Sejalan dengan upaya internasional mencegah pemanasan global lebih dari 1,5°C, seluruh negara harus bersungguh-sungguh memantau dan secara akurat melaporkan kemajuan, di semua lini – aliran pendanaan, kebijakan, dan inventori gas rumah kaca.
Hal ini terutama sangat relevan menjelang laporan transparansi bienial pertama Perjanjian Paris dengan tenggat waktu Desember 2024, kata para pembicara pada acara paralel resmi yang digelar oleh Center for International Forestry Research (CIFOR), bekerja sama dengan Komisi Hutan Afrika Tengah (COMIFAC) dan Universitas Ilmu Hayati Norwegia (NMBU) pada Pertemuan Puncak Iklmim PBB (COP28) di Dubai.
Pada acara yang berlangsung 4 Desember, perwakilan komunitas ilmuwan, organisasi nirlaba, pemerintahan, dan masyarakat adat setuju bahwa transparansi merupakan esensi dalam menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas seluruh negara dan aktor dalam konteks Perjanjian Paris.
“Agar bisa lebih cepat, isu transparansi harus dituntaskan,” kata Christoper Martius, Ketua Tim Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon CIFOR-ICRAF. “Data lebih koheren dapat meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas, selain dapat mendorong partisipasi dan akses data.”
Sebagai contoh, perbedaan pendekatan dalam menghitung emisi lahan saat ini memicu besarnya diskrepansi. Isu ini telah diteliti oleh CIFOR dan mitra pusat riset sains Kebumian Jerman GeoForschungsZentrum Potsdam terkait fluks karbon dari hutan tropis. Riset ini menunjukkan bagaimana penggunaan definisi hutan (mis., apa artinya ‘hutan terkelola’), dan pengaturan faktor emisi dan penyerapan jumlah karbon teremisi, atau terserap, oleh petak hutan tertentu?) dapat memberi hasil cukup berbeda pada ukuran emisi dan serapan hutan. Martius kemudian menekankan perlunya negara lebih mengharmonisasi metode penghitungan asupan pada inventori gas rumah kaca, yang dapat dibantu oleh Observasi Bumi.
“Diperlukan aksi iklim segera, dan penting untuk mengurangi setiap fraksi derajat; oleh karena itu, jadi perlu untuk mengidentifikasi di mana emisi dapat cepat diturunkan,” kata Martius. Hutan berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem yang menjadi fondasi sistem lahan dan iklim global, seraya menyangga penghidupan dan nutrisi sekitar 2,4 miliar orang secara global, katanya menyimpulkan.
Memantau kebijakan hutan
Melacak dan mengevaluasi dampak kebijakan iklim sangat penting untuk mengetahui apakah upaya dan investasi di tiap wilayah terbayar, selain memberi informasi bagaimana reorientasi dilakukan saat diperlukan. Panduan pilihan kebijakan memberi pilihan cukup luas, mulai dari meningkatkan penegakkan hukum dan sanksi aktivitas ilegal, hingga mengganjar pertanian regeneratif dengan pembayaran jasa lingkungan, menargetkan aktor rantai pasok, dan meningkatkan keamanan tenurial agar pengguna lahan dapat memastikan hak mereka.
Namun pendekatan kebijakan apa yang bisa berhasil? Dan bagaimana pendekatan negara dan pakar agar lebih sistematis, bagaimana pemantauan kebijakan membatasi kehilangan hutan?
“Hasil kebijakan memang bergantung pada desain dan implementasinya, selain pada konteks lokasi penerapannya,” kata Julia Naime, yang saat ini menjadi penasihat Yayasan Hutan Hujan Norwegia, dan telah meneliti diagnosa deforestasi bagian dari Studi Komparatif Global mengenai REDD+, yang dipimpin oleh Martius.
Para peneliti mengidentifikasi rentang perbedaan konteks menurut sejarah deforestasi, laju kehilangan hutan, serta risiko dan penyebab deforestasi (seperti perubahan penggunaan lahan). Kemudian, mereka mengeksaminasi tiga tipe besar kebijakan konservasi hutan—insentif seperti REDD+, disinsentif seperti denda, dan tindakan pendorong seperti status lahan—dan menganalisa bagaimana porsinya dalam setiap konteks.
