REDD+: Satu warna penting pada palet strategi perlindungan hutan
Solusi berbasis-alam makin menjadi bagian penting dalam dialog perubahan iklim internasional. Pada 2019, para donor sepakat untuk membayar Brasil dan Indonesia atas terhindarinya deforestasi terverifikasi. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sedang mempertimbangkan apakah penerbangan bisa memanfaatkan kredit berbasis karbon untuk mengganti emisi karbonnya.
Pada saat bersamaan, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dampak iklim pada hilangnya tegakkan hutan adalah enam kali lebih buruk dari pandangan sebelumnya. Estimasi terbaru menyatakan untuk menghentikan deforestasi, bersama dengan solusi iklim alami lain, dapat memberi 37 persen reduksi emisi yang diperlukan pada 2030 untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius.
Kini hutan berada kokoh dalam agenda iklim internasional, kata Frances Seymour, mitra senior terhormat World Resources Institute (WRI). “Meski orang berpikir bahwa REDD+ adalah sesuatu yang dilakukan kakek mereka, sudah berlalu, dan tidak bekerja,” katanya, merujuk pada pendekatan dukungan PBB untuk melawan perubahan iklim, kependekan dari Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan.
Ini kesalahpahaman, katanya. Dalam sebuah Publikasi Ringkas WRI, ia dan para ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) serta mitra perguruan tinggi lain mengungkap hikmah implementasi REDD+ di lapangan dalam dekade terakhir, dan bagaimana upaya di masa datang bisa dibangun dari pengalaman ini.
“Ada peluang yang sangat jelas untuk mengintegrasikan REDD+ dengan inisiatif global tambahan dalam melindungi dan merestorasi hutan di skala yurisdiksional,” kata ketua penulis penelitian Amy Duchelle, ilmuwan senior dan ketua tim riset perubahan iklim CIFOR.
Evolusi REDD+
Pada tahun-tahun awal, aktivitas REDD+ dilakukan dalam proyek kecil dan lokal, meski skema arsitekturnya diperdebatkan oleh perunding iklim internasional.
Namun, di bawah Perjanjian Paris 2015, disepakati bahwa penghitungan dan pembiayaan REDD+ akan diimplementasikan di tingkat negara, atau lintas yurisdiksi sub-nasional seperti negara bagian dan provinsi. REDD+ tidak lagi menjadi rangkaian proyek terpisah-pisah, muncul dan mati.
Beroperasi pada skala yurisdiksional memunculkan risiko kebocoran – memindahkan deforestasi ke area lain – dan kepermanenan, kata Seymour. “Jika kita melakukan implementasi pada skala proyek, satu saja kebakaran besar bisa menghapus seluruh simpanan stok karbon, tetapi jika kita melakukan implementasi pada skala sangat luas, bahkan kebakaran besar tidak akan menghapus semuanya.”
Masalah seperti ketidakamanan tenurial atau lemahnya hak adat juga hanya dapat diatasi pada tingkat nasional. “Ini bukan kejutan, tapi kendala kunci dalam melindungi hutan adalah kendala yang tidak bisa diatasi pada tingkat proyek.”
Proyek REDD+ terbukti bermanfaat saat uji coba, dan memberi beberapa pelajaran penting yang akan membantu membentuk masa depan REDD+, kata Duchelle – bahkan jika masa depan menjauh dari proyek ini. Salah satu contohnya adalah proyek Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Proyek ini melindungi tegakan hutan gambut di tengah lautan kelapa sawit dan memperkuat penghidupan masyarakat di kawasan proyek.
“Kini kuncinya adalah mendapatkan peran proyek-proyek REDD+ tersebut dalam perhitungan karbon besar: bagaimana Katingan disesuaikan dengan apa yang dilakukan Kalimantan Tengah, dan bagaimana laporan Indonesia pada UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB).