Bagikan
0

Di negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil Budha di Himalaya, seringkali ini jalan tengah yang dipilih.

Ada jalan tengah antara agama dan penekanan keseimbangan spiritual, dilambangkan oleh Bendera Doa (prayer flags) dan kuncup pagoda mengintip di celah-celah pepohonan di gunung. Lalu ada Jalan Lateral, jalan raya utama terbentang dari timur ke barat dan persis terletak tengah-tengah Bhutan, tempat Robin Sears, konsultan CIFOR dan Asisten Profesor di Hampshire College, mengemudikan sepeda saat ia mengunjungi hutan penelitian, desa dan pemerintahan.

Pendekatan jalan tengah juga berlaku bagi indeks pembangunan yang dirancang oleh pemerintah Bhutan: Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH), yang dikonseptualisasikan oleh raja keempat di tahun 1970an dan merupakan pengganti ukuran standar Produk Domestik Bruto (GDP) yang lebih holistik.

Ditetapkan oleh Konstitusi Bhutan tahun 2008, indeks GNH hingga saat ini berfungsi sebagai tolok ukur bagi setiap legislatif (Kebijakan) yang berlaku di negara ini, memastikan keseimbangan empat pilar pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, pengembangan sosioekonomi yang adil dan tata pemerintahan yang baik.

“Sangat luar biasa melihat GNH menjadi tolok ukur keseimbangan sosioekonomi dan lingkungan,” kata Sears. “Hal ini dilakukan terstruktur dalam proses pembuatan kebijakan. Setiap proposal untuk pengembangan dan anggaran dan kebijakan harus melalui Komisi GNH guna melihat apakah memenuhi persyaratan keseimbangan empat pilar. Ini melibatkan berbagai sektor untuk bekerja bersama-sama. ”

Seringkali, pilar GNH bekerja seperti domino yang saling bergantung satu sama lain. Suatu hubungan masyarakat yang baik dengan lingkungan mengarah pada pelestarian budaya, dan menerapkan tata kelola untuk membantu mendukung lingkungan melalui praktik ekosistem hutan yang tepat. Pembangunan sosioekonomi berbasis lingkungan kemudian terjadi, dan seterusnya.

Hingga saat ini masih sangat sedikit dilakukan riset tentang reaksi berantai hubungan antara GNH dan kehutanan. Robin Sears beserta lima rekan peneliti, baru-baru ini menerbitkan sebuah makalah yang menelaah dari literatur yang tersedia tentang GNH dan menilai bagaimana hutan mengikat kerangka ini.

“Saya pergi ke Bhutan sejak 2009, dan saya selalu mendengar dari rekan-rekan saya bahwa kami tidak memiliki bukti untuk hal ini atau itu,” kata Sears.

“Jadi saya duduk dengan beberapa dari mereka, berbicara sambil makan malam, dan kami menyadari bahwa pertama-tama kami perlu mendefinisikan apa yang kami butuhkan untuk bukti, apa masalah paling penting dalam layanan ekosistem hutan di Bhutan. Jadi kami berkata, ‘ayo kita lakukan ini!'”

MENGATUR SASARAN

Para peneliti menetapkan untuk menentukan garis dasar bagaimana hutan dikaitkan dengan arah perkembangan negara tersebut.

“Semua yang kita lakukan harus dimasukkan ke dalam rencana pemerintah,” kata Sears. “Anda tidak bisa datang ke sini untuk mempelajari kupu-kupu karena Anda menyukai kupu-kupu. Kita harus datang dan melakukan hal-hal yang dibutuhkan Bhutan. ”

Kebutuhan negara Bhutan diuraikan dalam Rencana Lima Tahun pemerintah, yang menetapkan target dan anggaran di semua sektor utama untuk periode berikutnya. Rencana saat ini, yang mencakup periode 2013-2018, mencakup empat bidang prioritas terkait dengan layanan ekosistem hutan, dengan memfokuskan kepada peningkatan keamanan air melalui rencana pengelolaan sumber daya air nasional.