“Agar kebijakan lebih berdampak, pengambil keputusan seharusnya memprioritaskan kawasan hutan yang paling terancam,” kata Naime. Dengan memberi jenis masukan seperti ini, dan pemantauan lebih terstruktur serta membandingkan dampak kebijakan, kerangka diagnosa deforestasi dapat membantu negara mempertinggi komitmen laporan mereka sejalan dengan tujuan iklim.
Transparansi iklim di Afrika
Perjanjian Paris mensyaratkan semua negara mengikuti panduan umum dalam laporan emisi, pendanaan, dan kemajuan dalam tujuan iklimnya, meski memungkinkan ruang fleksibilitas bagi negara berkembang terkait dengan kapasitas yang ada.
“Negara-negara Afrika dapat mewujudkan tantangan Kerangka Transparansi yang Disempurnakan dengan memperbarui kerangka legal dan regulasinya, meningkatkan manajemen informasi dan mengembangkan kapasitas nasional,” kata Gervasi Itsoua Madzous, Koordinator Regional Simpul Transparansi Iklim Regional Negara-Negara Afrika Tengah (ReCATH).
Simpul ini membantu 11 anggota Komunitas Ekonomi Afrika Tengah menyusun kerangka transparansi, mendukung upaya memenuhi persyaratan laporan, seraya memajukan adaptasi dan mitigasi iklim.
“Kerja ini harus dilakukan berbasis pada sifat non-sanksi, non-intrusif, dengan sepenuhnya menghargai kondisi dan kedaulatan Negara,” kata Itsoua, menambahkan bahwa mereka melakukan lokakarya nasional mengenai materi terkait transparansi seperti tata kelola, aliran data dan pelibatan pemangku kepentingan.
Bagi Diel Mochire, perwakilan dari Jaringan Masyarakat Adat dan Lokal untuk Manajemen Berkelanjutan Ekosistem Hutan di Afrika Tengah (REPALEAC), partisipasi dan keadilan menjadi inti transparansi iklim.
“Kita perlu menimbang perspektif masyarakat adat,” kata Mochire, menunjukkan bahwa langkah ini diawali dengan pengakuan legal atas eksistensi dan penghargaan atas hak terhadap hidup, lahan dan budaya.
Misalnya, pengalaman dan pandangan masyarakat terutama relevan dalam menginformasi penilaian negara atas dampak dan adaptasi perubahan iklim, dan memberikan dukungan untuk menghadapi pemanasan global.
Aliran pendanaan global
Perjanjian Paris mensyaratkan negara maju melaporkan pendanaan yang tersedia dan mobilisasinya, selain penerima terinformasi apa yang diterima, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dua ujungnya.
“Masyarakat adat meminta pendanaan lebih langsung, akuntabel, dan transparan,” kata Leif John Fosse, Penasihat Senior Inisiatif Iklim dan Hutan Internasional Norwegia (NICFI). Selain berbagai inisiatif lain, negara ini mendukung Tenure Funders Group, yang didirikan bersamaan dengan COP26 ketika donor bilateral dan filantrofis menjanjikan 1,7 miliar dolar AS untuk pemajuan hak tenurial hutan masyarakat lokal dan dan adat.
Fosse menyatakan, grup ini berupaya meningkatkan kolaborasi dan koordinasi donor, serta meningkatkan sistem data agar jumlah, aliran dan saluran pendanaan menjadi jelas – sebuah tugas yang “cukup menantang bagi sejumlah donor,” katanya.
Prioritas lain adalah secara periodik menelaah portofolio mereka terhadap prinsip investasi yang mengakui peran masyarakat dalam tata kelola hutan, selain meningkatkan kapasitas organisasi adat dan lokal untuk secara langsung, dan mengelola dana iklim secara transparan.
Éliane Ubalijoro, CEO CIFOR-ICRAF, menutup acara dan mengingatkan bahwa para pemangku kepentingan tidak sendiri dalam memenuhi persyaratan laporan Perjanjian Paris, atau upaya merespon perubahan iklim.
“Kita ingin terus bekerja dengan negara serta masyarakat adat dan lokal sebagai mitra terpercaya, menghasilkan data yang relevan, bukti dan metode yang siap untuk aksi iklim,” katanya menyimpulkan.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org