Menurut Para Ilmuwan, Kebakaran Lahan Gambut di Indonesia Dapat Diprediksi Menggunakan Pendekatan Evaluasi Baru
Menurut para ilmuwan, kebakaran lahan gambut Indonesia dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan yang baru dikembangkan dengan mempertimbangkan dampak-dampak perubahan iklim dan membantu memprediksi titik-titik panas emisi karbon dan polusi udara dari pembakaran gambut.
Sebuah indeks terkait dengan hujan yang digunakan oleh Badan Meteorologi Jepang telah menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan kebakaran-kebakaran lahan gambut aktif di Indonesia daripada tolak ukur konvensional berdasarkan pola-pola iklim El Niño-Southern Oscillation (ENSO) selama dua dekade terakhir.
Menurut suatu studi terbaru yang didanai oleh Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Universitas Palangka Raya (UPR) di Indonesia, temuan-temuan tersebut, yang difokuskan pada tingkat-tingkat air tanah sebagai penentu utama kebakaran gambut, akan mempermudah respon terhadap perkiraan kebakaran yang berhubungan dengan perubahan cuaca dan iklim ekstrim.
Kebakaran lahan gambut merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca, partikel-partikel halus dan aerosol, memperburuk perubahan iklim, dan membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran tersebut dapat membara selama berbulan-bulan dan berhubungan dengan pengelolaan lahan serta aktivitas lain di sekitar pemukiman manusia.
Para petani telah menggunakan api secara tradisional sebagai cara yang murah dalam membuka lahan untuk pertanian di Indonesia, yang memiliki salah satu tingkat tertinggi dari deforestasi dan degradasi hutan di dunia.
Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan tujuan untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi.
Kebakaran terburuk di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir dimulai dengan Kebakaran Besar Kalimantan (1982‒1983), yang dikaitkan dengan episode ENSO yang kuat. Suhu permukaan laut dan angin di Samudra Pasifik di daerah khatulistiwa berfluktuasi selama siklus-siklus ini dan dapat mempengaruhi cuaca global. Mereka juga mempengaruhi curah hujan tropis dan dapat mengakibatkan kondisi yang sesuai untuk kebakaran hutan dan peristiwa-peristiwa ekstrim lainnya.
Pada tahun 2019, kebakaran lahan gambut terjadi tanpa korelasi ENSO ini. Hal ini mendorong para ilmuwan untuk mencari pendekatan baru yang mempertimbangkan dampak dari perubahan iklim terbaru terhadap kebakaran-kebakaran di Indonesia.
“Analisis kami tentang kebakaran gambut di Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan bahwa mereka sulit untuk dipadamkan bahkan dalam periode hujan lebat – hal itu tergantung pada tingkat air tanah,” kata Hiroshi Hayasaka, seorang peneliti di Pusat Penelitian Arktik Universitas Hokkaido di Jepang dan penulis utama studi tersebut. “Pada tahun-tahun ketika curah hujan rendah, kebakaran gambut menjadi sangat aktif.”
Ketiga penulis tersebut fokus pada kawasan hutan rawa tropis didekat Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, di mana dulu Mega Rice Project membangun 4.000 kilometer saluran irigasi yang mengaliri lahan gambut disekitarnya. Akibatnya, gambut kering yang mudah terbakar (kelas rendah batubara) dalam volume yang sangat besar menjadi terpapar, dan menyebabkan kebakaran berulang di kawasan tersebut.
Indeks terkait hujan Jepang dikenal sebagai OLR-MC (Outgoing Longwave Radiation – Maritime Continent) dan mengukur transportasi panas dan kelembaban atmosfer diatas Indonesia (dari Kalimantan sampai Papua Barat).
Indeks itu diperkenalkan untuk menganalisis enam kebakaran lahan gambut terbesar di Kalimantan dari tahun 2002 hingga 2018, dan hasilnya menunjukkan bahwa kebakaran tersebut terjadi dalam tiga tahap: kebakaran permukaan, kebakaran lahan gambut dangkal dan kebakaran lahan gambut dalam.
Para ilmuwan kemudian mengusulkan model prediksi untuk tingkat air tanah, yang penting untuk mengetahui kondisi kekeringan gambut dan yang diperkirakan dari curah hujan harian. Analisis menunjukkan bahwa kedalaman air tanah untuk masing-masing tahap kebakaran berkisar dari sekitar 300 milimeter hingga 500 milimeter.
Kebakaran lahan gambut selama tiga tahap tersebut tergantung pada nilai-nilai ini: ketika tingkat air tanah turun, kadar kelembaban gambut menurun dan dapat dibakar dengan lebih mudah.
“Model yang diusulkan sangat sederhana – semua yang dibutuhkan adalah perkiraan curah hujan harian,” kata Hayasaka. “Dalam kasus Indonesia, penting untuk mengukur tingkat air tanah masing-masing lahan gambut dan mengambil langkah-langkah untuk memastikannya tidak berada di bawah 300 milimeter.”
Kebakaran-kebakaran lahan gambut aktif di Indonesia — termasuk yang terjadi pada tahun 2019 ketika kondisi El Niño netral — dapat dijelaskan oleh tingkat air tanah tersebut. Menurut Aswin Usup dari UPR yang mensupervisi penelitian ini, khususnya penting untuk memprediksi kejadian kebakaran lahan gambut dalam, dimana model evaluasi yang diusulkan mampu melakukannya.
Teknologi satelit mendukung pendekatan baru ini. Data curah hujan disediakan oleh Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang, Badan Meteorologi Jepang dan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat, sedangkan satelit Terra dan Aqua yang dioperasikan oleh NASA mengirimkan data dari instrumen pencitraan yang mendeteksi kebakaran-kebakaran hutan tropis dan lahan gambut.
“Pendekatan evaluasi berbasis curah hujan ini mengisi kebutuhan penelitian yang menghubungkan prediksi kebakaran lahan gambut dan tingkat air tanah,” kata Daisuke Naito, peneliti CIFOR dan salah satu penulis studi tersebut.
Penggunaan indeks OLR akan sangat berguna untuk menganalisis kebakaran-kebakaran tropis di masa depan yang terkait dengan El Niño dan perubahan iklim,” Hayasaka menambahkan.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org