Bagikan
0

Dari kebakaran hutan yang dahsyat hingga topan yang menghantam Asia Tenggara, hingga banjir dahsyat di Afrika Timur dan sebagian Amerika Latin, tahun 2024 diisi oleh banyaknya pergolakan lingkungan.

Namun, 2024 juga merupakan tahun dengan kemajuan yang luar biasa. Tiga konferensi global telah berlangsung, yang mempertemukan berbagai aktor yang berkomitmen untuk menstabilkan iklim, membalikkan desertifikasi, dan melindungi keanekaragaman hayati. Di Cali, pada Konferensi Para Pihak ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP16), hampir 1 juta peserta berkumpul dengan tema ‘Perdamaian dengan Alam’ untuk membahas kebutuhan mendesak akan konservasi keanekaragaman hayati. Di Afrika, inisiatif seperti Tembok Hijau Raksasa memperoleh daya tarik yang berarti, merestorasi lahan yang terdegradasi dan merevitalisasi ekonomi lokal, dan upaya penghijauan kembali di tingkat akar rumput di seluruh dunia menunjukkan kekuatan aksi yang dipimpin oleh masyarakat.

Narasi yang paling menarik di tahun ini menyoroti urgensi aksi, kekuatan masyarakat, dan harapan solusi inovatif.

Berikut adalah kisah-kisah menonjol dan pilihan utama kami sepanjang 2024:

1. Tahun penuh harapan dan kesulitan bagi hutan dunia

Pemandangan hutan Gede Pangrango di pagi hari. Foto oleh Ricky Martin/CIFOR-ICRAF.

Hutan di seluruh dunia menghadapi narasi ganda tentang ketahanan dan tantangan selama setahun terakhir. Dari penggundulan hutan yang dahsyat hingga langkah-langkah restorasi yang menjanjikan, hutan dunia tetap menjadi pusat krisis iklim dan keanekaragaman hayati.

Meski kebakaran hutan, penebangan liar, dan alih fungsi lahan mengancam ekosistem kritis, ada juga contoh inspiratif tentang reforestasi yang digerakkan oleh masyarakat dan kebijakan inovatif untuk membalikkan tren kehilangan hutan. Hutan bertindak sebagai penyerap karbon dan mendukung penghidupan yang tak terhitung jumlahnya. Hal ini berarti hutan berperan dalam membangun bioekonomi berkelanjutan dan menumbuhkan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Baca selengkapnya »


2. Mempertimbangkan kembali metrik keanekaragaman hayati: Sebuah seruan aksi

Kerajinan seni benih tradisional dari komunitas adat di Ucayali. Foto oleh Juan Carlos Huayllapuma/CIFOR-ICRAF

Para pegiat konservasi di seluruh dunia diminta untuk mempertimbangkan kembali klaim yang tersebar luas bahwa wilayah masyarakat adat menampung 80% keanekaragaman hayati global. Meskipun bermaksud baik, statistik ini berisiko menyederhanakan secara berlebihan dan melemahkan peran pengetahuan dan pengelolaan masyarakat adat, demikian temuan para ahli.

Seruan untuk mengabaikan angka ini bukan sekadar permintaan akurasi, melainkan dorongan untuk mengakui dan menghormati realitas kompleks konservasi keanekaragaman hayati. Para ilmuwan yang mengevaluasi klaim tersebut mengatakan bahwa mereka berharap, bahwa dengan membingkai ulang narasi ini, kita membuka jalan bagi kolaborasi yang lebih adil dengan masyarakat adat.

Baca selengkapnya »


3. Mangrove: Pejuang iklim alam di Asia

Pohon mangrove di Pulau Pasir Timbul, Desa Sungsnag, Wilayah Banyuasin. Foto oleh Ricky Martin/CIFOR-ICRAF

Hutan mangrove yang selama ini menjadi sumber kekuatan dalam perjuangan global melawan perubahan iklim, mendapat perhatian lebih besar tahun ini, dan menjadi poros dalam memerangi krisis dari Bali hingga Jeju dan daerah lainnya. Ekosistem pesisir ini, penyerap karbon yang hebat dan penahan badai alami, menyediakan jalur kehidupan bagi masyarakat yang rentan sekaligus menunjukkan keadaan saling tergantung antara solusi berbasis alam dan ketahanan iklim.

