Analisis

Bagaimana Perlindungan Hak Masyarakat Lokal dan Adat dalam Konteks REDD+ di Indonesia?

Tinjauan komparatif kerangka hukum memberikan beberapa wawasan kunci
Bagikan
0
Ritual adat dalam menyambut tamu undangan dan meminta izin kepada leluhur untuk kelancaran, kenyamanan, dan perlindungan selama program FPIC (Free, Prior and Informed Consent). Foto oleh: DDPI (Dewan Daerah Perubahan Iklim)

Bacaan terkait

Perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi penekanan sebagai bagian dari program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) – meskipun berbagai negara termasuk Indonesia masih membutuhkan penyempurnaan dalam menerapkan perlindungan ini.

Terlepas dari sejumlah kemajuan di Indonesia – salah satu dari tiga negara dalam telaah kami  – masih terdapat kesenjangan dalam menjamin akses masyarakat adat dan komunitas lokal atas hak tanah dan sumber daya alam mereka. Belum terlihat bagaimana kerangka hukum tentang hak masyarakat dalam REDD+ akan diterjemahkan menjadi implementasi. Memang, dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa perlindungan tidak hanya menjadi formalitas tetapi dilaksanakan untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat dan kelompok marginal lainnya di seluruh negeri.

Telaah kami merupakan tahap pertama dari analisis komparatif pengalaman perlindungan REDD+ di Indonesia, Peru, dan Republik Demokratik Kongo. Kami percaya, sejalan dengan bergeraknya negara-negara REDD+ menuju pembayaran berbasis hasil, dan berkembanganya standar untuk transaksi pasar sukarela, diperlukan re-eksaminasi perlindungan, termasuk peluang untuk dapat memperkuat pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta mendorong transformasi dari inisiatif yang ‘tidak membahayakan’ menjadi inisiatif yang ‘membuat lebih baik’.

Prinsip perlindungan REDD+

Konferensi Para Pihak (COP) ke-16 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Cancun menghasilkan tujuh prinsip perlindungan REDD+, dua diantaranya berfokus pada pengetahuan dan hak, serta partisipasi dari masyarakat adat dan komunitas lokal.

Negara menginterpretasi prinsip-prinsip ini dalam kerangka hukum nasional untuk memutuskan, misalnya, apa makna “penghormatan” dan “partisipasi” masyarakat adat dan komunitas lokal. Namun, tanpa panduan yang jelas, interpretasi dan implementasi perlindungan REDD+ berbeda pada tiap negara. Hal ini memicu beragamnya pemahaman terkait pengalaman eksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal, pada beberapa konteks, bahkan pengakuan berbeda terhadap kelompok tersebut sebagai entitas yang layak mendapatkan status hukum khusus sesuai perjanjian internasional yang relevan.

Perlindungan diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam interpretasi hukum nasional terkait hak dan prioritas politik serta ekonomi. Konteks nasional ini mendasari proses interpretasi perlindungan di tiap negara; oleh karena itu, sebagai bagian dari tinjauan kami dalam Studi Komparatif Global tentang REDD+, kami memeriksa dokumen hukum dan melakukan wawancara dengan ahli hukum di Indonesia untuk memahami tingkat pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal dalam undang-undang dan kebijakan publik dalam konteks REDD+.

Kami merangkum temuan kami dalam sepuluh kriteria terkait pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal dalam legislasi di Indonesia, yang dinilai berdasarkan kesesuaiannya terhadap kriteria tersebut: selaras sepenuhnya (ya), sebagian (hanya beberapa aspek saja yang memenuhi kriteria) dan tidak sama sama sekali (tidak). Penelitian kami menemukan bahwa Indonesia telah memenuhi separuh dari seluruh kriteria. Kriteria yang selaras sepenuhnya adalah: pengakuan hukum atas kelompok yang secara historis kurang terwakili; keselarasan dengan perlindungan Cancun atau Sistem Informasi Safeguard (SIS); pengakuan ketidaksetaraan gender atau eksklusi perempuan; pengakuan hak aasyarakat adat atas hak tanah dan sumber daya alam; mekanisme pengaduan formal.

Kriteria yang terpenuhi sebagian adalah: pengakuan hak masyarakat adat menurut hukum internasional; pengakuan hak karbon masyarakat; pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa/FPIC); mekanisme formal pembagian manfaat; serta pelaporan dan verifikasi masalah hak dan inklusi sosial.

