Berita

Peneliti Siap Dukung Program Emisi Rendah Karbon di Kalimantan Timur melalui Evaluasi Dampak

Metode penelitian kuasi-eksperimental mencoba membantu pemerintah dalam merumuskan peraturan yang efektif, efisien, dan adil
Bagikan
0
Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Foto oleh: Aris Sanjaya/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berkomitmen untuk mewujudkan ekonomi hijau. Pada 2011, pemerintah provinsi mendeklarasikan program “Kaltim Hijau” sebagai komitmen untuk mendukung strategi reformasi ekonomi ‘hijau’. Sejak saat itu, Kalimantan Timur telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mencapai berbagai tujuan yang berhubungan dengan pembatasan produksi batu bara dan peningkatan produktivitas pertanian, khususnya di sektor kelapa sawit.

Pada Oktober 2014, Kalimantan Timur ditunjuk sebagai percontohan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang membuat provinsi tersebut terus meningkatkan upaya pengurangan emisi karbon. Sebagai program berbasis hasil, Bank Dunia akan memberikan kompensasi sebesar USD 5 untuk setiap ton pengurangan emisi (ER) CO2 yang disetujui. Program ini bertujuan untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbon di Kalimantan Timur dalam jangka waktu antara Juni 2019 dan 2024. Program ini merupakan hasil kolaborasi jangka panjang antara pemangku kepentingan Kalimantan Timur, termasuk lembaga pemerintah (dari KLHK dan pemerintah daerah), mitra non-pemerintah, dan sektor swasta.

Namun, bagaimana pembuat kebijakan dan praktisi dapat mengetahui bahwa upaya dan peraturan dalam program tersebut efektif, efisien, dan adil?

Untuk menjawab pertanyaan penting ini dibutuhkan beberapa tingkat kapasitas dalam menerapkan metode pemantauan dan evaluasi di tingkat provinsi. Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) dan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman telah mengumumkan kerja sama untuk melakukan evaluasi dampak berdasarkan pendekatan kuasi-eksperimental yang berupaya mengevaluasi hubungan sebab akibat antara suatu kebijakan atau intervensi, dengan hasilnya.

Stibniati Atmadja, Ilmuwan CIFOR-ICRAF, yang telah lama menjadi peneliti dan kolaborator REDD+ percaya bahwa kekuatan kolaborasi ini terletak pada latar belakang multidisiplin para kolaborator yang fokus pada pembangunan bersama. “Setiap orang belajar dari satu sama lain dan sama-sama dihormati karena keahliannya. Kami merancang dan mengimplementasikan penelitian ini bersama-sama.” Tim peneliti melibatkan para ahli di bidang ekonomi lingkungan, pengamatan bumi, statistik, pengelolaan data, dan kebijakan kehutanan. Tujuan penelitian dari kolaborasi ini adalah untuk memahami apakah, dan dalam kondisi apa, kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan lanskap hutan di Kalimantan Timur efektif dalam mencapai keberlanjutan. Sejak 2009, CIFOR-ICRAF dan para mitranya telah melaksanakan Global Comparative Study tentang REDD+ (GCS REDD+), mengasah keahlian teknis organisasi tersebut dalam melakukan evaluasi kuasi-eksperimental tentang implementasi REDD+. Sedangkan Universitas Mulawarman memiliki pengetahuan mendalam tentang kebijakan tata guna lahan dan dinamika kehutanan di Kalimantan Timur. Kedua organisasi percaya bahwa menggabungkan kekuatan mereka akan memberikan banyak manfaat untuk visi ekonomi hijau jangka panjang provinsi dengan mendukung pemerintah dalam membuat kebijakan yang efektif, efisien, dan adil.

   Potret lanskap Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Foto oleh: Aris Sanjaya/CIFOR-ICRAF

Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, CIFOR-ICRAF dan Universitas Mulawarman telah menyelenggarakan workshop gabungan mengenai evaluasi dampak pada 10 Oktober 2022, yang kemudian dilanjutkan dengan acara peresmian kerja sama tersebut pada 12 Oktober 2022.

Workshop yang dilaksanakan secara luring dan daring dihadiri oleh 50 peserta. Pada kesempatan tersebut, Colas Chervier, Ilmuwan Pendamping CIFOR-ICRAF dan Kolaborator Penelitian, mempresentasikan jenis metode evaluasi dampak tertentu yang “memungkinkan dilakukannya penilaian kuantitatif mengenai sejauh mana suatu intervensi memengaruhi hasil, seperti deforestasi, penggunaan lahan atau perubahan komunitas”.

“Metode kuasi-eksperimental bertujuan untuk mengidentifikasi kelompok kontrol yang kuat, yang mewakili apa yang akan terjadi pada kelompok yang menerima kebijakan dan jika tidak menerimanya, metode ini memungkinkan kami untuk mengukur secara tepat dan bebas dari bias,” katanya. Chervier menambahkan bahwa cara-cara tersebut dianggap efektif untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait efektivitas kebijakan dalam rangka perbaikan atau replikasinya. “Namun, metode ini memerlukan data khusus, terutama data pra-intervensi dan data di daerah yang tidak mendapat kebijakan tersebut.”

