Bagikan
0

Bacaan terkait

“Wilayah-wilayah liar” yang tersisa di dunia sering dibayangkan sebagai suatu kesatuan dengan keanekaragaman hayati, namun kehilangan satu spesies: Homo sapiens. Studi global terbaru memberi informasi bahwa kurang lebih 40% bentang alam yang secara ekologis diproteksi ada di bawah pengawasan masyarakat adat.

“Hal ini amat menarik,” ujar John Fa, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan salah satu peneliti utama riset ini. Menurut Fa, riset yang ia lakukan menyikapi adanya kebutuhan untuk memberikan pengakuan kepemilikan dan sumber daya bagi masyarakat adat terutama apa saja yang diperlukan agar pengelolaan suatu wilayah berjalan efektif.

“Menurut hasil riset, masyarakat adat telah ada di berbagai belahan dunia selama bertahun-tahun – kita sedang berbicara ribuan tahun dalam beberapa kasus – karenaya masyarakat adat harus diberi dukungan tentang apa yang dibutuhkan agar lahan (adat) dikelola secara baik” katanya.

DUNIA PENUH DATA

Para peneliti membuat peta-peta berbagai bidang tanah yang dikelola oleh masyarakat adat atau memiliki hak penguasaan tanah adat: total kurang lebih 38 juta kilometer persegi tersebar di 87 negara atau wilayah yang secara politis berbeda di seluruh benua, membentuk lebih dari seperempat permukaan daratan dunia.

Dari bentangan di peta-peta ini tergambar luas wilayah berada di kawasan lindung bumi dan bentang alam utuh secara ekologis, seperti hutan primer boreal dan tropis, savana dan rawa-rawa.

“Kedengarannya sangat sederhana untuk mengatakannya,” tawa Fa, “tapi tentu ada banyak pekerjaan dibaliknya.” Diperlukan tim internasional besar dan bekerja selama tiga tahun untuk mengumpulkan informasi yang cukup dan kredibel pembuatan peta, karena “data-data relatif tersebar,” katanya.

Hal ini juga bersifat politis: data disetujui oleh negara, kemudahan akses, kemudahan pencarian informasi tentang lahan adat di wilayah terutama terjadi perebutan masa jabatan. Sebagai contoh, kata Fa, masyarakat Pygmy di Lembah Kongo “(mereka) tidak diakui sah sebagai pemilik tanah di tempat mereka tinggal” oleh pemerintah. Jadi para peneliti harus memetakan distribusi masyarakat melalui “ekstrapolasi dengan teknik pemodelan dan cara lain-lain,” katanya.

Masalah etika seputar penggunaan dan menampilkan informasi juga dipertimbangkan. Dalam laporan ini, peneliti menerbitkan peta dalam bentuk piksel, agar tidak mengungkapkan lokasi pasti lahan masyarakat adat. “Setiap kali ada masalah penguasaan tanah, kami tidak ingin membuat (masalah) menjadi rumit bagi masyarakat dengan mengatakan ‘lokasinya persis di mana mereka tinggal,'” Fa menjelaskan. “Kami mempunyai tanggung jawab luar biasa, sebab masyarakat adat cukup rentan dengan banyak hal, dan jika kami tidak melakukan hal-hal secara benar, mereka dapat terpengaruh.”

DAMPAK UNTUK KONSERVASI

Apa yang dapat kita pelajari dari riset ini bagi konservasi? Seperti yang penulis paparkan dalam laporan, tanah adat “mewakili salah satu bentuk tertua unit konservasi,” dan banyak sistem pengelolaan lahan adat “telah terbukti sangat gigih dan tahan banting.” Jadi ada hal-hal yang dapat dipelajari dari sistem ini bagaimana hubungan manusia dengan bentang alam secara berkelanjutan, kata para penulis.

Laporan ini menolak generalisasi tentang afinitas masyarakat adat dengan tujuan konservasi global. Hasil penelitian tidak “berarti bahwa masyarakat ingin melestarikan lahan dengan cara yang kami [konservasionis barat] pikir bahwa hal ini harus dilestarikan,” kata Fa. “Masyarakat mungkin benar-benar ingin menebang semua hutan, dan memiliki sesuatu yang lain yang ada di lahan.”

Riset mempunyai tujuan, terang Fa, agar masyarakat adat dapat hidup dan mengendalikan persentase tinggi dari bentang alam bernilai konservasi tinggi, masyarakat adat harus ada di garis depan dalam pengambilan keputusan tentang masa depan lahan adat. Banyak wilayah seperti ini terancam oleh pembangunan tidak lestari. Jika hak pengelolaan masyarakat adat diakui, dan mereka memiliki dukungan dan sumber daya untuk melakukannya dengan cara yang sesuai dengan aspirasi mereka, “masyarakat memiliki potensi menjadi pemimpin dan pelestari konservasi di masalah ini”, kata Fa.

Penelitian ini merupakan bagian dari riset CIFOR tentang Bushmeat Research Initiative.

Riset ini didukung oleh USAID
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org