Dalam pernyataannya pada Dialog Iklim COP 26 di Glasgow, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berkomitmen bahwa pada 2030 sektor hutan dan pemanfaatan lahan (FOLU) negara akan menjadi penyerap karbon, menyerap karbon lebih banyak daripada yang dikeluarkan.
Dalam konteks pernyataan Presiden, Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) – berdasarkan Studi Komparatif Global Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (GCS-REDD+) menggelar dialog sains dan kebijakan, yang menyoroti prioritas dan strategi nasional, termasuk pembaharuan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia.
NDC merupakan bagian dari strategi yang ditetapkan pada Perjanjian Paris PBB untuk mencegah suhu rata-rata pasca-industri naik hingga 1,5 derajat Celsius atau lebih. Setiap negara wajib menyediakan data emisi gas rumah kaca dan target pengurangan. Indonesia juga sama: mempersiapkan dan menerapkan berbagai tindakan korektif untuk memangkas emisi dari perubahan pemanfaatan lahan serta kebakaran hutan dan gambut.
Dalam NDC perubahan tahun 2021, Indonesia menegaskan kembali target reduksi sukarela pada tahun 2015 sebesar 29 persen dan target penurunan bersyarat hingga 41 persen dari skenario bisnis seperti biasa pada 2030. Terkait sektor FOLU — yang mencakup emisi dan penyerapan gas rumah kaca dari pemanfaatan lahan antropogenik, perubahan lahan dan aktivitas kehutanan — komitmen untuk membantu mencapai target NDC termasuk memulihkan 2 juta hektare lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta hektare lahan terdegradasi pada 2030.
Inisiatif REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) merupakan komponen penting dalam mencapai target dari sektor pemanfaatan lahan. Dalam sebuah inisiatif kebijakan internasional, yang awalnya dibahas pada COP11 pada 2005 dan diakui sepenuhnya 10 tahun kemudian dalam Perjanjian Paris, REDD+ dirancang khusus menjadi insentif untuk mengurangi pelepasan emisi melalui konservasi hutan tropis.
Dalam inisiatif tersebut, Tingkat Emisi Rujukan Hutan (FREL) dipantau dan diukur dari tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja REDD+ yang ditetapkan berdasarkan periode antara 1990 dan 2012. FREL pertama Indonesia untuk REDD+ diajukan ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada 2015, dan mencakup deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut. FREL pertama dan rencana menyerahkan FREL kedua pada akhir 2020.
Lebih dari 40 peserta dari pemerintahan dan organisasi non-pemerintah berpartisipasi dalam acara CIFOR-ICRAF pada Desember, mendiskusikan ekonomi, prioritas dan strategi nasional untuk mencapai NDC dan mentransformasi sektor FOLU.
“Perekonomian Indonesia diperkirakan akan membaik,” kata Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Perlindungan Hutan dan Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). “Estimasi kami Indonesia akan keluar dari jebakan penghasilan menengah pada 2036 dan menjadi satu dari lima negara berpenghasilan teratas pada 2045.”
Potensi ekonomi ini dapat mempengaruhi kapasitas Indonesia untuk mencapai target, tambahnya. Target NDC juga menjadi potensi tantangan dari segi teknis dan segi politik, “Kami perlu mempelajari apa dampaknya ke depan.”
BAPPENAS mengantisipasi kebutuhan perubahan pemanfaatan lahan untuk pembangunan sosial seperti perumahan, pertanian, dan penggunaan lain.
Secara umum, menyeimbangkan pembangunan dan menjaga agar emisi tetap rendah akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia.
“Dalam beberapa tahun kami telah menjadi satu dari 10 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi,” katanya. “Kami harus menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia masih perlu membangun tetapi kami berkomitmen untuk mengurangi emisi.”
KERANGKA REDD+
CIFOR-ICRAF, bersama para mitra, mengimplementasikan program GCS REDD+ di 18 negara sejak tahun 2019. Tahap keempat yang dimulai tahun lalu dan berlangsing hingga tahun 2023, berfokus pada Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Peru, dan kegiatan tertentu di Brazil.
“Kami telah mengumpulkan banyak data Ilmiah,” kata Bimo Dwisatrio, Peneliti Senior di CIFOR-ICRAF. “Pada fase 4, proyek GCS-REDD+ dibagi menjadi lima paket kerja.”
“Pertama, kami akan melihat arketipe deforestasi dan degradasi hutan tropis secara umum,” katanya. “Kemudian, kami akan mengeksplorasi arketipe umum Indonesia, mengisi kesenjangan data dan metode lebih cepat, lebih akurat, dan juga dengan tingkat pelaporan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi, serta sektor FOLU dengan penekanan khusus pada reservoar karbon besar.”
