BOGOR, Indonesia (5 March, 2012)_Enam tahun lalu, ratusan rumah dan persawahan di beberapa desa kecil di Kalimantan Timur diterjang banjir besar dan dibenamkan air setinggi dua meter. Walaupun tak ada korban jiwa, sejumlah besar harta benda mereka hancur – termasuk rumah, gedung sekolah, ternak dan tempat penyimpanan beras – memaksa penduduk desa berjuang mengatasinya sendiri.
Kerusakan akibat bencana alam memaksa penduduk desa pindah ke wilayah hutan sekitarnya demi memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan produk-produk yang nantinya dapat dijual guna mendapatkan uang tunai untuk membeli makanan atau menggantikan barang-barang mereka tersapu banjir.
“Beberapa ahli tadinya mencoba menyangkal peran hutan sebagai gantungan hidup masyarakat paska bencana namun studi ini jelas menunjukkan pentingnya keterkaitan antara keduanya, dan kesalahan yang diakibatkan jika mengabaikannya,” kata Nining Liswanti, peneliti CIFOR dan penulis utama Falling back on forests: how forest-dwelling people cope with catastrophe in a changing landscape.
“Jika anda menghancurkan hutan maka mereka (penduduk desa) akan semakin menderita. Adalah kewajiban moral kita untuk mengakui lebih baik peran hutan sebagai pendukung dan pengamanan,” dukung Douglas Sheil, Peneliti Rekanan Senior CIFOR yang sekaligus penulis pendamping studi ini.
“Bencana” telah dimasukkan sebagai salah satu isu penting dalam tujuan pembangunan berkelanjutan baru yang akan diluncurkan pada Konferensi Rio+20 mendatang. Degradasi lingkungan dan perubahan iklim menjadi penyebab meningkatnya kejadian bencana alam. Tak satupun negara kebal terhadap bencana, namun kemampuan penduduk dan sebuah wilayah untuk bertahan terhadap dampak paska bencana, dan untuk memulihkan diri secara cepat dan untuk tetap bertahan, erat kaitannya dengan pembangunan sosial dan ekonominya.
“Kami berharap semua yang hadir pada pertemuan Rio menyadari peran hutan untuk mendukung masyarakat dalam bertahan melewati berbagai krisis seperti banjir. Hal ini juga menjadi alasan untuk melihat bagaimana masa depan hutan dan masyarakat lokal saling terkait dan bagaimana masyarakat lokal harus diberi peran kunci dalam menentukan masa depan tersebut,” kata Sheil.
Studi ini mensurvei 42 kepala keluarga yang terkena dampak secara lokal, dan menemukan bahwa pihak yang paling rentan sangat bergantung pada kemampuannya mengakses sumberdaya hutan untuk mendapatkan bahan pangan dan sumber keuangan selama keadaan darurat.
Namun beberapa penduduk desa yang diwawancara dalam studi ini – yang difokuskan pada suku Punan dan Merap – mengatakan bahwa saat ini semakin sulit bagi mereka untuk mengakses sumberdaya hutan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup nya sehari-hari.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia berjanji untuk memindahkan masyarakat di daerah pedalaman ke pemukiman yang lebih dekat ke sekolah dan klinik (kesehatan). Pada saat bersamaan, ekspansi bisnis, seperti kelapa sawit, kayu dan pertambangan, telah memotong akses kepada lahan dan bahkan telah merusak fungsi hutan. Dengan semakin terpinggirkannya penduduk desa dari hutan, mereka beresiko tidak mampu bertahan jika, dan ketika, bencana alam terjadi.
Studi ini mendukung bahwa keterkaitan antara masyarakat dan hutan harus menjadi pertimbangan pemerintah kabupaten ketika membuat strategi pengelolaan bencana.
Peran penyelamat yang penting namun rapuh ini perlu “diakui dan dipertimbangkan,” secara formal, kata Sheil.
Salah satu solusi potensial, kata Liswanti, adalah dengan meningkatkan akses lokal jangka panjang ke hutan dan keberlanjutan hutan dengan menciptakan hutan masyarakat. Dengan mengijinkan penduduk desa mengelola hutan secara lestari dan dengan cara yang mendukung penghidupannya maka ini akan membantu mengurangi hambatan akan akses ke dan penggunaan sumber daya hutan.
“Masyarakat harus terus diberikan akses ke hutan, terutama pada masa-masa krisis,” kata Liswati menekankan.
Kemungkinan lain termasuk melindungi hutan di sekitar desa, memperbaiki peraturan tata kelola pemanenan beberapa jenis kayu (misalnya perlindungan lebih baik terhadap sumberdaya seperti sagu), melindungi sumberdaya kunci dan menyediakan kesempatan kerja.
“Faktor-faktor yang berperan memelihara nilai-nilai ekologis dan konservasi hutan – perencanaan lingkungan, pemanenan dengan dampak diminimalisir, dsb. – adalah faktor yang sama yang berperan memelihara fungsi pengamanan hutan,” jelas studi tersebut.
Karena beberapa penduduk desa enggan dipindahkan dari wilayah rawan banjir, kekeringan dan serangan hama pertanian, membuat pemeliharaan hutan dan produk serta jasa yang dihasilkannya menjadi semakin penting.
“Menemukan lokasi sesuai dengan ketersediaan air dan akses terhadap fasilitas terbukti sulit,” kata para penulis. Sebagai konsekuensinya, masyarakat tetap terhadap banjir di masa datang.
Publikasi baru ini adalah bagian program penelitian CIFOR di bidang Hutan dan Lingkungan dan disponsori oleh Komisi Eropa.
Diterjemahkan oleh Nita Murjani
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org