BOGOR, Indonesia – Asap telah kembali.
Pekan ini, angin membawa asap dari lahan terbakar di Sumatera, Indonesia barat, menyesaki langit negara tetangga Singapura. Dan menurut sebuah studi baru, episode seperti ini akan terjadi lebih sering.
Polusi udara di Singapura pekan ini telah mencapai level rekor Juni 2013, ketika asap memicu berita utama internasional dan menyebabkan pertengkaran diplomatik. Kriris tersebut juga mendorong aksi, mulai dari lokakarya multi-pemangku kepentingan hingga penetapan hukum Singapura yang mengkriminalisasi kebakaran lahan di Indonesia, dan berita terakhir Indonesia setuju meratifikasi sebuah kesepakatan regional mengenai asap lintas batas, 12 tahun setelah negara ini menandatanganinya.
Kebakaran bisa terus terjadi dan lebih sering, dan menjadi makin sulit untuk menduganya
Krisis asap ini juga mendorong penelitian, termasuk laporan baru dari ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang berupaya mengeksaminasi kondisi kebakaran. Penelitian tersebut, dipublikasikan pada Agustus dalam Scientific Reports, menggunakan penginderaan jarak jauh, catatan hujan dan data lain untuk menunjukkan bahwa kebakaran – sengaja dilakukan ketika membersihkan lahan untuk pertanian – terutama terjadi pada lahan gambut kering dan rusak, tidak pada hutan seperti yang awalnya diduga, dan hal ini dimungkinkan terjadi dalam periode pendek musim kemarau.
“Anda tidak memerlukan musim kering ekstrem tahunan untuk menyulut api,” kata ilmuwan CIFOR David Gaveau, penulis utama. “Yang dibutuhkan hanyalah beberapa hari tanpa hujan. Ini berarti pembakaran tetap terjadi dan lebih sering, dan menjadi makin sulit untuk ditebak.”
Indonesia terbakar: Klik di sini untuk mendapatkan lebih banyak tulisan, peta dan video mengenai penelitian CIFOR mengenai kebakaran.
Penelitian lebih jauh diperlukan, kata Gaveau, untuk memahami siapa menyulut api dan mengapa. Alat baru untuk memantau api – seperti World Resource Institute’s Global Forests Watch Fires (Pemantau Kebakaran Hutan Global milik Institut Sumber daya Dunia) – cukup berharga tetapi tidak bisa memotret gambaran penuh di lapangan, kata Gaveau.
“Saya pikir kita telah melangkah jauh menggunakan alat penginderaan jarak jauh – pesawat tanpa awak, satelit dan lain-lain – tetapi ini saatnya kita terjun ke lapangan dan benar-benar memahami apa yang terjadi. Dengan memahami apa yang terjadi, kita paham siapa yang bertanggungjawab, siapa yang menengguk keuntungan dari kebakaran ini.”
Penelitian ini, Emisi atmosferis utama dari kebakaran gambut di Asia Tenggara selama musim tidak-kering: bukti dari kebakaran Sumatera 2013, dapat dibaca di sini. Dalam video wawancara (di atas), David Gaveau berbicara mengenai penelitian dan bencana asap Singapura terkini.
Untuk informasi lebih mengenai topik penelitian ini, silahkan hubungi David Gaveau di d.gaveau@cgiar.org.
Penelitian CIFOR tentang kebakaranan asap merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR Research mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org