Dari pesisir Singapura yang ramai hingga desa-desa yang tenang di Sumatra Selatan, berbagai inisiatif yang dipimpin masyarakat menyoroti potensi hutan mangrove untuk memitigasi dampak iklim. Di Suaka Margasatwa Coringa di India, pemantauan mangrove di lapangan memperkuat ketahanan ekosistem, sementara terobosan dokumen manual mangrove Indonesia menetapkan standar global untuk konservasi. Di seluruh Asia Timur, restorasi dan pelestarian hutan mangrove menuntut kerja sama dan investasi regional, yang mengingatkan dunia bahwa menyelamatkan hutan yang vital ini bukan hanya tentang melindungi alam – melainkan juga tentang mengamankan masa depan yang berkelanjutan untuk semua.

Ketahui lebih lanjut»


4. Pepohonan sebagai pelindung dari banjir: Solusi tangguh dari alam

Potret bentang alam sungai di Desa Buluq Sen, Kabupaten Kutai Kertanegara. Kalimantan Timur. Foto oleh: Nanang Sujana/CIFOR-ICRAF

Dengan semakin sering terjadinya banjir dan cuaca ekstrem, pepohonan berperan penting sebagai pelindung dalam pengelolaan banjir. Akarnya menstabilkan tanah, mengurangi erosi, dan meningkatkan penyerapan air, serta berperan sebagai penahan alami terhadap gelombang alam tersebut. Selain punya fungsi ekologis, pepohonan juga melindungi kehidupan dan penghidupan manusia, yang menjadi contoh potensi solusi berbasis alam dalam mengatasi tantangan iklim.

Dari ruang terbuka hijau perkotaan hingga lahan basah yang luas, upaya reforestasi dan konservasi menyoroti peran penting pohon dalam membangun ketahanan. Karena masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin parah, melestarikan dan memulihkan pertahanan alami ini bukan hanya kebutuhan lingkungan – melainkan juga prioritas kemanusiaan.

Baca selengkapnya»


5. Bentang alam yang rapuh, masyarakat yang tangguh

Lanskap lahan kering dekat Kitui, Kabupaten Kitui – Kenya. Foto oleh Axel Fassio/CIFOR-ICRAF

Interaksi antara pohon, manusia, dan pilihan sikap di wilayah yang dilanda konflik dan bencana alam, menunjukkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi situasi yang rapuh. Kisah-kisah dari seluruh dunia menyoroti bagaimana bentang alam yang mengalami krisis—apakah karena perang, pengungsian, atau guncangan lingkungan—sangat terkait erat dengan penghidupan dan kelangsungan hidup.

Riset dan pekerjaan di lapangan menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan dan prioritas lokal ke dalam strategi resotrasi, yang menunjukkan bahwa solusi efektif tak hanya terbatas pada penanaman pohon, tetapi juga dimensi sosial, budaya, dan ekonomi dari restorasi. Dengan merangkul pendekatan holistik yang menyeimbangkan restorasi ekologi dengan kesejahteraan manusia, masyarakat ini tidak hanya membangun kembali bentang alam tetapi juga mendefinisikan ulang masa depan mereka dalam menghadapi kesulitan.

Baca selengkapnya » 


6. Kerugian kepasifan: Kepentingan nasional vs. kebijakan global

Sebuah truk penebangan mengangkut pohon besar melalui hutan tropis. Foto oleh Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF

Keterbatasan perlindungan lingkungan global menjadi fokus utama, yang menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukanlah kurangnya solusi, melainkan dominasi kepentingan nasional atas aksi kolektif. Penyelidikan yang lebih cermat terhadap struktur tata kelola menyoroti ketidakselarasan yang meresahkan antara tujuan global dan prioritas regional, yang memperburuk tantangan lingkungan lintas batas seperti penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim.

Kegagalan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan sebuah pendekatan terpadu—pendekatan yang memprioritaskan kesetaraan, akuntabilitas bersama, dan upaya terkoordinasi lintas batas. Tanpa perubahan ke arah tata kelola yang inklusif dan kolaboratif, bahkan solusi yang paling menjanjikan pun berisiko gagal mencapai potensinya untuk melindungi planet ini.