Dalam program kerja kedua, para ilmuwan akan memetakan intervensi kebijakan yang efektif. Program ketiga dilakukan untuk memahami resistensi terhadap perubahan dan hubungan kekuasaan yang memungkinkan perubahan. Pada program keempat, fokusnya adalah mengintegrasikan pemahaman tentang pemicu dan konteks deforestasi dan degradasi hutan dari program pertama, dampak kebijakan dan tindakan dalam konteks yang berbeda dari program kedua dan pemahaman ruang politik pada program ketiga. Langkah ini akan menyediakan target intervensi dan meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan utama di empat negara prioritas.
Pemerintah Indonesia menyoroti empat isu terkait dengan pekerjaan proyek GCS-REDD+: pertimbangan cermat terhadap hak perempuan, masyarakat adat dan komunitas lokal terkait dengan pencaharian; prinsip diferensiasi tanggung jawab dan kemampuan yang dinyatakan dalam Perjanjian Paris; Upaya besar Indonesia dalam menyediakan akses lebih luas untuk program perhutanan sosial; dan terakhir, pembagian manfaat REDD+ melalui kesepakatan dan komitmen.
KESADARAN MASYARAKAT
Indonesia memasukan rencana dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim untuk menjadi penyerap emisi bersih pada sektor FOLU sebagai komponen penting untuk mencapai target NDC.
“Sektor lahan perlu memasukkan perhutanan sosial, karena ini tentang pengelolaan hutan oleh masyarakat,” kata Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama CIFOR-ICRAF. “Mitigasi REDD+ di tingkat nasional secara statistik mengakui perubahan tutupan lahan dan tidak merinci pada pemanfaatan lahan lain di bawah pengelolaan perhutanan sosial.”
Memasukkan perhutaan sosial pada perhitungan FOLU dapat mendorong pendekatan lebih komprehensif dalam menentukan kontribusi perhutanan sosial pada penyerap karbon bersih 2030, tambahnya.
Di Indonesia, 12,7 juta hektare hutan negar dialokasikan untuk dikelola masyarakat adat atau lokal, dengan 4,8 juta hektare dikelola oleh komunitas lokal.
Program Perhutanan Sosial berada di bawah Program Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Program ini memformalkan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat.
“Perhutanan Sosial merupakan salah satu sektor yang dapat mewujudkan SFM,” kata Dyah Winarsih, Perwakilan dari KLHK. Pada saat bersamaan, dapat juga menjadi ancaman bila dilakukan tanpa pengelolaan yang tepat. Perlu dikaji sudah sejauh mana situasi saat ini, peluang pencapaian SFM, atau apakah perlu disempurnakan,” kata Dyah Winarsih.
MEMULAI PASAR KARBON
Pada November, Indonesia juga menerapkan peraturan presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang membuka jalan bagi mekanisme pasar perdagangan karbon untuk berkontribusi dalam memenuhi target reduksi gas rumah kaca pada 2030.
“Kami sedang menyiapkan skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK), khususnya pajak atas karbon,” kata Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pajak karbon akan dilakukan pada dua tingkat – perdagangan karbon dan pajak karbon. Kedua skema tersebut pada prinsipnya bersifat sukarela.”
Instrumen NEK akan diatur menjadi entitas perdagangan yang akan memulai mekanisme offset dan melalui pungutan non-perdagangan yang diterapkan pada karbon, dengan potensi pengenaan pajak karbon dan pembayaran berbasis hasil, terutama melalui REDD+. Sampai saat ini, ada tiga proyek REDD+ yang sedang berjalan: Fasilitasi Kemitraan Karbon Hutan di Provinsi Kalimantan Timur, Proyek Manajemen Bentang Alam Berkelanjutan Jambi di Provinsi Jambi, dan pembayaran REDD+ 2014-2016 melalui Dana Iklim Hijau.
“Pajak karbon akan dikenakan mulai 1 April 2022 untuk sektor batu bara hingga 2024,” kata Joko. “Pada 2025, sektor lain yang berkontribusi terhadap NDC, termasuk sektor berbasis lahan, harus bersiap untuk memulai era pajak karbon.”
Pajak karbon pada dasarnya menempatkan nilai uang pada nilai nyata emisi gas rumah kaca, atau penghasil pajak.
—
Riset ini merupakan bagian dari Global Comparative Study on REDD+ CIFOR. Mitra penyandang dana yang telah mendukung riset ini termasuk di antaranya yaitu Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad, Grant No. QZA-21/0124), International Climate Initiative (IKI) of the German, Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety (BMU, Grant No. 21_III_108), and the CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRPFTA) with financial support from the CGIAR Fund Donors.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org