Bagikan
0

Bacaan terkait

Sama halnya dengan sungai-sungai perkotaan di berbagai negara, tepian sungai Ciliwung selaiknya bukan lahan yang diperuntukkan untuk perumahan. Gubuk-gubuk kayu menumpuk satu sama lain di jalur sungai di kota Jakarta, aliran air menerobos perahu-perahu mesin diesel dan pulau-pulau sampah plastik bermuara di Laut Jawa, termasuk menerobos hutan bakau dan aliran air bening. Tidak mengherankan  garis pantai kota semakin terkikis, menjadikan Jakarta dikenal sebagai kota yang akan tenggelam.

Indonesia memiliki kurang lebih 100.000 kilometer garis pantai, rumah bagi 23% dari hutan mangrove dunia, serta lahan gambut, padang lamun, terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya dalam kondisi lingkungan sempurna berperan sebagai Tembok Besar suatu negara dahulu dan sekarang, dan berfungsi sebagai lini pertama perlindungan dan sumber utama mata pencaharian. Lamun dan mangrove  menyimpan sedikitnya 17% dari ‘karbon biru’ dunia – karbon yang disimpan di ekosistem pesisir, dengan kepadatan hingga empat kali lebih banyak dari hutan terestrial. Hal ini menempatkan ekosistem pesisir Indonesia sebagai penyerap karbon yang penting, termasuk juga potensi bahaya besar bagi iklim nasional dan global, baik secara lingkungan maupun ekonomi.

Namun, meski memiliki tingkat kehilangan mangrove tertinggi di dunia, Indonesia belum memiliki kebijakan nasional tentang penanganan karbon biru, atau mengatasi bentang alam pesisir secara holistik.

Seperti ekosistem pantai, mengurangi laju cepatnya kehancuran dan meningkatkan pemulihan memerlukan pertemuan – ilmu pengetahuan, kebijakan dan keuangan; dan upaya sub-nasional, nasional dan internasional di semua lini. Blue Carbon Summit, yang diadakan di Jakarta 17–18 Juli lalu, mempertemukan 240 pelaku kepentingan dari kementerian, pemerintah berwenang dengan para peneliti internasional – serta 1.299 lebih peserta yang menonton langsung melalui daring  – semua bertemu membahas ekosistem penting ini dari semua arah, baik persoalan teknis (dampaknya pengasaman laut, bagaimana mengukur perubahan tingkat permukaan tanah) hingga peran politik (peran karbon biru dalam diskusi UNFCCC; serta dampaknya pada pemilihan presiden Indonesia 2019).

“Jika Anda membaca berita, isinya hanya berkisar soal hutan Amazon, hutan hujan, deforestasi,” kata Robert Nasi, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). “Namun 60% populasi dunia tinggal di daerah pesisir. Dan daerah pesisir sepertinya agak dilupakan. Sangat penting untuk memahami bagaimana ekosistem ini bekerja dan bagaimana kita dapat memulihkannya, karena jika kita tidak melakukan upaya itu, diperkirakan pada tahun 2040 akan diperlukan biaya dunia sebesar 14 triliun dolar Amerika.”

“Pelajaran yang telah dialami berulang kali yaitu sains harus hadir di dalam ruang hampa,” kata Emily Pidgeon, Direktur Senior Inisiatif Kelautan Strategis Konservasi Internasional. “Kebijakan harus menggabungkan ilmu pengetahuan sejak hari pertama.”

Sebagai hasil pertemuan Blue Carbon Summit akan menghasilkan satu set ‘white paper’ pada karbon biru dan ekosistem pesisir, yang dipimpin oleh Daniel Murdiyarso, peneliti utama CIFOR dan ketua perhelatan, untuk menjadi bahan informasi bagi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas) dalam tata laksana bentang alam ini.

Pada tingkat global, sejumlah inisiatif seperti REDD+, Aksi Mitigasi yang Tepat Secara Nasional (NAMAs), Perjanjian Paris, SDG – mengarustumakan karbon biru ke dalam perundingan. Semenjak pembentukan Kemitraan Internasional untuk Karbon Biru di Forum Bentang Alam Global 2015 di Paris hingga masuknya isu ekosistem pesisir dan lahan basah ini tahun 2016 dan 2017 di perundingan COP, jelas bahwa momentum sedang dimaksimalkan.

Namun, alih-alih menggali rincian komitmen dan diskusi global, gaung pesan di Blue Carbon Summit terus berulang yaitu perlunya lebih banyak kemitraan internasional seputar masalah karbon biru, guna mengatasi banyak kekurangan: kurangnya keuangan, kurangnya kebijakan, kurangnya data, dan kurangnya kolaborasi lintas sektor yang membawa elemen-elemen ini menuju perubahan.

Idealnya, pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk pembuatan kebijakan yang selanjutnya didukung dan direfleksikan oleh kemitraan global dapat membantu mengatasi berbagai masalah yang ada di bawah payung karbon biru, baik di Indonesia maupun di luar.

