Berita

Seberapa burukkah ini? Pembuat kebijakan perlu banyak informasi emisi lahan gambut

Mengapa CIFOR memposisikan lahan gambut Indonesia sebagai “buah yang tergantung paling rendah” dalam mencapai target pengurangan emisi?
Bagikan
0
Seberapa dalamkah rawa gambut ? Indrianto, kanan, dan Suratman dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengukur kedalaman gambut di Tripa hutan rawa gambut di provinsi Aceh. Dita Alangkara/CIFOR

Bacaan terkait

Pemerintah yang mencari cara untuk memperlambat perubahan iklim perlu mengurangi laju konversi lahan gambut sampai peneliti dapat mengumpulkan data ilmiah yang konkret terkait jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer, demikian diungkapkan sejumlah ilmuwan terkemuka.

Hal ini akan membantu mereka memahami mengapa perlindungan ekosistem kaya yang berair ini sangat penting, ujar Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Research (CIFOR), yang sedang mengembangkan metodologi untuk mengukur emisi lahan basah yang dapat diterima secara global bersama para rekannya.

Lahan gambut, yang menyimpan hingga sepertiga karbon tanah dunia, selama bertahun-tahun dianggap sebagai lahan marginal. Kajian-kajian pada tahun 1970-an berfokus pada bagaimana cara terbaik untuk mengonversi lahan tersebut sehingga bisa menghasilkan pendapatan. Di Indonesia, hal ini diwujudkan dalam “Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar” — pembudidayaan lebih dari satu juta hektar lahan di pulau Kalimantan pada tahun 1990-an.

Pada tahun-tahun terakhir, lahan kaya karbon ini dibuka untuk menanam kelapa sawit – yang minyaknya digunakan untuk pembuatan berbagai produk mulai dari sabun dan pemulas bibir sampai dengan bahan bakar “bersih” – dan untuk pulp dan kayu.

Indonesia, yang memiliki lahan gambut lebih luas dibandingkan dengan negara mana pun di dunia, kehilangan kira-kira 2 persen lahan gambut setiap tahunnya, ujar Murdiyarso.

Penelitian tentang jumlah emisi yang dilepaskan dalam proses ini menjadi sangat penting mengingat dunia sedang berusaha memperlambat perubahan iklim melalui Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), ungkap peneliti senior CIFOR ini.

Sebuah studi yang baru-baru ini diterbitkan oleh CIFOR dan para mitranya mengungkapkan bahwa 89 dari 99 negara tropis yang ikut mengambil bagian dalam skema yang didukung PBB ini belum memiliki kapasitas untuk memenuhi persyaratan pemantauan karbon.

Beberapa negara, termasuk Brasilia dan Kenya, tidak menyadari sampai baru-baru ini bahwa mereka ternyata memiliki lahan gambut.

Di Indonesia, banyak wilayah yang tidak memiliki data dasar dari ekosistem ini.

Rawa Tripa di Aceh merupakan bagian dari ekosistem Gunung Leuser, satu-satunya tempat di dunia di mana orang utan, harimau, badak dan gajah masih hidup bersama di alam liar. Daerah ini mendapatkan perhatian dunia tahun lalu setelah beberapa lsm lingkungan melaporkan dugaan pelanggaran larangan untuk mengubah lahan gambut yang kaya ini menjadi bentangan perkebunan kelapa sawit, sebagian besar dengan menggunakan api untuk membuka lahan.

Ketika para pejabat, akademia dan kelompok-kelompok LSM duduk bersama untuk mendiskusikan cara menyelamatkan Tripa bulan Juni lalu, sejumlah pertanyaan besar muncul: Seberapa dalam gambut yang ada di sana? Seberapa banyak karbon yang terkandung di dalamnya? Dan seberapa kayakah keanekaragaman hayatinya?

“Kita harus bergerak untuk menyelamatkan Tripa, namun pada forum itu kami menyadari bahwa kita tidak memiliki informasi yang cukup,” ujar Nirarta Samadhi, Ketua Kelompok Kerja Pemantauan Moratorium di Satgas REDD+.

Samadhi dan rekan-rekannya meminta sejumlah lembaga pemerintah lokal dan nasional untuk membantu dengan cepat menghentikan perusakan di Rawa Tripa dan memandatkan beberapa studi tentang karakteristik, kondisi sosial ekonomi dan keanekaragaman hayati gambut di daerah tersebut.

Informasi yang terkumpul akan digunakan untuk melakukan uji coba sejumlah cara untuk menyelamatkan lahan gambut yang sebagian telah hilang atau rusak.

Studi yang dilakukan oleh CIFOR mengungkapkan bahwa 80 persen emisi Indonesia, atau sekitar 2 milyar ton, berasal dari pembuangan biomasa dan perubahan pemanfaatan lahan gambut, yang memposisikan ekosistem sebagai “buah yang tergantung paling rendah” dalam upaya Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi sebesar 26 persen dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020.

Murdiyarso menyampaikan bahwa dari lebih dari 20 juta hektar lahan gambut di Indonesia, sekitar setengah telah dibebankan ijin konsesi konversi menjadi perkebunan kayu pulp atau kelapa sawit. Masalah selanjutnya adalah, bukan saja bagaimana melindungi rawa gambut yang belum dibebankan lisensi, ungkap beliau, namun bagaimana mencari cara untuk mengelola lahan yang sudah memiliki ijin dengan baik.

“Kami ingin menunjukkan bagaimana dan mengapa lahan gambut bernilai penting,” ujarnya, yang berarti berusaha mengetahui dengan tepat seberapa kaya lahan ini terkait karbon dan berbagai manfaat lain. “Namun lebih dari itu, lahan gambut adalah ekosistem unik dan merupakan satu-satunya habitat yang bisa menjadi tempat hidup bagi orang utan, ikan Arwana dan jelutung (Dyeracostulata).”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Kelapa sawit Lahan Gambut

Lebih lanjut Kelapa sawit or Lahan Gambut

Lihat semua