   Lanskap Desa Batu Majang dengan latar belakang hutan “Tana Ulen” yang secara adat dilindungi oleh suku Dayak Kenyah, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Foto oleh Ahmad Wijaya/BIOMA

Indonesia: Perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat

Indonesia memulai perjalanan REDD+ pada 2007, setelah Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 di Bali. Komitmen awal ini memicu munculnya proyek-proyek percontohan di seluruh negeri. Dua provinsi di Indonesia juga berpartisipasi dalam skema pembayaran berbasis hasil yang ada saat ini. Fasilitasi Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) di Kalimantan Timur dan Inisiatif Dana Biokarbon untuk Bentang Alam Hutan Berkelanjutan (Biocarbon Fund) di Provinsi Jambi. Seiring dengan berkembangnya REDD+ di Indonesia, diskusi terkait dukungan terhadap perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal jadi lebih relevan, termasuk wacana terkait elemen sosial penting, seperti partisipasi, pembagian manfaat dan isu gender.

Indonesia tidak mengakui istilah masyarakat adat karena menganggap seluruh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat asli. Sebaliknya, istilah “komunitas masyarakat adat” menjadi istilah yang umum digunakan dan didefinisikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52/2014 sebagai “sekelompok orang yang telah bermukim di wilayah geografis tertentu secara turun-temurun dan memiliki hubungan leluhur, hubungan kuat dengan lingkungan dan memiliki sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial budaya, dan hukum. Beberapa peraturan juga memberikan definisi masyarakat adat, seperti UU Lingkungan Hidup (UU No. 32/3009) dan UU Kehutanan (UU No. 41/1999). Hingga saat ini, Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 50 juta hingga 80 juta masyarakat adat dengan praktik budaya, pengetahuan ekologi, dan praktik pengelolaan sumber daya khusus.

Dalam praktiknya, masyarakat adat memerlukan pengakuan legal atas identitas mereka melalui peraturan daerah (Perda). Langkah ini penting karena menjadi prasayarat untuk pengakuan atas hutan adat mereka. Namun, prosedur untuk mendapatkan Perda tidaklah sederhana, dan seringkali masyarakat adat membutuhkan dukungan dan fasilitasi dari pihak luar, termasuk dari LSM.

UUD 1945 juga memberikan negara kendali atas sumber daya alam, dengan tidak mengakui hak masyarakat adat dan lokal yang telah secara tradisional mengelola sumberdaya tersebut. Namun, pada 2013, kerjasama AMAN dan LSM lain telah mendorong diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi menganggap hutan adat sebagai hutan negara. Hal ini merupakan langkah besar dalam pengakuan hak tenurial masyarakat adat dan menjadi bagian dari pengembangan kebijakan yang lebih luas yang mendukung hutan adat di Indonesia, yang menjadi salah satu dari lima skema perhutanan sosial sejak 2016. Target perhutanan sosial saat ini adalah memberikan hak atas 12,7 juta ha hutan negara ke masyarakat. Pada 1 Desember 2022, program perhutanan sosial telah mencapai 5,3 juta ha.

   Lanskap Kampung Long Apari di mana Masyarakat Adat Suku Aoheng tinggal, Kecamatan Makakam Ulu, Kalimantan Timur. Foto oleh: Ahmad Wijaya/BIOMA

Proses pengakuan formal ini sangat penting, karena perannya menentukan penerima manfaat dalam skema REDD+. Di Indonesia, rencana pembagian manfaat telah disusun secara khusus untuk program pembayaran berbasis hasil di Provinsi Kalimantan Timur dan Jambi, dengan mempertimbangkan masyarakat lokal dan masyarakat adat sebagai bagian dari penerima manfaat potensial, bahkan bagi mereka yang belum secara formal diakui.

Terkait isu gender, hal ini telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Pemerintah 2005–2025 dengan tersedianya pedoman pelaksanaan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini menjadi dasar operasionalisasi inklusi sosial dalam kebijakan dan implementasi inisiatif berbasis hutan, termasuk REDD+.

Rencana ke depan

Kajian Pustaka dan wawancara kami dengan ahli hukum dilengkapi juga dengan kunjungan kerja lapangan di dua inisiatif utama REDD+ di Indonesia: Dana Biokarbon di Jambi dan FCPF di Kalimantan Timur.

Studi kerangka hukum yang dibahas di sini akan menjadi dasar dalam analisis lebih lanjut dalam memahami bagaimana perlindungan diimplementasikan di bawah inisiatif REDD+, dalam konteks penyusunan mekanisme pembagian manfaat atau panduan FPIC di Indonesia. Kami bertujuan memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk mendukung proponen REDD+ dalam menjalankan inisiatif yang menghormati dan mendukung hak masyarakat di negeri ini.

_____

Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, silakan menghubungi Nining Liswanti (n.liswanti@cifor-icraf.org) atau Ade Tamara (a.tamara@cifor-icraf.org)

_____

Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR tentang REDD+ (www.cifor-icraf.org/gcs). Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini meliputi Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia, Inisiatif Iklim Internasional (IKI)Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, dan Keamanan Nuklir Pemerintah Federal Jerman, dan Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri (CRP-FTA) dengan dukungan keuangan dari Dana Donor CGIAR.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org