BOGOR, Indonesia (22 November, 2012)_Dalam pembicaraan dengan Forests News, Kristell Hergoualc’h, seorang ilmuwan di Center for International Forestry Research (CIFOR), yang menjelaskan aspek teknis penelitiannya, yaitu mengukur dan memantau emisi gas rumah kaca (GRK) dari hutan tropis, khususnya dari hutan rawa gambut yang kaya akan karbon di Indonesia.
Ia menjelaskan tentang gas-gas GRK yang sering kali dilupakan dalam debat perubahan iklim, seperti metana dan dintirogen oksida yang diemisikan dari hutan gambut, serta efek konversi hutan untuk pemberdayagunaan lain, misalnya perkebunan kelapa sawit.
Dalam konteks hutan dan perubahan iklim, apakah MRV dan REL?
Kristell: Dalam kerangka kerja pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), MRV atau pemantauan, pelaporan dan verifikasi ialah sistem yang memantau, melaporkan dan memverifikasi efektivitas pengurangan emisi gas rumah kaca. Selanjutnya, pendefinisian Tingkat Acuan Emisi (REL) adalah skenario tolok ukur dari emisi gas rumah kaca yang akan terjadi bila tidak ada proyek atau skema REDD+.
Saat ini, tingkat emisi dihitung sebagai kombinasi dari apa kita sebut sebagai ‘data aktivitas’ dan ‘faktor-faktor emisi.’ Jadi data aktivitas menggambarkan jenis-jenis perubahan tata guna lahan dan dinyatakan sebagai unit permukaan. Informasi ini umumnya berasal dari pencitraan satelit. Faktor emisi menyediakan dan memperkirakan emisi gas rumah kaca untuk suatu aktivitas tertentu.
Jadi misalnya, bila kita mengetahui bahwa suatu wilayah terancam deforestasi, kita dapat menentukan di wilayah tersebut suatu faktor emisi serta menghitung emisi gas rumah kacanya. Kemudian bila wilayah tersebut tidak terdeforestasi, kita dapat menghitung emisi gas rumah kaca yang dihindarkan.
Ketidakadaan skema mitigasi akan mengakibatkan acuan tingkat emisi menggunakan skenario business-as-usual.
P: Penelitian apakah yang dilakukan oleh CIFOR dalam hal ini?
CIFOR sedang melakukan penelitian terhadap MRV dan tingkat emisi, keduanya mengenai data aktivitas dan faktor emisi. Di Indonesia, sebagian besar penelitian kami berfokus pada lahan gambut. Ada tiga alasan untuk hal ini:
Pertama, lahan gambut tropis merupakan salah satu tampungan karbon terbesar di dunia, jadi bila ekosistem ini dialihgunakan, dapat melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer.
Kedua, Indonesia adalah salah satu dari negara tropis pemilik daerah lahan gambut luas, termasuk juga negara dengan 80 persen emisi gas rumah kaca nasionalnya berasal dari perubahan tata guna lahan. Lima puluh dari 80 persen tersebut berasal dari kebakaran dan perubahan tata guna lahan di hutan-hutan rawa gambut tropis.
Sehingga, ada kesenjangan-kesenjangan signifikan dalam pengetahuan dan metode-metode untuk menghitung kehilangan karbon akibat perubahan tata guna lahan di ekosistem tersebut.
Ketika hutan rawa gambut dikonversi, kami memperkirakan, 60-80 persen emisi berasal dari gambut. Sehingga kami mengarahkan penelitian kami sebagai penyedia data rinci dan akurat dari emisi-emisi ini dari lahan gambut.
Untuk keperluan ini kami menggunakan metode umum, yang diajukan oleh IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) dan disebut sebagai “pendekatan untung-rugi” atau pendekatan input-output. Jadi metode ini terdiri atas pengukuran semua fluks yang masuk ke gambut dan semua fluks yang keluar dari gambut dan dalam menghitung keseimbangannya.
Untuk menyederhanakannya, kita dapat membandingkan stok karbon gambut ini dengan sebuah rekening bank dan menghitung seberapa banyak uang yang disimpan atau hilang selama tahun tersebut dengan membuat saldo dari transfer masuk dan transfer keluar.
Kembali ke topik gambut. Jadi input karbon utama dari gambut berasal dari dedaunan, dahan dan akar yang mati. Karbon dilepaskan dari gambut melalui pembusukan gambut, kebakaran, emisi metana, dan pembuangan terlarut dan fisik.
Dalam proyek khusus CIFOR ini, tiga mahasiswa doktoral sedang memfokuskan penelitian mereka pada perubahan tingkat emisi gas rumah kaca pada salah satu jenis perubahan tata guna lahan utama yang ditemukan di Indonesia, yaitu konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.
Sebastian Persch sedang mengkuantifikasi masukan karbon dari akar-akar yang sudah mati. Louis-Pierre Comeau sedang menilai berapa banyak karbon yang masuk melalui sampah alami dan hilang melalui pembusukan gambut. Jodi Harthill sedang mengukur fluks metana dan dinitrogen oksida dan kehilangan lewat pembuangan terlarut dan fisik.
Apa yang membuat gambut menyimpan sedemikian banyak karbon?
Dalam keadaan alamiahnya ekosistem ini terkubur dalam tanah yang lunak dan berair di bawah permukaan tanah, sehingga hanya terjadi sedikit sekali pembusukan materi organik. Materi organik ini terakumulasi dan dengan cara itu gambut tertimbun selama ribuan tahun. Ketika Anda mengalihgunakan lahan gambut untuk kegunaan lain, Anda telah membalikkan situasi sehingga karbon yang telah terakumulasi di tanah diemisikan sebagai karbon dioksida atau metana.