“Saya pikir pemerintah tidak dapat melakukannya sendiri,” kata Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kelautan sebagai pembicara kunci di hari kedua penyelenggaraan acara.

Melihat kebelakang, judul acara yaitu  “Mengarusutamakan karbon biru ke dalam agenda nasional untuk memenuhi komitmen global” dapat menyesatkan bila tidak memahami ‘karbon biru’ sebagai titik masuk ke ekosistem masalah, bukan sebagai kata kosakata baru.

“Jika Anda melihat karbon biru, tolong jangan hanya melihatnya sebagai karbon,” desak Nyoman Suyadiputra, Direktur Eksekutif program Wetlands International-Indonesia. “Karbon biru adalah kata seksi untuk mempromosikan penelitian, dan tetapi kita harus melampaui itu,” kata Murdiyarso.

Dalam ‘luar’ itu adalah sasaran iklim nasional dan internasional, ekonomi biru (pelayaran, pariwisata, perikanan, penambangan, transportasi, energi), dan manusia dan mata pencaharian.

Dari perspektif yang luas tetapi perlu dari definisi itu, kebijakan karbon biru Indonesia telah secara inheren disatukan sejauh ini, dengan berbagai kementerian – Departemen Perhubungan, Urusan Maritim dan Perikanan, Pariwisata, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Keuangan, Industri, Pertahanan, dll – mengatur sinergitas bentang alam dan industri terkait.

Dalam panel terakhir, anggota dari tiga kementerian berbeda berdiskusi menemukan contoh kebijakan nasional yang mengatur ekosistem pesisir dengan cara lebih efektif. Para pembicara berulang kali mengutip anggaran sebagai hambatan,  kelompok kerja mangrove lintas kementrian yang saat ini tidak aktif karena keterbatasan dana, dan kurangnya dukungan regulasi menarik pendanaan swasta membantu kementerian melaksanakan mandat.

Kesenjangan pengetahuan juga menjadi jelas selama diskusi. Masalah penguasaan lahan, yang berulang kali ditemukan oleh kelompok riset menjadi penghalang utama bagi pengelolaan lahan berkelanjutan dan risiko terbesar yang dirasakan para investor luar, disuarakan dalam tiga pertanyaan berbeda dari partisipan, hingga tidak ada jawaban dari para politisi.

Pidgeon memberikan anekdot pedas tentang penelitian bakau di Australia – terjadi juga, “pendanaan sudah menjadi sia-sia” – memberikan ilustrasi kesenjangan bahasa antara pembuat kebijakan dan ilmuwan, yang dapat mengakibatkan pembuat kebijakan tidak memiliki atau mampu mengkomunikasikan data spesifik apa yang mereka butuhkan untuk memberi informasi pengambilan keputusan.

Menyediakan lebih banyak platform dialog tentu saja merupakan salah satu cara mengatasi masalah-masalah seperti itu – seperti pertemuan ini – namun demikian juga dapat memulai arsitektur pemerintahan di lapangan di masyarakat daripada di kantor-kantor birokrasi Jakarta. Dalam sesi sebelumnya, Anisa Budiayu, Koordinator Program Praktik Berkelanjutan di The Nature Conservancy Indonesia, membahas bagaimana kebijakan tingkat kabupaten dapat menginformasikan tingkat provinsi, dan kemudian memberi masukan ke tingkat nasional. Emil Salim, pendiri Yayasan Kehati dan mantan penasihat ekonomi Presiden Soeharto, juga mengacu pada efektivitas sistem adat Sasi di Provinsi Maluku, yang menggunakan kesadaran lingkungan leluhur untuk mengatur penangkapan ikan dan keseimbangan ekosistem laut secara keseluruhan.

Memperkuat koalisi antarpemerintah, mengatasi kompleksitas perpecahan historis dan geografis, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal, dan menyediakan mata pencaharian yang lebih berkelanjutan dan alternatif bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir merupakan poin-poin penting yang akan dibahas oleh Murdiyarso dalam ‘white paper‘.

Luhut Pandjaitan, menteri koordinator mempunyai tugas untuk melihat kurangnya komunikasi menteri di masa lalu, juga membahas tujuan yang lebih luas, memperingatkan terhadap politik yang segera dan sempit menjelang pemilihan presiden 2019.

“Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan, bukan hanya siapa yang akan menjadi wakil presiden kita berikutnya,” katanya, seraya mengingatkan tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan negara itu sendiri, seperti target Presiden Joko Widodo untuk mengurangi plastik buang 70% pada tahun 2025. “Bagaimana kita bisa menarik wisatawan dengan memiliki foto semacam ini dengan begitu banyak sampah plastik di pantai? … Bagaimana kita bisa membuat masyarakat kita memiliki disiplin? ”

“Politisi menginginkan program yang sesuai dengan ketentuan lima tahun,” kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). “Kami membutuhkan seorang pemimpin yang membuat kebijakan melampaui jangka waktu lima tahun, yang memungkinkan anak-anak dan cucu melihat hasilnya. Apa pun di lingkungan, Anda tidak dapat melakukannya dengan cepat.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org