Dalam acara pembukaan, Bimo Dwi Satrio, Peneliti Senior CIFOR-ICRAF, menjelaskan bahwa kerjasama ini merupakan bagian dari proyek penelitian GCS REDD+ yang lebih besar. “Kami ingin memahami penyebab deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara tropis dan apa yang dapat dilakukan untuk memulihkan alam dari isu ini. GCS REDD+ saat ini sedang memasuki tahap keempat dan telah dilaksanakan di empat negara: Peru, Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia,” katanya.

Ali Suhardiman, Dosen dan Kolaborator dari Universitas Mulawarman, menambahkan penelitian kolaboratif ini akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2023, “Ini topik yang menarik karena kita bisa mengevaluasi dampak dari kebijakan dan regulasi.”

Sementara itu, Rochadi Kristiningrum dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan kolaborator menjelaskan tujuan utama dari kerja sama ini yaitu untuk menemukan, mengembangkan, dan menerapkan metode evaluasi yang bertujuan untuk memahami dalam kondisi seperti apa suatu kebijakan dapat dianggap efektif untuk meningkatkan perekonomian Kalimantan Timur, pengelolaan dan kelestarian hutan.

Mella Komalasari dari CIFOR-ICRAF dan Choiriatun Nur Annisa dari Unmul mengatakan bahwa metode evaluasi dampak ini sangat relevan untuk diterapkan di Kalimantan Timur karena dapat melihat dampak dari kebijakan yang ada yang berimplikasi pada penurunan emisi dan/atau meningkatnya tutupan hutan. Tetapi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seperti sensitivitas politik dan jaringan yang terjalin dengan pemangku kepentingan menjadi penting untuk mendukung penerapan metode tersebut. Terjalinnya hubungan antar pemangku kepentingan di Kalimantan Timur merupakan aset bagi tim peneliti, karena dapat membantu mereka untuk mengakses data yang dibutuhkan dalam kajian evaluasi dampak.

Selain membahas tuntas mengenai kolaborasi dan  penelitian kuasi-eksperimental, acara pembukaan juga membahas beberapa pembelajaran dari pendekatan evaluasi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (sebelumnya The Nature Conservancy in Indonesia).

Dina Riska, Spesialis Green Growth Compact (GGC) di Yayasan Konservasi Alam Nusantara menjelaskan secara singkat mengenai GGC yang didirikan pada tahun 2016. GGC merupakan inisiatif sukarela yang dimotori berbagai pemangku kepentingan dengan tujuan keberlanjutan, dan program ini melibatkan lebih banyak peserta dibandingkan dengan Program Kaltim Hijau. Ia menjelaskan, pihaknya secara rutin telah melakukan penilaian dampak dan program monitoring dan evaluasi untuk mengevaluasi efektivitas GGC.

GGC merupakan pendekatan evaluasi spontan yang dilakukan ketika ada intervensi dalam suatu kebijakan untuk mengevaluasi proses. Sedangkan untuk monitoring dan evaluasi, pendekatan ini mengkaji kegiatan tertentu, menemukan relevansi antara program dan tujuan. Belajar dari pengalaman, Dina menyarankan untuk melibatkan seluruh partisipan dalam proses wawancara dan pengumpulan data untuk mendapatkan data yang memadai dan terpercaya.

   Kick-off Meeting - Evaluasi Dampak Kebijakan Kehutanan: Kolaborasi Penelitian, Samarinda, Kalimantan Timur. Foto oleh: Aris Sanjaya/CIFOR-ICRAF
   Lokakarya Metode Evaluasi Dampak, Samarinda, Kalimantan Timur. Foto oleh: Aris Sanjaya/CIFOR-ICRAF

Sebelum mengakhiri sesi, beberapa peserta juga menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai keadaan yang berbeda-beda di setiap daerah dan menekankan bahwa para peneliti perlu memahami konteks lokal. Menanggapi hal tersebut, Bimo Dwi Satrio meyakinkan bahwa tim GCS REDD+ akan mempertimbangkan hal ini dan memberikan konteks lokal pada penelitian kuasi-eksperimental.

“Semoga kerja sama ini dapat memberikan masukan yang positif bagi proses pengambilan kebijakan di Kaltim,” ujarnya menutup sesi.


Kegiatan ini merupakan bagian dari Global Comparative Study tentang REDD+ yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (www.cifor.org/gcs). Kegiatan penelitian didukung oleh mitra pendanaan, antara lain Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (Norwegian Agency for Development Cooperation, Norad, Hibah No. QZA-21/0124), Inisiatif Iklim Internasional (International Climate Initiative, IKI) dari Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keselamatan Nuklir (BMU , Grant No. 20_III_108), dan CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRP-FTA) dengan dukungan dana dari CGIAR Fund Donors.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Bimo Dwi Satrio di b.dwisatrio@cifor-icraf.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org