Liputan Khusus

Mencari Mekanisme Tepat Implementasi Imbal Jasa Lingkungan

Tidak akan pernah ada satu mekanisme implementasi yang dapat digeneralisir ke semua daerah.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Oleh Nita Irawati Murjani

 

Imbal Jasa Lingkungan memberi nilai ekonomi pada fungsi ekologis hutan yang seringkali terabaikan. Photo: CIFOR/Paul Spenc Sochaczewski

 

Semiloka “REDD dan Imbal Jasa Lingkungan: Sinergi Rancangan Peraturan Pemerintah dan Pembelajarannya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan dan ICRAF dan COMMITTEES pada tanggal 9 November 2010 di kantor Kementerian Kehutanan Manggala Wanabakti, Jakarta, mencoba mendiskusikan berbagai peluang untuk implementasi Imbal Jasa Lingkungan (IJL), atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan Payment for Environmental Services (PES), di Indonesia, dilihat dari sisi kebijakan atau regulasi yang sudah ada, lesson-learned dari proyek-proyek yang telah berlangsung dan opsi bentuk-bentuk insentif yang dapat diberikan.

Menurut Bapak Subarudi dari Badan Litbang Kehutanan, sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan tentang IJL yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 14 yang banyak terkait dengan pemanfaatan air, dan PP No. 6 Tahun 2007 Jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Di tataran praktis, IJL sudah ada yang dilaksanakan walaupun dalam skala kecil dan belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan teori dan metode perhitungan IJL yang benar. Sebagai contoh mekanisme IJL telah dilaksanakan di Banten yang diinisiasi oleh LP3ES Jakarta terkait dengan petani di lingkungan Cidanau dan PT Tirta Krakatau Industri. Contoh lainnya adalah IJL antara Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Kuningan di Jawa Barat, dimana Pemerintah Kabupaten Cirebon membayar imbal jasa air kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan sebesar Rp. 5 milyar per tahun.

Tantangan utama dalam implementasi IJL adalah tentang pemberian insentif atau mekanisme pembayaran dari “pengguna” jasa kepada “penjual” jasa. Seperti yang dipaparkan oleh Bapak Purwoko dari Kementerian Keuangan misalnya adalah seringkali jasa lingkungan hutan dikelola oleh individu atau sekelompok masyarakat yang seringkali tidak memiliki entitas yang jelas menurut hukum sehingga menyulitkan untuk menentukan siapa dan bagaimana mereka harus dibayar. Misalnya masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan dan dapat dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memelihara hutan tetapi tidak ”diakui” keberadaan wilayah adatnya secara hukum sehingga menyulitkan mekanisme pembayarannya.

Saat ini beberapa kementerian seperti Keuangan, Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Kementerian Energi mulai berkoordinasi untuk merumuskan mekanisme IJL yang paling sesuai untuk Indonesia. Bapak Purwoko dalam paparannya “Arah Kebijakan Fiskal REDD+ dan Imbal Jasa Lingkungan” menegaskan bahwa IJL merubakan gerbang untuk masuk ke dalam Green Economy atau ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karenanya, Pemerintah dapat mendorong pemerintah daerah dan sektor swasta untuk terus melaksanakan IJl termasuk REDD+, salah satunya dengan memberikan stimulus fiskal yaitu insentif keringanan pajak bagi badan atau entitas tertentu yang melaksanakan IJL.

Dari contoh proyek yang dilakukan di Kalimantan Barat, kita bisa belajar bahwa implementasi IJL ternyata sangat kompleks karena tidak hanya menyangkut kegiatan ‘memelihara dan menjual’ dan ‘menggunakan/membeli’ jasa lingkungan. Ibu Dewi Rizki dari Flora Fauna Internasional – Indonesia Programme menjelaskan bahwa ketika upaya penurunan emisi lewat pencegahan deforestasi tidak disertai dengan pemberian alternatif pendapatan kepada masyarakat, hal ini malah berpotensi mengakibatkan ‘kebocoran/leakage’ yaitu kegiatan deforestasi berpindah ke daerah di luar/sekitar proyek REDD+ berlangsung. Atau, skema yang tidak tepat hanya akan menghasilkan proyek penurunan emisi jangka pendek. Untuk itulah, diperlukan dukungan jangka panjang dari masyarakat dan pemerintah, terutama di tingkat lokal.

Sebagai negara dengan wilayah hutan tropis ketiga terbesar di dunia, Indonesia bukan hanya harus bangga dengan kekayaan hutannya tetapi juga harus terus melakukan upaya untuk melakukan penyelamatan hutan karena tingkat deforestasi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dari data Kementerian Kehutanan, pada periode 2004-2009, seperti yang diberitakan oleh Bisnis Indonesia pada tanggal 19 Mei 2010, angka deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektare (ha) per tahun. Sebenarnya berbagai skema yang ditawarkan seperti CDM (Clean Development Mechanism), PES/IJL, REDD+ adalah pendorong yang kuat untuk memberikan prioritas bagi pelestarian hutan dalam agenda pembangunan karena disadari bahwa hutan adalah penyangga kehidupan bukan hanya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya tetapi juga bagi masyarakat dunia. Fenomena perubahan Iklim telah menyadarkan kita semua bahwa destruksi terhadap hutan telah membawa dampak global. Khususnya bagi Indonesia yang merupakan negara agraris dengan sekitar 40% penduduknya bergantung dari pertanian untuk penghidupannya, maka masalah Iklim dan ketersediaan air menjadi hal yang sangat penting. Hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan Iklim dan siklus hidrologi, dan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun.

Memang mungkin tidak akan pernah ada satu mekanisme implementasi IJL yang dapat digeneralisir ke semua daerah, tetapi lessons learned dari proyek-proyek yang telah dilakukan dan hasil-hasil penelitian terkait yang telah dilakukan baik oleh Pemerintah dan LSM seharusnya dapat menjadi bahan untuk membuat kerangka mekanisme yang nantinya dapat diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan karakter dan kebutuhan di tingkat lokal. Pemerintah, walaupun bukan sebagai lembaga pelaksana di lapangan, dapat memberikan payung hukum yang merupakan dasar pijakan bagi pelaksanaannya di lapangan, serta juga dapat berperan untuk memonitor dan mengkoordinir melalui pemerintah daerah agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kebingungan yang malah dapat membuat potensi konflik sosial baru.

Di lain pihak, forum seperti COMMITTEES (Community of Interest to Empower Environmental Services) berpotensi besar untuk memperkuat mainstream tentang IJL dalam kebijakan pembangunan melalui diskusi aktif dengan pihak-pihak terkait tentang kesempatan dan kendala pelaksanaan IJL. Selain itu, karena anggota COMMITTEES umumnya berasal dari praktisi maka diharapkan dapat memberikan masukan kritis tentang bagaimana seharusnya mekanisme yang tepat tersebut dibuat dan dilaksanakan. LEH

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org