Bagaimana kepentingan penelitian ini untuk memerangi perubahan iklim?
Indonesia merupakan salah satu emiter gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebagian besar emisi ini berasal dari gambut. Jadi skema mitigasi perubahan iklim di Indonesia haruslah berfokus pada perlindungan hutan rawa gambut. Namun, pelaksanaan skema semacam itu tergantung pada pasokan perkiraan gas rumah kaca yang dapat diandalkan.
Dan tentang REDD+?
Terutama tentang skema seperti REDD+ yang bertujuan untuk melindungi hutan, penelitian ini sangat penting. Saat ini perkiraan kami tentang tingkat emisi dan perkiraan potensial mengenai emisi gas rumah kaca yang terhindarkan tidak tepat. Jadi keadaannya mendesak dan sangat penting untuk menyediakan perkiraan yang lebih baik dari kadar/tingkat gas ini. Di CIFOR, empat ilmuwan kami sedang terlibat dalam penulisan bab baru mengenai inventarisasi gas rumah kaca nasional IPCC. Bab ini khusus membahas tentang tanah gambut.
Apakah ekosistem hutan gambut telah tercakup dalam panduan IPCC (Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim) sebelumnya?
Dalam bab-bab lainnya, ada bagian khusus mengenai lahan gambut. Tetapi sebenarnya ekosistem ini sedemikian spesifik sehingga memerlukan satu bab tersendiri. Ada juga jenis tanah kaya karbon lainnya seperti tanah bakau, misalnya.
Apakah ada contoh-contoh dari temuan Anda sejauh ini?
Kami dapat menyediakan faktor emisi untuk hutan rawa gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan perkebunan akasia. Dan sekarang, ketika penelitian sedang dilakukan di Taman Nasional Berbak di Sumatra, dan di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan, kami akan dapat memperhalus perkiraan-perkiraan tersebut terkait dengan konversi menjadi perkebunan kelapa sawit di wilayah-wilayah tadi.
Baru-baru ini juga kami telah mengeluarkan sebuah faktor emisi – emisi dinitrogen oksida yang terjadi setelah pemakaian (pupuk) nitrogen di perkebunan kelapa sawit di atas gambut.
Apakah efek dari gas-gas rumah kaca lainnya yang ditemukan di hutan, selain karbon, terhadap perubahan iklim?
Biasanya ketika kita memantau gas rumah kaca dari suatu ekosistem, kita memantau karbon dioksida, metana dan dinitrogen oksida. Metana dan dinitrogen oksida sangat penting karena potensi pemanasan globalnya. Kapasitas gas-gas tersebut untuk memanaskan atmosfer adalah 25 kali (metana) dan 300 kali (dinitrogen oksida) lebih kuat daripada karbon dioksida. Di sisi lain, konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer jauh lebih rendah. Namun, apabila lahan dialihgunakan menjadi pertanian dan kelapa sawit, pemakaian pupuk nitrogen untuk mempercepat pertumbuhan dapat meningkatkan jumlah dinitrogen oksida di atmosfer. Jadi kita perlu mencari cara agar kadar gas-gas tersebut tidak menjadi terlalu tinggi. Ada berbagai cara untuk menguranginya, misalnya dengan mengurangi pemupukan tanpa mengurangi produktivitas sistemnya.
Seberapa signifikankah pemakaian nitrogen pada tanaman budi daya seperti kelapa sawit dan dampaknya pada tingkat emisi dinitrogen oksida?
Kami sedang menyelidiki situasi ini di lahan gambut yang telah dibersihkan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Ketika lahannya baru saja dibersihkan dan dibuka, nitrogen yang terkandung dalam tanah tidak lagi tersedia untuk tanaman. Pupuk nitrogen kemudian ditambahkan untuk meningkatkan kesuburan, yang memungkinkan tanaman tumbuh dengan cepat. Selama tiga sampai empat tahun pertama pertumbuhannya, kita akan mengamati adanya emisi dinitrogen oksida yang signifikan. Sesudah itu, jumlah pupuk nitrogen yang digunakan dapat dikurangi karena nitrogen lebih banyak tersedia dalam tanah untuk tanamannya. Namun, meskipun dalam laju yang lebih lambat, masih akan ada pemupukan dan pelepasan emisi dinitrogen oksida.
Bagaimanakah perbandingan keadaan ini dengan emisi karbon dari gambut?
Dalam pengertian lahan gambut, khususnya setelah perubahan tata guna lahan, kisah utamanya adalah mengenai karbon dioksida. Status karbon yang ditemukan di lahan gambut yang terkubur dalam tanah berair sama sekali berbeda dari karbon yang ditemukan di lahan gambut yang telah dikeringkan, dan proses ini mempercepat dekomposisi karbon dioksida.
Apakah yang menginspirasi Anda untuk meneliti aspek ilmu perikliman ini?
Benar-benar sebuah tantangan untuk bekerja di ekosistem yang masih perawan ini, yang biasanya terletak di daerah terpencil, yang diakses melalui sungai dan rawa. Kami juga harus menghadapi keanekaragaman hayati setempat, seperti harimau dan ular, orang utan dan kera. Tetapi penelitian ini juga merupakan tantangan karena ada banyak hal yang bisa dipelajari dan ditemukan, dan kami benar-benar menantikan saat untuk memverifikasi hipotesis kami.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org