Berita

Indonesia akan mengeluarkan revisi peta moratorium di minggu ini, pernyataan ketua Satgas REDD+

Kalangan bisnis menyambutnya dengan cemas. Sementara, pegiat lingkungan kecewa karena ruang lingkup yang sempit dan banyak pengecualian.
Bagikan
0
Foto oleh Aulia Erlangga untuk CIFOR

Bacaan terkait

DURBAN, Afrika Selatan (8 Desember, 2011)_Ketua satuan tugas (satgas) REDD+ Indonesia, Kuntoro Mangkusubroto mengatakan,  dalam minggu mendatang, rilis revisi peta moratorium akan dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan berisi informasi rinci cakupan kawasan yang masuk  ke dalam perlindungan dua tahun dari konsesi baru di hutan primer dan lahan gambut.

“Peta akan diunduh di situs kementerian kehutanan minggu depan. Kemenhut juga akan mengadakan lokakarya guna mendapatkan masukan dari publik,” katanya lebih lanjut  di sela-sela acara perundingan iklim tingkat tinggi di Durban, Afrika selatan. Rilis ini adalah revisi pertama peta moratorium indikatif (IMM), yang secara berkala dalam enam bulan sekali akan dilakukan revisi serta peninjauan ulang.

Pada saat moratorium diumumkan pertama kali oleh Pemerintah  Indonesia di bulan Mei 2011, kalangan bisnis menyambutnya dengan rasa cemas,  khawatir moratorium  akan memberikan dampak bagi laju pertumbuhan ekonomi akibat pembatasan peluang pembangunan berbasis kehutanan. Di sisi lain, para pengiat lingkungan juga kecewa karena sempitnya ruang lingkup serta banyaknya pengecualian dalam moratorium tersebut.

Penelitian terbaru terbitan Center for International Forestry Research (CIFOR) menemukan,  kawasan tambahan yang diberikan perlindungan di dalam moratorium, paling besar  adalah seluas 22,5 juta hektar (Mha), terdiri dari 7,2 Mha hutan primer, 11,2 Mha lahan gambut dan 4,1 Mha diluar kedua kategori tersebut.  Disebutkan juga, peta indikatif penting diperbaharui secara kontinyu,  karena dapat berfungsi sebagai mekanisme dan perangkat pengawasan publik bila ada kemungkinan perluasan cakupan kawasan moratorium.

Saat ini Kementerian Pertanian tengah memeriksa lokasi lahan gambut langsung di lapangan, ujar Heru Prasetyo, anggota satgas.  80 persen pekerjaan sudah selesai dan sebagian hasilnya sudah dimasukkan di peta revisi pertama, sementara sisanya  akan  masuk di revisi berikutnya, tambahnya.

Aplikasi moratorium  di lahan gambut terindikasi dapat menghasilkan manfaat lingkungan paling signifikan karena besarnya kapasitas penyimpanan karbon, menurut penelitian CIFOR. Karbon lahan gambut menyumbang 74 persen dari keseluruhan pool tanah hutan Indonesia, keterangan sebuah penelitian awal tahun ini dan diterbitkan di jurnal Global Change Biology.

Moratorium dua tahun, terhitung mulai  20 Mei 2011, merupakan bagian dari kesepakatan Norwegia dan Indonesia, dimana dana sebesar US$ 1 milyar dalam skema REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) diberikan untuk membantu pencapaian komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu pengurangan emisi perubahan iklim hingga 41 persen pada tahun 2020.

Indonesia berencana menggunakan periode dua tahun tersebut sebagai (alat) konsolidasi guna menghasilkan satu peta rujukan dari berbagai jenis peta yang saat ini digunakan oleh para kementerian, kata Mangkusubroto.

Untuk melihat liputan lain dari acara ini, silahkan kunjungi blog dari organisasi ini:
The Center for People and Forests (RECOFTC)

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org