Bagikan
0

Merayakan Hari Satwa Liar Dunia pada 3 Maret 2018, sebagai peringatan tahunan penandatanganan Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Terancam Satwa dan Tumbuhan Liar (CITES).

Kawasan lindung merupakan kunci dalam upaya konservasi keragaman hayati global. Tetapi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa perburuan dan aktivitas rekreasi menjadi ancaman signifikan bagi suaka satwa liar tersebut di seluruh dunia.

Penelitian ini menggabungkan data dari hampir 2000 kawasan lindung (KL) di 149 negara. Sebanyak enam puluh persen lokasi survey menyatakan perburuan sebagai ancaman, sementara 55 persen menunjuk pada aktivitas rekreasional. Hasil ini sekaligus mengungkap perbedaan geografis. Aktivitas rekreasional menjadi ancaman terbesar di daerah ‘maju’ seperti Amerika Utara dan Eropa. Sementara perburuan mendominasi daerah ‘berkembang’ seperti Afrika Tengah dan sebagian Amerika Selatan dan Asia.

“Penelitian ini benar-benar menunjukkan perbedaan pemanfaatan oleh masyarakat terhadap KL di wilayah berbeda di dunia,” kata Lauren Coad, peneliti Inisiatif Penelitian Pangan Satwa Liar (Bushmeat Research Initiative/BRI) di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang menjadi salah seorang penulis laporan ini.

Di wilayah maju, lanjutnya, upaya memperkuat perlindungan bisa relatif langsung: misalnya, melarang kunjungan turis ke KL. Meski bukan langkah populer, namun tidak akan membuat ada yang kelaparan. Namun, di wilayah berkembang, mengatasi ancaman terbesarnya – perburuan – merupakan proposisi yang lebih kompleks.

   Seekor macan tutul Jawa tertangkap kamera di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat, Indonesia.

BERBURU UNTUK HIDUP

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, telah berburu satwa liar selama ratusan tahun. Di banyak permukiman terpencil, masyarakat  masih bergantung pada daging satwa liar sebagai sumber penting protein dan mikronutrisi. Menghalangi masyarakat di wilayah tersebut untuk berburu akan menjadi tidak etis, karena menurut Coad, dapat berdampak negatif bagi penghidupan dan keamanan pangan lokal.

John Fa, mitra peneliti senior CIFOR dan salah seorang pimpinan BRI, menceritakan sebuah pertemuan ketika tim penelitiannya bertanya pada anggota masyarakat, alternatif apa yang akan dilakukan jika mereka berhenti berburu. “Dan saya ingat, seorang pria berusia 70 tahun menjawab ingin menjadi pilot. Tentu saja ini bergurau – cara lain berkata, ‘Yang benar saja, Anda sedang berbicara di mana?’”

Lebih dari itu, menurut Coad, jenis perburuan subsisten – jika dikelola dengan baik oleh masyarakat lokal dan staf KL – bisa berkelanjutan. Tentu saja, tegasnya, jika jumlah penduduknya besar yang tinggal dekat KL yang relatif kecil, perburuan subsisten akan berdampak signifikan pada satwa liar. “Dan dalam kasus itu, kita harus bekerja sama dengan masyarakat lokalnya untuk mencari solusi,” katanya.

Apalagi, ketika kepentingan komersial skala besar terlibat, pengaturan untuk menjaga keberlanjutan akan lebih sulit.

GENG BERSENJATA

“Sebagian masyarakat menyebut perburuan komersial sebagai ‘penambangan terbuka satwa liar’, karena mereka memasuki satu wilayah dan mengambil semua yang bisa dibawa, dan ini jelas tidak kondusif bagi pemanfaatan lestari satwa liar,” kata Fa.

Pemburu jenis ini biasanya berpindah-pindah, memiliki persenjataan lengkap, dan cenderung mengincar spesies bernilai tinggi – dan sangat terancam – seperti gajah, singa, harimau dan trenggiling untuk pasar urban dan internasional.

