Laporan Khusus COP23: Mengenali bias gender, merestorasi hutan
Seorang panelis perempuan memaparkan, berabad produksi minyak argan yang berpusat pada perempuan dan degradasi hutan di negeri itu. Yang lain mengungkap disparitas gender di lokasi REDD+. Dan ada lagi soal perempuan di timur India yang membudidaya 60 tanaman berbeda dalam satu siklus budi daya, berdasar kearifan tradisional yang kaya.
Pada sesi “Kesetaraan gender dan pengetahuan tradisi dalam konteks restorasi bentang alam hutan” Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang digelar berdampingan dengan COP23, sekelompok panelis terkemuka—mengangkat tema kesetaraan gender dan hak perempuan atas restorasi bentang alam hutan (forest landscape restoration/FLR).
Dengan menguatnya komitmen internasional untuk merestorasi hutan dan bentang alam, muncul kebutuhan menjamin pertimbangan gender tergabungkan sejak awal, jangan sampai ketidaksetaraan diabadikan, perempuan atau haknya dikesampingkan.
Pada pagi kelabu di Bonn, mayoritas pembicara perempuan—menyegarkan di tengah panel yang seluruhnya lelaki pada COP23—menawarkan wawasan dari pentingnya masyarakat hutan melakukan aktivasi hak perempuan dan partisipasi terinformasi perempuan dalam pengambilan keputusan serta kebutuhan agar kita melawan bias tak terlihat.
Aktivis hak hutan, Madhu Sarin mengungkap pengalamannya dengan hutan dan masyarakat di India, serta proses coba-coba dalam menyelaraskan proses atas-ke-bawah dengan gerakan kesetaraan perempuan di beberapa wilayah berhutan, seraya mempertanyakan asumsi mengenai hak.
“Ini satu-satunya gerakan yang dapat mengarah pada perubahan transformatif. Masyarakat bekerja di lapangan. Masalahnya, gerakan akar rumput itu seperti tetes air di lautan. Kita tidak punya banyak pergerakan dan tidak ada gerakan yang meluas—hanya dalam kantung-kantung tertentu, namun tidak menyeluruh. Dan tidak semua gerakan sensitif gender,” katanya.
MENGUBAH PARADIGMA
Namun jelas lemahnya sensitivitas bukan satu-satunya masalah.
Panelis Nigel Crawhall dari UNESCO menyatakan perlunya menyelaraskan bentuk pengetahuan, tradisi, adat, Barat dan berbagai bentuk pemahaman ketika berpikir mengenai hutan dan restorasi, serta perlunya membawa interaksi nyata ke atas meja di tengah isu ras, kuasa, gender dan identitas. Dan, bahwa di atas meja sudah ada bias yang tidak dikenali.
“[Kita] harus mempertanyakan kerangka kultural tempat kita berada … Jika terdapat bias gender dalam kerangka sains Barat, di sanalah masuk masyarakat adat … Kita harus membentuk wahananya agar tercipta ruang lebih aman, lebih inklusif agar paradigma berbeda bisa berada dalam ruang yang sama,” katanya.
Bagi panelis Lorena Aguilar dari IUCN, partisipasi dalam FLR harus inklusif dan dibangun dari kekuatan basis pengetahuan dari semua orang, termasuk perempuan adat yang terinformasi dan sadar. “Ini bukan soal menerapkan sebuah standar, sekadar menyatakan perlu partisipasi masyarakat adat. REDD+ bukan sebuah warna, dan FRL bukan serbuk untuk ditabur di air.”
Banyak panelis menyatakan kekhawatiran—bahwa komitmen internasional hanya akan mengabaikan perspektif masyarakat tang akan tinggal di lahan yang dipetak-petakkan pihak lain untuk restorasi.
Moderator Markus Ihalainen dari CIFOR, dalam wawancara menyatakan, “Aspek kunci FLR adalah menyatukan para pemangku kepentingan menyuarakan isu atau sorotan dan merundingkan kompromi, meski tidak semua pemangku kepentingan memiliki kekuatan sama dan tidak semua suara terdengar sama.”