“Hal besar yang telah mendorong pemerintah dalam empat sampai delapan tahun terakhir adalah pengelolaan daerah aliran sungai. Bagaimana kita mengurangi erosi tanah? Bagaimana kita menjaga kebersihan sungai?”

Namun masih banyak penelitian mengenai masalah air, seperti kualitas, kuantitas, daerah aliran sungai dan dampak infrastruktur PLTA. Misalnya, bagaimana bendungan di Bhutan menghadapi masalah banjir dan efek buruk pada keanekaragaman hayati, seperti ikan, alga, flora dan fauna langka seperti bangau berlekuk putih (Ardea insignis).

Selanjutnya, karena persediaan air berubah dengan pola curah hujan yang bergeser dan pencairan gletser Himalaya karena perubahan iklim, studi mengenai peraturan air dan mekanisme pembayaran untuk perlindungan air ditetapkan menjadi semakin penting. Studi baru ini memaparkan pengetahuan apa saja yang ada pada topik ini sehingga celah bisa terisi.

Prioritas lain untuk periode lima tahun ini adalah memperkuat peluang mata pencaharian bagi masyarakat berbasis hutan – dengan kata lain, meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergantung pada hutan. Jika ini berhasil, otoritas kehutanan dapat menggunakan kisah sukses tersebut untuk mendorong lebih keras pemeliharaan hutan dalam menghadapi persaingan kepentingan seperti pengembangan lahan menjadi peternakan atau tanaman perkebunan.

“Guna meningkatkan produktivitas hutan, kami ingin menciptakan dan mempromosikan pasar untuk hasil-hasil hutan. Jika kita dapat menunjukkan bahwa hutan sangat berharga untuk dipertahankan, inilah cara untuk melestarikannya, “kata Sears.

  

MENJAGA KESUCIAN

Selama berabad-abad, masyarakat Bhutan  menutup akses ke pegunungan secara bergiliran. Mereka percaya hal ini membuat mereka tetap menjaga dewa-dewa lokal. Praktik ini, yang dikenal dengan Reedum, bertepatan dengan musim yang lebih hangat, merupakan saat paling kondusif bagi pertumbuhan hutan, pada gilirannya mempromosikan pelestarian hutan dan mencegah bencana alam.

Tradisi lain, Tsadum, yaitu membatasi penggembalaan pada bentang alam tertentu dengan cara yang sama. “Praktik semacam itu penting untuk meningkatkan berbagai layanan pengaturan, budaya dan pendukung, walaupun layanan penyediaan mungkin dibatasi karena penggunaan yang dibatasi,” kata ilmuwan CIFOR, Himlal Baral, salah satu anggota tim.

Apakah berkurangnya tanah longsor dan banjir bandang dianggap sebagai hasil dari rahmat baik para dewa atau praktik yang masuk akal secara ilmiah, faktanya adalah bahwa Reedum, Tsadum dan adat istiadat lainnya telah lama menjadi teknik pengelolaan hutan dan bentang alam yang efektif. Namun, mereka tidak memiliki tempat formal dalam hukum, dan karena itu menjadi terancam punah.

Sonam Phuntsho, penulis makalah lainnya, dan seorang peneliti senior di Institut Penelitian dan Konservasi Lingkungan Ugyen Wangchuck, mengatakan bahwa ada sedikit data tentang berapa banyak hutan di Bhutan dikelola berdasarkan hukum adat, atau berapa banyak pohon suci masih ada. Perubahan sosial juga berdampak pada kelangsungan hidup mereka, tambahnya.

“Ada ancaman yang terus berlanjut terhadap rumpun suci dan asosiasi layanan ekosistem karena perubahan dinamika sosial dan pembangunan ekonomi,” katanya.

