Berita

Menjembatani Kesenjangan Informasi

Di Afrika Tengah, peneliti dan jurnalis bekerja sama untuk meningkatkan pemberitaan mengenai hutan dan perubahan iklim
Bagikan
0
Radio Flambeau de l”Orient di Kisangani, Republik Demokratik Kongo. Foto oleh: Axel Fassio/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Tahun ini, jutaan orang di Afrika mengalami kekeringan, cuaca buruk dan banjir yang merupakan dampak perubahan iklim. Namun, para petani masih belum mendapatkan informasi yang cukup tentang bagaimana beradaptasi dengan perubahan iklim dan pentingnya menjaga hutan, atau menggunakannya secara berkelanjutan, untuk melindungi dari pemanasan global.

Ada banyak alasan di balik minimnya informasi tentang perubahan iklim, termasuk beragamnya bahasa yang digunakan di benua Afrika. Namun salah satu faktor utama, menurut Denis Sonwa, Ilmuwan Senior di Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), adalah jurnalis merasa tidak nyaman membahas topik tersebut.

Menjembatani kesenjangan informasi adalah sesuatu yang bisa diubah para peneliti, makalah yang diterbitkan Sonwa dan rekannya pada bulan Oktober dalam edisi khusus Journal of Environmental Media menawarkan panduan kerja sama tim antara ilmuwan dan jurnalis.

“Ketika CIFOR meminta saya untuk bekerja di bidang hutan dan perubahan iklim, saya menyadari bahwa komunikasi merupakan alat penting untuk membantu mengarusutamakan perubahan iklim dalam kebijakan,” kata Sonwa. Dia melihat peluang untuk melakukan hal itu sebagai bagian dari Proyek Adaptasi Hutan dan Perubahan Iklim Lembah Kongo (Congo Basin Forest and Climate Change Adaptation Project, CoFCCA), proyek lima tahun yang didanai oleh International Development Research Centre (International Development Research Centre, IDRC) dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris (UK Department for International Development, DFID) dan dijalankan oleh CIFOR.

“Gagasan dari proyek ini adalah untuk mengarusutamakan adaptasi perubahan iklim ke dalam pekerjaan yang berkaitan dengan isu-isu hutan dan mengarusutamakan hutan ke dalam arena perubahan iklim di Afrika Tengah,” tambahnya. “Saya pikir salah satu elemen kuncinya adalah komunikasi, dan bekerja dengan jurnalis bisa menjadi penting untuk membentuk perdebatan tentang perubahan iklim.”

Di negara-negara Afrika Tengah Kamerun, Republik Afrika Tengah (CAR) dan Republik Demokratik Kongo (DRC), kebanyakan masyarakat pedesaan bergantung pada radio untuk mendapatkan berita dan informasi, sementara televisi lebih umum di kota-kota dan surat kabar cenderung dibaca oleh elit kota.

Walaupun perubahan iklim adalah isu yang penting, topik ini belum menjadi prioritas di sekolah dan universitas, sehingga mahasiswa jurnalistik seringkali tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan untuk membuat laporan yang menyeluruh dan akurat tentang isu tersebut, kata Sonwa.

Akibatnya, penelitian mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim masih sangat terbatas. Studi CIFOR di Kamerun menemukan bahwa hanya ada 14 artikel tentang pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) muncul di surat kabar antara tahun 2005 dan 2009.

​​Bahkan tidak ada standarisasi penerjemahan untuk istilah ‘perubahan iklim’ dalam bahasa nasional dan lokal, dan kebanyakan orang yang tinggal di kota tidak mengetahui debat politik tentang pendanaan untuk hutan, kata Sonwa dan rekannya.

Memperluas pemahaman – dan perdebatan – di Afrika menjadi semakin penting, terutama karena para ilmuwan telah belajar lebih banyak mengenai pentingnya peran hutan di Cekungan Kongo untuk menyimpan karbon karena lahan gambutnya yang luas.