“Saya pikir ‘berburu’ seringkali ditempatkan sebagai aktivitas homogen,” kata Coad, “Dan ini bisa membentuk asumsi bahwa perburuan subsisten merupakan sebuah masalah. Namun, seringkali bukan masyarakat lokal terpencil di hutan yang berdampak besar pada satwa liar. Padahal adanya sekelompok pemburu komersial yang datang, lebih sulit dihadapi di tingkat lokal. Perlu penguatan hukum satwa liar di tingkat nasional dan internasional.”

Menjadi penting untuk tidak mengaburkan perburuan subsisten dengan proses ektraktif skala besar tersebut, tegas Fa. “Perburuan merupakan masalah besar bagi kawasan lindung, tetapi kita perlu membedakan jenis-jenis perburuan yang terjadi.”

   Seekor burung Blyth's Hornbill (Rhyticeros plicatus). Foto CIFOR/Manuel Boissière

MASALAH LOKAL, SOLUSI GLOBAL

Oleh karena itu, mengurangi permintaan nasional dan global, sama pentingnya dengan bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam mengelola akses terhadap satwa liar. Menyediakan alternatif daging satwa liar di perkotaan, kata Coad, merupakan satu kotak teka-teki tersendiri. Ini pun menghadapi tantangan lain, urbanisasi aktual di banyak wilayah berkembang berarti banyak penduduk baru kota masih ingin membeli dan mengkonsumsi daging satwa liar, “sebagian karena sudah familiar, dan lebih disukai dibanding daging domestik seperti babi atau ayam,” katanya.

Coad sendiri bisa jadi contoh: saat ini ia tinggal di Bogor, Indonesia, dan daripada makanan Indonesia, “Saya masih pergi ke supermarket di Jakarta untuk belanja barang yang saya tahu dari Eropa: bukan karena lebih enak; hanya lebih familiar saja, dan saya tahu bagaimana memasaknya. Dan saya sering lupa elemen itu ketika diperkenalkan hal baru.”

Coad mengutip penelitian di Brasil ketika ayam pertama kali diperkenalkan dengan harga diskon sebagai alternatif daging satwa liar. Upaya ini tidak berdampak pada konsumsi daging satwa liar hingga para peneliti menjalankan strategi pemasaran sosial, termasuk kelas memasak untuk menunjukkan bagaimana mempersiapkan menu ayam. “Dan tiba-tiba, konsumsi daging satwa liar berkurang lebih dari 60 persen. Ini benar-benar menunjukkan, jika kita tidak tahu bagaimana mempersiapkan sesuatu, kita tidak akan mengubah preferensi. Ini juga menunjukkan bagaimana kita harus memikirkan pendekatan berbeda.”

Elemen lain manajemen yang baik, kata Coad, adalah akses pada informasi yang baik. Dan salah satu fokus kunci BRI adalah menggabungkan data, seberapa besar masyarakat lokal memanfaatkan daging satwa liar untuk nutrisi dan penghasilan. Dari titik itu, mereka berharap pemerintah nasional memberi estimasi kontribusi pada GDP, agar hal ini bisa dikelola, seperti sektor lainnya. “Karena seringkali, kita manusia, jika tidak menempatkan nilai pada sesuatu maka kita tidak menjaganya, karena kita tidak menganggapnya penting,” katanya.

Selain itu, kata Coad, perlu juga untuk memelihara lobi dalam menurunkan permintaan nasional produk turunan spesies terancam, seperti gading gajah, dan produk pengobatan dari trenggiling.

“Kita hidup dalam masyarakat yang makin terhubung. Untuk melindungi trenggiling di Gabon diperlukan perubahan preferensi konsumen yang berada di belahan bumi lain. Sebagai konsumen, kita memberi dampak pada ekologi, dan kita harus menjadi bagian dari solusi.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Lauren Coad di l.coad@sussex.ac.uk atau John Fa di jfa949@gmail.com.
Riset ini didukung oleh USAID, UKAID and the European Union under the Bushmeat Research Initiative
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org