Sears setuju. “Dalam 20 tahun terakhir, kebijakan telah bergeser, norma dan peraturan adat telah dilarang atau diabaikan dan digantikan oleh kehutanan yang lebih ilmiah,” katanya.

“Pelestarian budaya, yang mencakup peraturan dan kepercayaan spiritual, akan terlupakan jika orang tidak mengimplementasikan.”

Sears dan para ilmuwan berharap penelitian mereka ini dapat mengarah pada pengumpulan bukti tentang efektivitas praktik pengelolaan lahan tradisional untuk dibagikan kepada pemerintah, yang pada akhirnya melihat norma-norma sosial dan dapat dimasukkan ke dalam kebijakan nasional.

Salah satu alasan mengapa kesadaran akan praktik semacam itu telah hilang dari kantor pemerintah adalah karena meningkatnya urbanisasi masyarakat Bhutan, yang menyebabkan erosi budaya dan, pada akhirnya, bentang alam.

Selama dua dekade terakhir, tutupan pohon meningkat sebesar 0,2 persen per tahun, namun tidak selalu untuk alasan yang baik.

Sears menjelaskan bahwa migrasi disebabkan oleh dua faktor yaitu dorongan dan tarikan. Pertama, ancaman yang ditimbulkan oleh satwa liar – gajah makan tanaman dan merobohkan rumah, beruang makan ternak, babi hutan menggali ladang – mengakibatkan hilangnya pendapatan yang sangat besar yang mendorong orang keluar dari peternakan mereka. Pada saat yang sama, daya tarik pendidikan yang lebih baik dan pekerjaan yang lebih mudah menarik orang ke ibukota Thimphu atau daerah berkembang lainnya.

Karena desa-desa yang kosong dari pekerjanya, lahan pertanian semakin tidak dijaga, memungkinkan hutan masuk ke pemukiman, membawa lebih banyak ancaman satwa liar dan kebakaran hutan.

“Ketahanan pangan merupakan masalah besar bagi pemerintah,” kata Sears. “Siapa yang akan menanam tanaman pertanian? Ada dorongan besar dalam rencana lima tahun ke depan untuk membuat orang kembali ke pertanian dengan melakukan modernisasi, mengenalkan teknologi dan rumah kaca baru. Pemerintah juga ingin melakukan ‘semua organik’ pada tahun 2020 dan membuat kehidupan pedesaan lebih dapat dicapai dengan peningkatan cakupan telepon, sekolah dan jalan yang lebih baik. ”

KEBAHAGIAAN TERHUBUNG

Efek domino yang dipaparkan oleh Sears dan rekannya – melalui pelestarian budaya yang mengarah pada tata pemerintahan yang baik, mendorong pelestarian lingkungan, dan pada gilirannya mengarah pada pembangunan sosioekonomi yang adil – didukung kuat oleh tinjauan literatur mereka. Ini mendukung gagasan bahwa hutan dan layanan ekosistemnya berkontribusi pada empat pilar GNH, yang mendukung tujuan pembangunan berbasis kebahagiaan Bhutan.

Menemukan bukti empiris tentang hubungan langsung antara hutan dan GNH sangat menantang, “hubungan terkuat dalam hal ini ditemukan dalam kaitannya dengan pilar tata pemerintahan yang baik dan pengembangan sosial ekonomi, terutama melalui skema kehutanan berbasis masyarakat,” kata Baral.

Seiring keinginan masyarakat untuk mengembalikan bentang alam hutan pegunungan, meningkatkan layanan ekosistem penting dan melindungi dari risiko bencana, diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan dampaknya terhadap pembangunan nasional, seperti yang didefinisikan oleh indeks kebahagiaan.

Dilihat dari hasil penelitian sejauh ini, bisa jadi jalan tengah memang layak ditempuh.

Foto Kover oleh Andrea Williams.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Himlal Baral di h.baral@cgiar.org atau Robin Sears di r.sears@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org