesulitan meningkatkan harapan lokal karena ketidakpastian global akibat konsep jangka panjang REDD+.

Faktor nasional juga pengaruhi kepemilikan

Selain operasi proyek, pendukung proyek menghadapi sejumlah faktor nasional yang memengaruhi jaminan kepemilikan lahan di lokasi proyek. Sementara pengakuan dan dukungan kuat pemerintah atas kewenangan serta akses untuk masyarakat dan petani kecil (di semua negara kecuali Indonesia), dukungan politik yang kuat untuk program iklim seperti REDD+ (di Indonesia misalnya) merupakan syarat penting yang menjadi pendorong, akan tetapi, semua itu dimentahkan oleh implementasi yang tidak memadai, kerumitan dan tumpang tindih hak, akses dan manfaat.

Selain itu, yang mungkin lebih mengganggu dan layak mendapat analisis lebih lanjut, para perndukung proyek (kecuali mereka yang berada di Brasil ) adalah tidak mampu berkoordinasi dengan strategi dan aksi nasional (sering kali karena pedoman dari pemerintah sama sekali tidak ada). Memang, penulis menemukan kesan bahwa upaya pendukung REDD+ untuk mengklarifikasi status kepemilikan lahan merupakan langkah yang kecil dan terbatas serta terasa tidak memiliki dampak yang lebih bermakna atau berkelanjutan.

Mengekspos pijakan penjaminan kepemilikan lahan

Para penulis membuat rekomendasi standar mengenai penjaminan kepemilikan lahan dalam projek REDD+, yang konsisten dengan kerangka besar literatur dalam bidang pertanahan selama dua dekade terakhir, yaitu: meningkatkan partisipasi dan konsultasi, mengintegrasikan inisiatif lokal dengan proses-proses dan institusi pertanahan nasional, menegakkan hukum kepemilikan, memperjelas /merasionalisasi kebijakan lintas sektoral dan sebagainya.

Temuan terbaru penelitian ini jauh lebih dalam dari yang direkomendasikan. Pertama, ia menyediakan analisis sistematis dan komparatif lintas negara, yang tentunya langka. Kedua, memperlihatkan kurangnya projek penjaminan kepemilikan lahan dengan panduan yang jelas dan tidak ambigu: sedikit nilai dapat dicapai dalam konteks siklus projek yang terlepas dari kerja sama dengan orang-orang pemerintahan yang tidak hanya mengendalikan sebagian besar kawasan hutan di banyak negara, tetapi juga mungkin satu-satunya pemain yang konsisten di area dan wilayah yang luas, dari waktu ke waktu, serta dalam dan lintas negara.

Ketiga, penelitian menunjukkan bahwa meskipun jaminan kepemilikan membutuhkan paket atau portofolio intervensi dan jasa, resolusi konflik dan pembentukan sistem ajudikasi/arbitrase fungsional yang relevan, mudah diakses, dan tepat waktu merupakan prioritas utama.

Keempat, penelitian ini menimbulkan pertanyaan tentang niat politik: niat politik yang kuat (misalnya untuk proyek-proyek REDD+ di Indonesia) tidak selalu sejalan dengan kemajuan jaminan kepemilikan lahan lokal. Sebaliknya di negara-negara yang niat politiknya tidak diuraikan dengan jelas (seperti Brasil) ada beberapa kemajuan.

Apa yang membuat perbedaan ini? Kapan niat politik memberi pengaruh, pada titik pelaksanaan seperti apa dan pada tingkat pemerintah mana? Apakah itu memiliki pengaruh untuk menjembatani jarak antara retorika dan implementasi, antara intervensi di tingkat proyek dan keharusan di tingkat nasional?

Esther Mwangi adalah seorang ilmuwan senior pada portofolio Hutan dan Pemerintahan CIFOR. Anda dapat menghubunginya di e.mwangi@cgiar.org

Penelitian CIFOR tentang hutan dan jender: www.cifor.org/gender 
Penelitian CIFOR tentang kepemilikan lahan : www.cifor.org/forest-tenure

Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR mengenai REDD+ dan Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri dan didukung oleh AusAid, Badan Kerja Sama Pembangunan Norwegia (NORAD), Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID), dan Program Hutan (PROFOR).

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org