Sonwa dan rekan-rekannya memulai dengan mengundang jurnalis ke workshop yang sejalan dengan pertemuan para ilmuwan yang terlibat dalam proyek CoFCCA. Kamerun sudah memiliki jaringan jurnalis sains, tetapi di CAR dan DRC mereka masih mencoba mengeksplorasi berbagai media untuk mengidentifikasi jurnalis yang sudah menulis tentang masalah lingkungan dan mungkin tertarik untuk mempelajari isu ini lebih lanjut.

Pelatihan tersebut, yang diadakan antara 2009 dan 2012, menggabungkan sesi kelas dengan karyawisata, di mana 69 jurnalis yang berpartisipasi bekerja berdampingan dengan para ilmuwan untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam mengenai ekosistem hutan dan adaptasi perubahan iklim, serta metode penelitian. Waktu pelatihan juga digunakan untuk mempelajari teknik terbaru dan strategi multimedia untuk media sosial.

Pelatihan jurnalis berpengalaman memang penting, namun Sonwa dan rekan-rekannya melihat kebutuhan untuk memberikan informasi serupa kepada mahasiswa jurnalistik untuk mempersiapkan mereka dalam melaporkan masalah hutan dan iklim sejak awal karir mereka. Oleh karena itu, Sonwa dan rekan-rekannya merancang program pendampingan dua tingkat yang diujicobakan di Kamerun.

Jurnalis berpengalaman dipasangkan dengan ilmuwan selama beberapa bulan untuk berbagi draf pekerjaan mereka dan mendapatkan masukan dari para ilmuwan. Jurnalis berpengalaman ini kemudian menajdi mentor untuk mahasiswa jurnalistik. SciLife, jaringan jurnalis sains Kamerun, membantu mengidentifikasi jurnalis dan mahasiswa yang berpartisipasi untuk program ini.

Program beasiswa enam bulan juga diadakan untuk mahasiswa pascasarjana di bidang jurnalistik dan komunikasi untuk memfokuskan penelitian tesis mereka tentang adaptasi perubahan iklim dan hutan. Sebagai hasil dari pelatihan tersebut, kata Sonwa, jurnalis dan mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang sains lebih percaya diri dalam meliput topik sains dan kebijakan perubahan iklim. Sementara itu, media tempat para jurnalis bekerja telah meningkatkan jumlah liputan mereka tentang isu-isu tersebut.

Bagi mereka yang ingin meluncurkan proyek serupa, Sonwa mengatakan langkah pertama adalah memahami jenis informasi apa yang paling dibutuhkan oleh pembuat kebijakan dan publik. “Anda harus melihat kebutuhan komunikasi apa yang diperlukan pada saat itu, dan susunlah apa yang perlu Anda lakukan berdasarkan kebutuhan ini,” katanya. “Kemudian identifikasi para pakar dan jurnalis yang sudah menangani isu-isu lingkungan, terutama perubahan iklim. Bekerja sama dengan mahasiswa komunikasi dan jurnalistik di perguruan tinggi juga penting, karena mereka seringkali tidak memiliki latar belakang sains,” tambahnya.

Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan tata kelola perubahan iklim harus menjadi bagian dari kurikulum, sehingga mahasiswa jurnalistik mempunyai persiapan yang baik untuk melaporkan perubahan iklim, seperti persiapan mereka dalam meliput topik olahraga, budaya, atau masalah lainnya, katanya.

“Dunia perlu mengurangi jejak ekologisnya, dan itu tidak akan terjadi tanpa komunikasi,” kata Sonwa. “Dan jangan lupa bahwa media dapat memengaruhi keputusan politik. Ketika suatu topik diliput dengan baik di media, pihak yang mengambil keputusan akan bereaksi berbeda. Kita perlu terus membangun kapasitas jurnalis, dan kami berharap orang lain dapat belajar dari apa yang telah kami lakukan.”

Kegiatan pelatihan jurnalis adalah bagian dari Proyek Adaptasi Hutan dan Perubahan Iklim Lembah Kongo (Congo Basin Forest and Climate Change Adaptation Project, CoFCCA).

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org