Baca selengkapnya »


7. REDD+: Laporan yang beragam

Indrianto, kanan, dan Suratman dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengukur kedalaman gambut di bagian sehat hutan rawa gambut Tripa di Nagan Raya, provinsi Aceh, Indonesia. Foto oleh Dita Alangkara/CIFOR-ICRAF

Dampak inisiatif REDD+ yang tak merata mempertajam kompleksitas skema kompensasi karbon global. Meski beberapa wilayah berhasil memanfaatkan REDD+ untuk mencapai keuntungan terukur dalam konservasi hutan dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat, wilayah lain kesulitan menerjemahkan janjinya menjadi hasil nyata.

Sebuah tinjauan komprehensif mengungkap dampak yang moderat tetapi sangat bervariasi, yang menekankan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif yang memperhitungkan konteks dan prioritas lokal. Temuan tersebut menyoroti bahwa strategi yang cocok untuk semua tidak dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh wilayah yang berpartisipasi. Ke depannya, REDD+ harus berkembang menjadi kerangka kerja yang lebih fleksibel dan adil untuk mencapai tujuan gandanya, yaitu mitigasi iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Baca selengkapnya»


8. Produk berbasis kayu mendorong pembangunan berkelanjutan

Perdagangan rotan domestik Indonesia yang terus berkembang menunjukkan potensi produk berbasis kayu untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Sebagai bagian dari gerakan bioekonomi global, sumber daya alam terbarukan memainkan peran penting dalam menyediakan penghidupan sekaligus mendukung upaya konservasi. Di Indonesia, lonjakan permintaan rotan menyoroti perlunya kebijakan sektoral yang kuat untuk memastikan praktik pemanenan dan perdagangan yang berkelanjutan, demi menjaga kesehatan hutan dan keanekaragaman hayati.

Produk berbasis kayu, termasuk rotan dan juga bambu, menekankan pentingnya menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan integritas ekologi. Dengan menanamkan prinsip keberlanjutan di seluruh rantai nilai, masyarakat menanggapi permintaan global yang terus meningkat dan memperkuat bioekonomi sebagai jalur menuju pembangunan berkelanjutan dan inklusif.

Baca selengkapnya »


9. Kesenjangan gender yang terus berlanjut di bidang sains

CIFOR-ICRAF scientist measuring mangroves to log carbon data. Photo by Aulia Erlangga/CIFOR-ICRAF

Kesenjangan gender dalam sains menggarisbawahi perlunya perspektif yang beragam untuk mengatasi tantangan global yang kompleks. Perempuan masih kurang terwakili dalam peran ilmiah teratas, sehingga membatasi cakupan inovasi dan inklusivitas dalam bidang-bidang yang penting untuk memecahkan krisis lingkungan dan sosial.

Tahun ini, sorotan beralih ke peran penting pendampingan dan perwakilan saat para peneliti dan advokat menyerukan upaya yang lebih kuat untuk membina para panutan perempuan dan menciptakan jalur menuju kesetaraan dalam dunia akademis dan penelitian. Dengan mendobrak hambatan sistemik dan memperkuat suara yang beragam, komunitas ilmiah bisa membuka potensi penuhnya untuk mengatasi tantangan mendesak di zaman kita, kata para ahli.

Baca selengkapnya » 


10. Berinvestasi pada tanah untuk masa depan yang berkelanjutan

Di Ghana, proyek Regreening Africa bertujuan untuk menciptakan pendekatan berkelanjutan untuk membalikkan degradasi lahan. Foto oleh Kelvin Trautman / CIFOR-ICRAF

Netralitas degradasi lahan muncul sebagai seruan global, yang menempatkan tanah di garis depan pembangunan berkelanjutan. Tanah yang sehat, yang diakui sebagai fondasi produktivitas pertanian, keanekaragaman hayati, dan ketahanan iklim, menjadi fokus penting bagi para pembuat kebijakan dan praktisi.

Bukti dari berbagai inisiatif di seluruh dunia menunjukkan bahwa berinvestasi dalam kesehatan tanah dapat memerangi desertifikasi, memulihkan lahan yang terdegradasi, dan memperkuat ketahanan pangan. Negara-negara yang memprioritaskan pemulihan tanah menunjukkan bagaimana praktik pengelolaan lahan berkelanjutan bisa mendukung keseimbangan ekologi dan pertumbuhan ekonomi.

Baca selengkapnya »

Saat kita merenungkan kisah-kisah ini, pesan yang bergema di tahun 2024 menjadi jelas: solusinya memang ada, tetapi solusi tersebut menuntut kemauan, inovasi, dan komitmen kolektif kita terhadap kesetaraan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org